Follow Me

Latest Release

Saturday, 21 May 2016

Kebanggaan dan kebahagiaan orang tua, ketika semua anaknya sangat dekat secara emosional dalam segala situasi, apalagi kalau dekatnya sejak dalam perut. Anak pertama saya Gisel Yuline Hentakun, sekarang lebih tiga tahun, sejak dalam perut sudah sangat dekat, dia memilih lahir di rumah di Kembayan, karena tahu kondisi ekonomi orang tuanya, dan tidak menyulitkan orang tuanya ketika lahir, hampir tanpa dibantu. Itu Gisel, sekarang anak itu tumbuh dan tanda-tanda kemandirian sudah terlihat, puji Tuhan.

Saya memang ini melestarikan marga Takun, sehingga anak-anak bahkan cucu dan cicit nantinya menggunakan nama itu, karena nama Bapak saya itu khas Dayak, dan punya nilai historis yang bagi saya sangat tinggi. Saya pun terima kasih dengan orang gila sebut saja namanya severianus endi, alias endi djenggoet, dialah yang memanggil saya Takun, itu memang nama Bapak saya, karena nama saya Hendrikus Christianus Takun. Masuk akal disingkat HenTakun, dengan "T" kapital.
Walau endi, gila tapi lulusan komunikasi Atma Jaya Yogyakarta dengan predikat memuaskan (IPK-nya ga usah disebut) meski agak lama, saya akhirnya memahami kenapa orang itu kuliahnya lama, karena di kampusnya banyak yang segar, jadi obat awet mudalah. Padahal secara IQ lebih pintar, bahkan cenderung cerdas bahasa Dayaknya bagus, demikian inggris. Stop bahas orang itu, nanti dia besar kepala, karena susah ditelepon.

Kelahiran anak kedua saya itu, membuat jantung saa berdegup sanga cepat, bagaimana tidak, hampir seminggu mamanya ngadem di rumah sakit Antonius, padahal sudah buka tiga kata dokter Petrus Juntu, dokter spesialis yang menangani orang-orang melahirkan di rumah sakit swasta Katolik terbesar di kalbar itu. Dokter ini banyak menolong orang tidak mampu, profesional dan familiar. Jika memang kita tidak mampu secara finansial, maka biaya rawat inap menjadi sangat bisa dijangkau. Petrus Juntu orang Balai Berkuak, salah satu dokter spesialis dari Balai Berkuak yang sukses di Pontianak.

Ketika istri saya mau melahirkan anak kedua, Juntu-lah yang menanganinya. Adalah Marshall nama anak imut itu, lahir sekitar jam 10 malam di ruang bersalin Santo Antonius, Lali-laki yang kini tujuh bulan lebih itu, harus menunggu bapaknya datang baru mau keluar dari perut mamanya. Saya habis acara dari Kenepai Komplek jaraknya jauh dari pontianak, hitungan hari baru sampai, malam itu pelantikan temenggung di kampung yang aksesnya melalui kebun sawit yang kalau tak paham bikin nyasar bisa sampai ke Malaysia.

Signal selular pun tak ada. Sehingga sampai di Semitau, saya mendapat telpon istri saya Henny Florentina, kalau sudah beberapa hari buka tapi belum juga lahir, takutnya air ketuban habis, opsi saya waktu itu hanya cesar, bayangan saya bagaimana perut istri saya dibelah dijahit lagi. Ah...mengerikan, itulah perjuangan seorang istri, luar biasa, Puji Tuhan tidak. Saya memberanikan diri ijin dengan pimpinan untuk pulang lebih dulu, terima kasih puji Tuhan saya diijinkan, nanti setelah selesai semuanya menyusul gabung lagi dengan pasukan Boax. Yang saya ingat, beliau bilang, "Kau pulang urus dulu, itu nyawa manusia,",  sungguh sangat bijaksana. Sepanjang jalan saya dikuatkan dengan kami berbalas pesan singkat. Terima Kasih Pak, saya juga dibantu segalanya oleh beliau, rasanya berdosa kalau sampai tidak bekerja tulus dengan beliau.

