Monday 15 December 2008

Awalnya saya diminta Mering mengantar undang acara workshop Borneo Tribune ke Florus, Yadi, Kris. Atok serta Pastor Rubini di Sekolah Tinggi Teologi Pastor Bonus Jalan 28 Oktober Siantan, karena rumah mereka kecuali Yadi, searah dengan saya yang juga numpang di rumah kakak di Siantan. Undangan untuk Yadi saya bacakan saja lewat telpon memang agak kurang sopan, untung Yadi yang sudah memegang jabatan direktur sebuah LSM di Pontianak bisa maklum dengan keteledoranku, Krist. Atok adalah Kandidat doktor di Universitas Kebangsaan Malaysia dia sederhana murah senyum dan sangat menghargai orang lain (maaf pak ini Fakta menurut saya), sedangkan Florus itu yang saya kenal penulis hebat dan cerdas, saya suka tulisannya, menggelitik dan logis, Mering adalah mentor saya di Borneo Tribune, saya banyak belajar menulis dari dia.

Sebenarnya surat itu harus saya beri sehari sebelumnya, namun malam itu harus menyelesaikan beberapa konsep berita buat besoknya jadi tidak enak kalau singgah di rumah orang larut malam. Undangan itu jadinya baru diantar sore 4 Desember, karena acaranya tanggal 7, jadi masih memenuhi syarat untuk sebuah undangan resmi di Indonesia yang biasanya H-3.

Sore itu, selesai deadline saya pulang dari Purnama melewati jalan jalan Veteran karena saya pikir sudah sore pasti tak ada razia peralatan motor seperti kaca intip, lampu belok dan plat nomor yang tak jelas, maklumlah motor pinjaman dan butut lagi. Saya melewati Tanjungpura, sampai di perempatan terlihat kendaraan menyemut pertanda mcet yang tak terbendung, makum sore atai pagi tepat itu seperti tak bisa lewat, padahal sudah ada jembatan dibuat baru di hulunya biasa disebut kapuas dua, jarang dilewati karena jauh dan terlalu memutar, selain itu orang banyak takut melewatinya karena sekrup jembatan tersebut banyak dicuri sama setan, karena kalau manusia kan tak doyan makan besi. Saat-saat macet apalagi kalau tengah ghari ingin motor kita itu punya sayap dan berubah jadi helikopter biar bisa terbang mendahului orang-orang yang asyik bermain klakson motor dan mobil, tapi apakan daya, Om Yes tak menciptakan daya magic yang menyamai dia pada manusia.

Lepas dari macet yang memakan waktu hapir 200 menit, saya masuk ke sebuah biara namanya Sekolah Tinggi Teologi Pastor Bonus, yang mencetak calon pria lajang sejati dan kata mereka proses melajang tersebut tak lepas dari campur tangan Tuhannya orang katolik bernama Yesus Kristus, saya biasa menyebutnya Om Yes tapi jangan di tiru ya karena saya pernah dibilang tak sopan sama nenek di kampung ketika menyebut kata itu sewaktu mengakhiri doa yang penggalan kalimatnya ada kata Yesus, saya hanya sebut Om Yes, karena lebih enak diucap dan simpel. saya pikir Diakan maha tahu, tak perlu kita bersembunyi dari apa adanya kita, karena sudah banyak orang taat agama bertopeng, yang setiap hari ke tepat ibadah kemudian korupsi atau mencuri maupun menipu orang alias berbuat jahat, tak terkecuali berfikiran jorok kala melihat wanita seksi naik motor di perempatan, sampai lupa kalau lampu pengatur lalu lintas warna hijau menyala.

