Wednesday 1 September 2010

Ditulis: Gero Simone, Bonn University Germany

Pemuda tertembak oleh seorang eks polisi“, Hentakun menerima pesan singkat atau SMS hari itu. Hentakun adalah wartawan Borneo Tribune di Pontianak, setiap hari ia mencari story yang menarik.
Saat itu ia berada di kantor Gubernur. Setelah membaca SMS HP-nya di masukkan kembali ke saku celananya, karena masih mengikuti pertemuan tentang HIV/AIDS di ruang Wakil Gubernur.
Kerja wartawan seperti itu rumah tangga yang pagi-pagi pergi ke pasar membeli bahan-bahan kebutuhan dapur untuk keperluan menyiapkan makanan. Begitu pun bahan-bahan berita atau story di dapur Borneo Tribune merupakan liputan wartawan yang sehari-harinya bertugas di lapangan. Mereka berangkat awal dan pulang ke kantor siap dengan bahan berita yang penting untuk dituliskan.
Sekira jam lima pagi sambil Hentakun pergi jogging, dia memikirkan tema yang mana bagus untuk ditulis. Hari ini Hentakun berdiri di tengah-tengah wartawan lain di ruang rapat Wakil Gubernur. Dengan bloknot dan HP untuk merekam dia mewawancarai Christiandy Sanjaya. Raut wajah Hentakun sangat serius. Dia mesti mengejar waktu karena Wakil Gubernur mempunyai jadwal padat.
„Meski demikian yang terpenting untuk wartawan“, kata Hentakun, „adalah sopan dan hormat. Sebab bila asas pergaulan tidak diperhatikan, maka narasumber tidak mau menjawab pertanyaan saya lagi.“
Sehari sampai tiga janji dipegangnya. Oleh jaring-jaring teman wartawannya dia selalu diberitahukan. Karena itu penting sekali merawat kontak-kontak. „Lagipula perlu fleksibel, profesional dan disiplin“, Hentakun menambah, „Rupanya watak wartawan beragam sekali.“
Kira-kira jam lima sore kantor Borneo Tribune sudah terlihat ramai. Satu persatu wartawan tiba di kantor dan mulai menyiapkan bahan beritanya. Biasanya, sebelum seseorang mengetik sesuatu ke dalam komputer atau laptopnya, mereka membaca beberapa koran dulu, melihat apa yang ditulis oleh persaingan dari media lain.
Hawad Sriyanto menetapkan untuk tema-tema ekonomi. Pula dia mempelajari beberapa koran seperti Kompas atau Majalah Tempo sebelum dia start dengan menulis. Setelah membaca, sejenak Sriyanto mendiskusikan tulisan di koran tersebut. Mereka bisa mengangkat angle lain yang belum ditulis di koran itu yang bisa disampaikan ke pembaca.
Tadi pagi dia pergi ke pasar untuk mencari informasi dari sumber pertama. „Saya sering ke sini karena penjual merasa perubahan ekonomi, seperti kenaikan harga kebutuhan pokok paling cepat,“ kata Sriyanto.
Sekarang semua bahan-bahan sudah diurus dan tahap masak akan mulai. Segala papan tombol jari di kantor berpijar. Setiap wartawan menulis tiga sampai empat berita sehari. Penting bawah penulis mempunyai keahlian jurnalistik. Seorang wartawan harus mengetahui bermacam-macam tulisan seperti strike news, feature atau comment.
Khususnya pada tema-tema ekonomi mesti menjelaskan hubungan kompleks untuk pembaca supaya dimengerti. „Saya lebih senang bila bisa menyelesaikan masalah atau memberikan solusi untuk orang-orang. Itu menyejukkan hati saya,“ kata Sriyanto.
Seperti itu banyak berita baru lahir dari pena-pena 30 wartawan yang bekerja untuk Borneo Tribune disebar utuh di Kalbar. Berita yang diisi dengan peristiwa hari itu. Tetapi karena jumlah halaman terbatas tidak semua berita bisa masuk koran.
Mana saja berita yang layak masuk menurut Andry, yang sudah bekerja sejak Borneo Tribune didirikan tahun 2007. Sebelum menjadi wartawan, dia adalah aktivis mahasiswa dan sering melakukan demonstrasi. Barangkali sesuai perjuangannya, maka dia ditunjuk sebagai redaktur pelaksana.
„Sekarang saya berpikir baginya menulis lebih baik dari triakan seribu orang. Karena itu saya memulai sebagai wartawan di Borneo Tribune,“ kata Andry.
Hari ini dia yang memperbaiki dan membumbui berita lagi. Selain editing dia pula memilih tulisan mana yang masuk ke halaman tertentu. Borneo Tribune terbit dengan 16 halaman.
Andry mengaku bahwa dia merasa seperti wartawan setiap kali dia keluar rumahnya: „Saya cuman bisa bersantai dan adalah ayah di tengah-tengah keluarga saya.“ Karena tanggung jawab redaksi ada di pundaknya.
„Saya sangat senang bekerja untuk Borneo Tribune karena saya dapat mengekspresikan diri saya. Kami juga bebas disini. Saya bisa menulis atau mengritik yang kumau. Akhirnya kritis penting sekali untuk mengubah segala kekurangan,“ kata Andry.
Bila sebuah koran yang hanya ada tulisan saja akan bosan sekali. Maka disini foto-foto merupakan komponen hakiki di Borneo Tribune. Biasanya wartawan sendiri yang memotret langsung di tempat liputan.
Disamping mengandalkan fotograper seperti Ulla Asri. Dia pergi setiap hari untuk mencari tema-tema yang menarik. „Sekarang Ramadan. Jadi sekarang tidak banyak acara dan saya sendiri perlu menjadi kreatif,“ katanya.
Tahap berikutnya menyatukan tulisan dan foto-foto. Malam semakin larut, setelah melakukan editing, Andry menunggu layout bekerja. Pekerjaannya membuat berita-berita berselera. Setiap layouter menanggani tiga sampai empat halaman dalam satu edisi.
Umumnya para layouter belajar secara autodidak. Fakun yang paling berpengalaman. Sudah hampir 20 tahun dia bekerja sebagai layouter. Dia bergabung sejak awal di Borneo Tribune. Fakun yang mendesai lengkap rupa Borneo Tribune.
Simbol koran ini pula idenya. „Burung itu khas untuk Kalimantan (Borneo) dan melambangkan kesetiaan dan kegagahan,“ katanya.
Bagaimana penyiapan sampai ke tangan pembaca? Proses terakhir adalah pencetakan dan pengiriman. Di lantai bawah ada mesin cetak koran dengan ukuran besar sekali.
Jam 11 malam koran mulai dicetak. Sebelum dicetak, setiap halaman dipasang di plat. Tiap malam raksasa itu bisa melahap 11,3 kilometer kertas. Itu kira-kira 80 kilometer per minggu, rute dari Pontianak ke Mempawah.
Pada jam satu malam akhirnya edisi baru sudah siap edar. Berita Hentakun tentang HIV/AIDS muncul sebagai tema top di halam depan. Lebih dari setengah hari yang lalu waktu dia mewawancarai Wakli Gubernur.
Hentakun tidak mengetahui semua itu. Dia pulas di tempat tidurnya. Karena empat jam lagi dia akan membangun dan memikirkan tentang apa yang disajikan kepada pembacanya. Begitulah seterusnya.