Subuh jam 2 saya pulang, diantar dua anggota Polpp Mas Bowo dan Mas Hendra, mereka berdua ini tulus. Walau ngantuk luar biasa, mas Bowo tetap mengantar saya ke Pala Kota sekitar 1,5 jam dari Semitau, di sana sudah menunggu Pak Numsuan Karo Humas Pemprov Kalbar, kami menuju Sintang, dari Sintang, saya bersama Staff Humas Bang Nurbuat menuju Pontianak, carter Mobil, sepanjang pagi kami menuju pontianak, Sampai di Pontianak saya langsung ke rumah sakit, di ruangan sudah menunggu istri saya dengan harap-harap cemas. Saya cium perut dan keningnya, di perut istriku saya bilang, "Nak, kalau mau lahir lahirlah Bapak udah datang," respon dengan gerakan alami bayi dalam perut ada, seakan mengiyakan. saya tarik nafas dalam, menenangkan istri, semua akan baik-baik saja.
Marshall Rudao Hentakun, panggilannya si Bujang Macal

Malamnya anak saya lahir, laki-laki, kami namakan Marshall Rudao HenTakun, Marshall (karena saya suka nonton film perang amerika, ada kapten Marshall),  Ada juga Wakil Presiden Amerika, seorang politikus. Kata "marshall" pun enak diucap, kalau di Dayak, Marshall dipanggil kesanyangan jadi Macal, Mamacal, bahasa Dayak Simpang Hulu artinya kurang lebih Mulok, ngotot, orangnya mamacal kalau menginginkan sesuatu, ngotot kalau menginginkan sesuatu. Tentu dengan perjuangan mandiri, itu yang kami dua mamanya harapkan. Rudao, diambil dari film Warriors of The Rainbow : Seediq Bale. Film ini menceritakan seorang Kepala Suku Seediq Bale, Mona Rudao, memimpin masyarakatnya melawan penjajahan Jepang. Takun, adalah Kepala Desa Merawa, Rangkaya, ibaratkan di Indonesia itu Jaksa Agung dalam masyarakat Dayak Kualan. Juru Damai bila terjadi konflik di masyarakat Dayak Kualan, dan pemutus perkara adat pada tingkat tertinggi. Jadi ada tiga unsur, lokal, regional, Internasional dalam diri Marshall Rudao Hentakun. Tentu, semua orang tua berharap anak-anaknya berhasil, anak itu, kata Uncle Marcellus Basso, salah satu tokoh Dayak Kapuas Hulu, adalah anugerah Tuhan, bukan titipan Tuhan (Iyakan uncle), kelak dia mau jadi apa, kita orang tua hanya membimbing, mengarahkan. Garis Tangan anaklah yang menentukan. Puji Tuhan, yang tua, ciri-ciri kemandirian sudah terlihat, yang kedua, ngototnya pun sudah terlihat.
Tuhan maha besar, meskipun saya bukan siapa-siapa di dunia ini, Tuhan mau memberikan tanggung jawab besar pada saya, yang kata orang Gemuk, hitam, pendek, kelak bisa membesarkan anak-anak saya agar lebih baik hidupnya dari kami sekarang.