Tempat itu asri, hijau dan banyak pohn akasia tubuh di sana tertata rapi, saya setengah kaget karena selama ini Pontianak sudah tidak ada lagi ruang publik yang ada hutan, eit maaf tempat yang barusan saya sebut bukan ruang publik, itu biara. Biara STT Pastor Bonus tak pernah singgah sebelumnya dalam pikiran saya. Penataan letak gedung satu dan lainnya menggambarkan kalau itu dikerjai arsitek dan tata ruang yang berfikir seni artistik tak heran tempattempat indah seperti itu diperkhususkan untuk orang melajang sampai mati, karena hal duniawi sudah didapat dengan melihat pemandangan indah dan sejuk di sekitar rumah, berbeda dengan masyarakat awam seperti saya yang tidak ada apapun di halaman rumah sehingga pikiran ke yang indah-indah terus termasuk anda yang membaca (mungkin).

Di situ, saya bertemu Pastor Sutadi untuk mengantar undangan buat pstor Rubini, Pastor Rubini adalah pastor yang kami kenal di Tribune Institute, dia orang Tiong Hoa yang mau juga melajang mungkin sampai akhir hayat. Namun sore itu, Pastor Rubini tidak ada ditempat, ke jakarta kata pastor sutadi. pastor Sutadi adalah mantan pastor paroki Santo martinus Balai Berkuak tahun1998 sebelum dia sekolah lagi ambil gelar Doktor di Gregoriana University di Roma, sekarang Sutadi menjadi Rektr di STT pastr Bonus. gayanya simpel ramah, dulu Pastr Sutadi berkumis, sekarang sudah tidak lagi, saya tidak ptahu apa sebabnya apakah karena tak mau dibilang mirip suami Inul Daratista yang ratu ngebor itu atau memang sudah bosan menggunakan kumis.

setelah mengetahui Pastor Rubini tidak ada di tempat, surat itu saya titip ke Pastor Sutadi, agar di sampaikan ke Pastor Rubini. Gerimis sore menetes menyiram bunga dan pepohonan yang ikut mendengar pembicaraan kami berdua di beranda Rumah Pastor Sutadi. kami bernostalgia mengenai Balai Berkuak sewaktu saya pernah jadi putra altar semasa SLTP, waktu itu Jumat Agung untuk memperingati hari kematian Om Yes eh maksud saya Yesus Kristus.

Pembicaraan kami sampai ke saya menduduki bangku SLTA, saya mengatakan ke dia kalau waktu di SLTA saya menjabat wakil ketua mudika Santa Gemma Keuskupan Ketapang. Sutadi akrab dengan saya, dulu ketika bertugas di Balai Berkuak sering berkunjung ke rumah, karena stasi kami Bunda Pengharapan Suci di Kangking yang gerejanya belum jadi sampai sekarang adalah binaan dia. Romo Sutadi juga kenal dengan rang tua saya.

Cerita panjang kami sampai pada studi saya waktu di Jgja, tembakannya langsung pada tugas akhir saya, lalu saya menceritakan kalau tugas akhir saya itu bercerita tentang Komunis di Indonesia, di tahu kalau bercerita tentang itu pasti yang menceritakan jarang menjenguk ke gereja atau minimal ngisi buku tamu malaikat surga. Saya pun mengakui, dia hanya tertwa naun dibalik itu agak jengkel nampaknya karena tak seharusnya karena ilmu yang dianut lalu merubah kepercayan yang dipeluk selama ini.

saya tidak mengklaim sebagai seorang Marxsis karena bahaya di negeri ini kalau ada orang mengakui dirinya seperti itu, bisa digantung sama negara, saya yakin orang sekelas Profesor pun tak akan berani mengakui dia Marxsis di negara yang katanya merdeka tapi masyarakatnya tidak memahami arti kemerdekaan, kita bisa melihat fenomena yang ada, banyak pencekalan atas nama agama, saya tidak tahu apakah beberapa tahun lagi negara ini akan menjadi negara sekuler, karena masyarakatnya menggunakan agama hanya sebagai topeng untuk mencekal kebebasan orang lain, banyak orang yang rajin sembayang tapi biadab, keji dan tidak memahami perbedaan, mungkin tujuannya beribadah mempersempit ruang ortaknya melakukan penalaran.