Thursday, 25 April 2013

Gisel Yuline Hentakun
“Pa, bangun mama sakit perut,” ujar istriku, Henny Florentina seraya memegang perutnya. Saya bangun, waktu menunjukan sekitar pukul satu lewat. Dia mengerang kesakitan, tak ada bayangan kalau pagi itu jam 02.00 WIB anak saya akan lahir, memang kemamilannya sudah mencapai bulan terakhir dan mendekati tangal melahirkan, namun prediksi Bidan di Kampung itu sekitar tanggal 25 Juli 2012, atau enam hari lagi.
Hanya meminta mengantarkan ke kamar kecil. Saya menuntunnya, namun di kamar kecil erangan semakin kuat, Saya meminta supaya pintu kamar kecil tidak di kunci. Sejurus kemudian dia memanggil saya untuk membantu keluar kamar kecil, dia mengatakan kalau celananya basah, pertanda ketuban pecah, “Pa, mama mau melahirkan, tolong bangunakn nenek dan kakek,” pinta istriku lirih menahan sakit. Setelah membaringkannya, saya menuju kamar mertua dan mengedor pintu mereka, sejurus mereka bangun walau masih terlihat ngantuk, saya sampaikan kalau istri saya mau melahirkan. Mereka bergegas menuju kamar dan mempersiapkan karpet spon di atas tempat tidur kami, istri saya berbaring di situ.
Kami beruning sekitar lima sepuluh menit, sementara istriku masih mengerang sakit. Saya dan kakek memutuskan untuk memangil bidan di ujung kota kembayan, karena bidan yang merawatnya selama hamil ke luar kota. Subuh pekat Alfa tua menderu menembus dingin, di boncengan pikiran saya berkecamuk, dag dig dug gembira, was-was menjadi satu.
NEK BIDAN
Kepalan tangan dan tendangan di pintu teralis ternyata tidak cukup kuat membangunkan bidan yang kami tuju. Hati kesal bercampur marah, namun bisikan meminta supaya saya sabar dan maklum karena jam segitu jamnya enak tidur, jadi meski medis bekerja tak kenal waktu ya harus dimaklumi, mungkin saja dulu waktu pendidikan tak diajarkan PPGD atau belajar tapi PPGD tidak lulus, maklum di kampung.
Kami berdua bapak mertua menanyakan ke rumah di depan mereka, ternyata memang sudah bangun, ya sudahlah. Namun ada tawa kecil dengan muka geli dari salah satu mereka, saya cuekkan saja, lalu mertua saya mengatakan, kalau yang tertawa tadi itu mentertawakan saya karena hanya menggunakan celana dalam dan singlet Gtman hitam, alamaaak malunya saya. Karena paniknya lalu tak sadar kalau ke pasar hampir tanpa busana, dibonceng mertua pula.
Kami meninggalkan pasar dan menuju depan rumah dengan maksud memanggil Nenek Bidan Anas. Bidan sepuh berpengalaman dan sabar, beliau mantan suster, memang jarang konsultasi ke Nek Bidan, karena beliau sudah tidak mau ‘mengurus’ orang hamil, apalagi hamil pertama. Namun malam itu saya memaksa Nenek untuk ke rumah karena tidak ada lagi tenaga medis lain, Nenek pun bersedia dengan Bidan Kit seadanya membantu persalinan istri saya. Subuh itu saya diminta bantuan Nek Bidan mengambil peralatan yang kurang, (maaf masih berkolor ria), sudah seperti setrika pakaian ke rumahnya membangunkan anaknya yang Bidan pula untuk mengambil alat persalinan yang kurang, kapas suntik, sarung tangan, sampai tak tahu kalau anak saya sudah lahir, saya masih saya bolak balik mengambil alat, gurita, dot bayi. Memang persiapkan kami sudah ada, namun sudah terlanjur dimasukan travel bag karena persiapan ke pontianak besoknya tanggal 19 Juli. Inginnya, istri saya melahirkan di pontianak, karena melihat kondisi kehamilannya yang lemah dan sering mual  dan muntah. Biar aman dan saran Bidan di Kembayan pun harus ke pontianak untuk persalinan.
Namun, sore sebelum lahir, Istri saya ajak bicara Janin di dalam perut, ditanya mau lahir di rumah atau di Pontianak, ternyata subuh jam 02.00 WIB tanggal 19 Juli 2012 anak saya menjawabnya dengan lahir di kamar sederhana 4x4 meter itu, persalinan normal pula, puji Tuhan. Walau tangisan pertamanya tidak sempat saya dengar, begitu selesai mengambil peralatan nenek bidan, saya langsung mencium keningnya, sejurus, nama pun diberikan GISEL YULINE HENTAKUN, kami menginginkan anak itu kelak menjadi orang yang berguna bagi semua orang, bagi orang lemah, bagi orang yang membutuhkan pertolongan hidup. Istri saya tersenyum simpul lihat tingkah polah suaminya yang sedikit norak, perasaan was-was, hampir tak berbusana ke pasar terbayar sudah dengan lahirnya bayi imut itu. Semoga setiap langkahmu selalu dilindungi Tuhan nak. 

Sunday, 3 June 2012






Kampung Gumbang Wilayah Kuching Serawak
Laki-laki menyodorkan 50 Ringgit ke temannya yang datang dari arah PPLB Entikong-Indonesia. Transaksi berjarak 100 meter dari PPLB Tebedu, kemudian penyodor berlalu dengan beberapa orang berperawakan khas Indonesia Timur. Laki-laki yang menerima Ringgit kembali memutar ke Entikong, “Mengantar teman” katanya kepada dua Rela (Security) yang bertugas membuka tutup pintu masuk PPLB Tebedu-Malaysia. Kedua petugas Rela itu hanya mengangguk kemudian membukakan pintu, Dia pun bergegas.  Menurut seorang teman yang sehari-hari nongkrong di kawasan Perbatasan, jika orang perbatasan yang keluar masuk PLB apalagi sudah kenal, tidak terlalu dicurigai, apalagi laki-laki tadi yang hampir puluhan kali dalam sehari keluar masuk pintu batas dua negara itu, biasanya membawa banyak orang ke Malaysia.

Jalan Berkesan
Melewati Tebedu serasa masuk kawasan wisata, karena Malaysia memang membuat teras negaranya berkesan bagi pengunjung, selain tidak ditemukan lagi berbagai macam calo, taman pinggir jalan tertata rapi, jalan lintas perbatasan mulus, tidak ada lubang menganga, kontras dengan Entikong-Pontianak, lubang menganga setiap saat menunggu mangsa, kaki atau kepala yang luka bahkan patah pecah berkeping kalau tidak hati-hati. Jalan ke Kuching lebar. Bahkan dari Serian-Kuching mengalahkan jalan protokol di Jawa yang macet dan semerawut,jangan bandingkan dengan infrastruktur Kalimantan bagian Indonesia, mungkin sama atau lebih tidak baik dari jalan ke kampung-kampung di Kawasan Kuching.
Di Kuching, walau kendaraan roda empat atau lebih begitu berseliweran, tidak membuat macet, di jalan raya, apabila diketahui memacu Kereta melebihi kecepatan 90 km maka siap-siap merogoh kocek untuk membayar denda tilang, kamera pengintai dipasang di setiap sudut jalan rawan, “Di sini aturan lalu lintas tak kenal kompromi, melanggar ya tilang,” terang Erwin seorang teman dari Entikong yang satu rombongan. Erwin hampir setiap hari ke luar negeri Serian atau Kuching bahkan hanya untuk makan siang dengan rekan bisnis. Dia menguasai betul bahasa dan langgam Melayu negeri tetangga itu, Saya banyak belajar dari dia tentang Malaysia Timur khususnya Khucing dan sekitarnya. Kawasan perbatasan di Malaysia benar-benar menjadi beranda negara yang santun, indah, paling                                                                                                                                                                                                                                tidak tiada pemeriksaan aparat berlapis, apalagi harus memberi uang tips di setiap pos.