Pastor Sutadi hanya tertawa mendengar penjelasan saya, dia maklum karena saya masih muda, masih harus banyak belajar tentang hidup tapi untuk urusan cari cewek saya tak perlu belajar dengannya karena dia tak tahu, matanya tak bebas seperti saya, akrena mata Pastor Sutadi hanya ada Tuhan Yesus Kristus Juru Selamat Dunia yang akan menyelamatkan orang-orang seperti saya mengingkari agama yang dianut.

Secara tidak langsung Pastor yang selagi berkumis mirip dengan wajah bapak saya itu meminta saya sembayang. Saya mengalihkan pembicaraan dengan menelpon Karel yang sekarang sudah menjadi Frater di Pastor Bonus, dia menempuh S 2 di pastor Bonus agar kelak kalau berhasil ditabis jadi Pastor. karel, teman saya SLTA Yohanes Ketapang tahun 1998-2001. Namun setelah selesai dia menetap di Seminari St. Laurensius Ketapang untuk ikut taupang dan saya kuliah di Pendidikan Sejarah Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, satu kebanggaan karena saya bisa memenuhi cita-cita untuk bertemu dengan G. Moedjanto, sejarawan terkenal itu. Namun ketika skripsi saya di ACC dia, Tuhan tidak setuju saya dibimbing Bapak itu, sehingga pak Moedjanto duluan di panggil ke surga, karena parkinson yang dia derita. Ketika di semayamkan di Kampus Mrican, saya sempat memegang tangan dan mengelus wajahnya, dalam hati saya berbisik " Pak, Saya Penerusmu, doakan saya biar berumur panjang, bapak istirahat yang tenang ya, salam buat Tuhan".

Karel sudah tiba dari asramanya yang berhadapan dengan Rumah Pastor Sutadi, menggunakan sepeda, Kami bertiga ngobrol, hari hampir gelap, karel menjelaskan aktivitas sehari-harinya di Pastor Bonus, ada Futsal lapangan rumput di samping kiri jalan masukke komplek gedung bagian depan. saya senang sekali suatu saat bisa main futsal di situ, karena saya senang menonton dan main sepak bola, pernah waktu di Jogja saking senangnya nonton bola lupa kalau itu malam minggu, pacar saya ngambek, saya mau diputusin sama dia, saya cuek aja biar diputusin yang penting nonton bola tidak putus, akhirnya pacar saya mengalah, paling dia tahu diri kalau kalah cantik dengan bola. Pacar saya baik dia sering mengajak saya ke gereja mungkin dia ingin kami pacaran sehat, karena dia tahu saya jahil, pacar saya ingin Tuhan menyikat otak saya sampai bersih dari pikiran kotor, tapi kayaknya tak pernah bersih, mungkin sudah alami.

Pastor Sutadi mengharapkan saya agar Sembahyang ke Kapel mereka, saya mau pamit ketika menyinggung tentang saya mau sembayang atau tidak, namun hati kecil saya menangis, untung Tuhan maha baik, dia mengirimkan pastor Sutadi, sebuah wahyu agar mengucapkan sesuatu yang sebenarnya sudah lama saya rindukan, yaitu "menyuruh ke gereja". Saya sebenarnya malu tapi mau bagaimana, Pastor tahu kalau saya sejak kuliah jarang ke gereja, kegereja pun kalau sama pacar itupun dipaksa-paksa, lagian pacar saya cantik, jadi ga malulah kalau diajak ke gereja, setidaknya bisa menutup jeleknya penampilan saya.

Saya belum menjawab oke dengan ajakan kedua sahabat Om Yes itu sampai sekarang, saya hanya minta pulang lebih cepat dari hadapan mereka, namun Pastor Sutadi minta saya setidaknya main futsal dengan mereka, dan sekalian membawa perlengkapan mandi dan pakaian, harapannya kalau sudah main futsal mandi di situ trus ke gereja. Saya hanya tersenyum...kapan ya saya bisa begitu tentu saya dalam keadaan sulit mencari alasan agar menepis ajakan itu, karena Om Yes Sudah menguncinya. Tunggu ya Pastor kalau saya berubah pikiran, dan kalau sudah tidak ada lagi pastor Gendong di dunia ini.