Gawai
Saya tak ambil pusing, apakah yang pria paro baya tadi transaksi llegal atau tidak, karena kami sendiri datang secara legal, dan dalam misi Ngabang Gawai di Negara Bagian Sabah Serawak. Ngabang adalah sebutan untuk istilah nonton Gawai dalam bahasa Dayak Bidayuh. Kalau bahasa Dayak Kualatn, Ngabakng, artinya sama.  Di Malaysia Timur, Gawai sudah menjadi hari besar nasional, karena menghargai Etnik Dayak sebagai penduduk asli pulau Borneo ini untuk mengucap syukur karena hasil panen Padi berlimpah, maka pemerintah Malaysia membuat aturan resmi perayaan Gawai. Negara Malaysia yang mayoritas Islam, toleran dengan Gawai sehingga menjadi agenda negara setiap tahun, Bila Gawai, toko-toko dan kilang di tutup, “Di sini bila gawai maka Pasaraya dan Kilang ditutup, karena pekerja pulang kampung untuk merayakan Gawai,” terang Peter Lai yang etnik Tiong Hoa Khek beragama Khatolik. Peter orangnya sabar . Dia membawa serta istri dan abang iparnya memandu kami selama berkeliling di Sabah-Serawak, Peter bekerja di Kuching. Dua anaknya sudah menyelesaikan perguruan tinggi di Kuching. Dia aktif di Gereja, Dia bertugas mengupdate setiap minggu foto gereja-gereja Paroki di Keuskupan Kuching.
Gawai yang dirayakan setiap awal Juni, mengundang tidak sedikit masyarakat Indonesia perbatasan ke Malaysia bertemu saudaranya. Pemeriksaan oleh Polis Diraja Malaysia (PDRM) pun tak seketat hari biasa, cukup membuka kaca pintu dan melambaikan tangan tentu dengan senyuman. Apabila ditanya, bilang saja mau Gawai, maka kita dibiarkan lewat, namun bukan berarti mereka lengah, hanya saja kita tak perlu singgah dan member tips hehe... Gawai di Malaysia dikemas sebagai event wisata budaya, menyedot banyak pegunjung dari luar negeri, terutama Indonesia kawasan perbatasan, bahkan dari Piliphina. Masyarakat perbatasan Indonesia dari Aruk sampai Badau pada pekan Gawai berbondong-bondong ke Malaysia Timur untuk mengunjungi saudaranya. Di Kota Kuching, baliho ucapan selamat Gawai berseliweran, bahkan di beberapa Pasaraya (Supermarket) kantong plastik pembungkus belanjaan bergambar orang Dayak main alat music Sape (sejenis gitar), dan ada tulisan Selamat Gawai. Utusan Borneo, salah satu Koran terbesar di Kuching, mengutip pernyataan Yang di-Pertua Negeri Tun Datuk Patinggi Abang Muhammad Salahudin, yang juga dijadikan Headline pada Koran tersebut hari Jumat (1/6), Tun Salahudin mengharapkan, Gawai sebagai identitas Kaum Dayak harus terus di lestarikan, Gawai, menunjukan tanda syukur dan terima kasih atas rejeki yang diperoleh, dalam Gawai juga dipanjatkan doa agar dimurahkan rejeki tahun yang akan datang.
Yang di-Pertua Negeri tersebut juga mengingatkan agar perbedaan jangan menjadi penghalang untuk bersatu menuju sebuah negara yang dinamis dan progresif. Selama 49 tahun Sarawak Merdeka dalam Malaysia, setiap masyarakat seperti halnya Etnik Dayak bebas mengamalkan tradisi dan agama masing-masing. Pernyataan ini sejalan dengan konsep Satu Malaysia yang mengajak untuk menerima keunikan kaum lain apa adanya agar dapat hidup dalam suasana hormat menghormati satu sama lain.
Bersama Penyiar Gawai FM di Kampung Suba Buan Kuching
Di Indonesia sendiri khususnya di Kalimantan, event Gawai tidak bersamaan, bahkan di Kalimantan Barat, perayaan Gawai terbesar hanya di Pontianak, pun tanggalnya berbeda dengan Gawai di kampung-kampung, ini karena tidak ada aturan yang jelas mengenai peringatan salah satu event kebudayaan Dayak tersebut, terkesan tidak ada kekompakan.

Hari Gawai Semua
Jalan mulus beraspal menuju kampung mungil ditempuh satu jam dari Kota Kuching, membuat Saya ngantuk, karena kaca pintu Kereta Daihatsu yang kami tumpangi sengaja diturunkan untuk menikmati udara malam berhembus seakan mendorong Saya ke sandaran kursi setelah itu memaksa menutup kelopak mata biar terlelap. Tapi Saya lawan, karena kali pertama masuk kampung di negara lain memunculkan beribu pertanyaan.
Adalah kampung Sengai di kawasan Bau, Kuching, dilihat dari bangunan, tak ubahnya perkampungan di Eropa. Bersih, rumput tertata rapi di sekeliling rumah yang juga bergaya Barat. Yang membedakan hanya tanaman liar membuat saya teringat kampung halaman di pedalaman kabupaten Ketapang Kalimantan Barat Indonesia, hampir tak berbeda, Pakis, Bambu tumbuh dengan hijaunya di sekeliling kampung, tak terkecuali pohon karet yang menjadi primadona petani di Kawasan Malaysia Timur. Karena dengan Karet, hampir setiap rumah terparkir berjejer Sedan proton sampai Alphard 2-3 buah. Mereka membelinya dengan kredit, karena kalau pembelian Cash  maka dikenakan pajak, bahkan ditambah pajak orang kaya. Harganya pun terjangkau, karenanya petani karet bisa membeli kendaraan bernama Kereta dalam bahasa Malaysia itu.
Di Sengai kami mengunjungi Keluarga rumah Tina Jerome, Dia menyambut kami ramah, kami dihidangkan nasi dari beras merah dan daging Babi. Wajah Tina khas  Tiong Hoa, namun merayakan Gawai. Tak hanya makanan, Bangunan minimalis Style Eropa tersebut dihiasi ornament Dayak, mulai dari Bidai untuk alas lantai ruang tamu dan gantungan-gantungan tenun ikat Dayak Iban rapi di dinding. Teriakan Tere (tos-tosan) malam itu meriuh diantara hembusan angin malam dan sinar rembulan, “Tere…! Ting…!” demikian suara gelas beradu, kemudian masing-masing menenggak.
Tiga Jam dari Siding Indonesia
Jika pepera seperti Timor Leste, mungkin banyak masyarakat perbatasan Indonesia yang akan memilih bergabung ke Malaysia, karena mereka menganggap di Malaysia, segala kebutuhan bisa mereka penuhi dengan harga terjangkau dan transportasi lebih bagus, apalagi kualitas pendidikan, jangan ditanya. Di Kampung Gumbang Distrik Bau, Kuching, masyarakat Dayak Bidayuh fasih berbahasa Indonesia, mereka mengaku masih punya keluarga di Jagoi Babang dan Siding Kabupaten Bengkayang- Indonesia yang juga rumpun Bidayuh, bahkan ketika kami Ngabang Gawai ke kampung yang dipenuhi batu besar tersebut, kami bertemu orang Siding berbelanja ke Market Gumbang, Siding-Gumbang tiga jam dengan berjalan kaki. Naik Gunung kemudian turun sudah sampai di Siding. Menurut masyarakat Gumbang, mereka dulu Indonesia, namun karena ada aturan nenek moyang mereka bahwa perbatasan dengan berdasarkan Sungai, maka mereka yang di seberang bergabung dengan Malaysia, hanya saja, administrasi negara tak mungkin memisahkan kekerabatan mereka. Salah seorang warga Gumbang mengatakan, kalau Gunung Api tidak mereka ganggu, banyak pohon buah-buahan seperti Durian. Di sela-sela batu itu mereka mendirikan rumah, bukan menjadi kendala, malah rumah mereka sekokoh batu dan beberapa sudah bergaya Eropa.
Masyarakat Gumbang juga pandai memanfaatkan batu-batu itu untuk tempat santai, malah ada yang dibor untuk pondasi penggilingan karet. Kebersihan, jangan ditanya, di sela-sela bebatuan sudah dibeton, tidak ada menginjak tanah, saya berpikir, jika kampung di pedalaman Ketapang Kalimantan Barat Indonesia seperti Kangking atau Sungai Bansi dibuat seperti itu, mungkin  daerah miskin di Indonesia berkurang.
Kampung Gumbang hampir semuanya Dayak Bidayuh, mereka sembayang saja menggunakan bahasa Dayak Bidayuh. Letak kampung itu di kaki Bukit, kampung unik karena banyak batu besar. Batu diduga berasal dari atas gunung sejak nenek moyang, gunung yang ada di atas kampung disebut gunung api, kemiringan mencapai 45 derajat. Mereka mau ambil kayu untuk bahan rumah harus ijin pemerintah setempat, biasanya ke perbatasan Indonesia, tidak sedikit, ladang mereka yang masuk dalam kawasan Indonesia, hanya saja tetap dibawah pengawasan penerintah setempat. Mereka mengatakan, kami ada dan sudah bersaudara sebelum negara ada dan memisahkan mereka. Interaksi dengan masyarakat Siding yang juga Bidayuh, baik, malah sering dilakukan pertemuan Adat. Walau terkesan menyalahi aturan pemerintah, menyeberang untuk berbelanja atau silaturahmi bukan hal baru, toh Pemerintah Indonesia tidak mampu membangun perbatasan menjadi lebih baik dalam berbagai hal, apalagi pendidikannya.
Salah satu rumah yang kami kunjungi milik Cik Gu Piter Asai, anaknya yang pertama mengikuti jejak ayahnya menjadi Cik Gu, yang kedua Askar Darat bahagian Kerani Gaji, kalau di Indonesia sebagai tentara logistik. Jangan disangka seram, seperti Polisi dan Tentara Indonesia kebanyakan, senyum ramah dibalik tubuh kekar jelas terlihat, menurutnya, mungkin bawaan dari kantor yang harus sabar melayani prajurit ketika mengantre mengambil gaji. Jauh berbeda dengan sorot mata Tentara Indonesia penjaga perbatasan yang angker, moncong terkokang, mengerikan, tak ada senyum di sana. Tidak salah kalau Malaysia membangun perbatasannya dengan pendekatan sosial ekonomi, bukan militer dan pegawai titipan.  Jangan salahkan jika suatu saat militer akan menjadi hantu yang menakutkan di perbatasan Indonesia, apalagi militer Indonesia.

Pejabat Merawa Distric

Kampung Jantan dan Bubur Tupai
“Disini tidak ada perempuan, di sini laki-laki semua, makanya dikatakan kampung Jantan,” ujar Lazarus Swinie berseloroh, yang disambut tawa kami yang baru datang, hidangan di meja menggoda, tidak salah beberapa kawan mengatakan Saya tukang makan hehe….
Lazarus Swinie adalah imam Katolik yang bertugas di Gereja Holy Spirit, Gereja Paroki termuda dari 13 Paroki Keuskupan Kuching. Dia menunggu kami di Kampung kelahirannya Jantan, yang berasal dari kata Jantaatn. Jantaatn adalah buah akar berwarna kuning bila sudah matang, di Kampung Saya juga banyak buah yang enak dimakan tersebut, rasanya sedikit kecut, namun bila sudah sangat matang, manis. Bisa juga dibikin rujak. Di Kampung Jantan, 90 persen orang Ahe, 20 buah rumah terbangun megah, di halaman, dua sampai tiga Mobil mewah terparkir, bahkan diantaranya Hilux putih doble kabin.  Menurut padre Swinie, masyarakat Dayak di situ fasih berbahasa Ahe, karena nenek moyang mereka orang Kanayatn. Kampung yang jalannya baru dibangun pemerintah Malaysia tersebut tidak jauh lagi dari perbatasan  Indonesia. Saya pikir orang Kanayatn  hanya di Ngabang atau Ambawang, ternyata di Distrik Lundu, kampung Jantan, Malaysia juga ada. Saya kaget, ketika bersalaman, bahasa Ahe-nya kental, malah lebih ramah.
Di Kampung Jantan kami disuguhi makanan yang tak berbeda dengan hidangan Indonesia, ada Sayap Ayam Bakar, Babi, Sop dan Bubur Tupai. Yang unik adalah Bubur Tupai, Saya tidak boleh memakannya, karena pantangan penyakit, walaupun hasrat hampir tak terbendung untuk mencicipi. Kawan-kawanlah yang lahap. Bubur Tupai berubah menjadi menu utama, beberapa kawan tidak melirik menu lain, karena Bubur Tupai, selama hidup mereka, baru menyantapnya di Kampung Jantan, Saya sendiri baru melihat, karena di Pontianak adanya Bubur Ayam, Babi dan Ikan.
Mula-mula Padre Swinie menghidangnya di Baskom, namun tidak berapa lama habis, dikeluarkannya lagi satu baskom, juga habis, akhirnya imam tinggi besar tersebut mengangkat periuknya dari dapur, yang akhirnya Bubur Tupai itu tak bersisa. Namun masih saja ada yang mengaku belum puas, bahkan salah satu kawan bernazar akan mencobanya di Indonesia bila mendapat Tupai akan dibuat bubur, mudah-mudahan rasanya sama dengan yang dihidangkan Padre Swinie.

Dry Port Impor...?!
Di Serian, beberapa pedagang dan pembeli dari Indonesia, mereka bertransaksi kebutuhan sehari-hari, karena lebih murah dan lebih dekat ke Entikong, Balai Karangan dan Beduai bahkan Kembayan yang merupakan jalur perbatasan . Di sini pun sedikit sekali melihat kendaraan roda dua.
Harga Sembako dibanding ke Pontianak atau Sanggau yang jauh dan harga barang selangit, Serian menjadi pilihan. Kota Besar yang paling dekat dengan Entikong-Indonesia tersebut menjadi pusat perbelanjaan yang menjanjikan. Bisa jadi jika Dry Port berdiri di Entikong, maka Serian menjadi Bandar yang sangat maju. Nah, Indonesia kemungkinan di Balai Karangan, namun di Balai Karangan bertaburan produk Sembako dari Malaysia. Sama saja jika Dry Port berdiri maka impor semakin meraja lela.
Sayuran di Serian memang mahal, namun daging dan ikan yang diisukan berformalin sebenarnya lebih segar dari ikan kebanyakan di pasar Indonesia, harganya lebih murah. Terung Asam saja yang mahal, karena dari Indonesia, namun tak sedikit juga orang Indonesia membelinya kembali, tentu dengan harga yang juga mahal, tak apa asalkan sebutannya makanan luar negeri.
Entah mengapa setiap pemberitaan di media di Indonesia selalu memvonis produk jiran berformalin? Namun justru produk Jiran From Serian digemari. Kalau tidak percaya coba anda di warung sepanjang perbatasan Indonesia, belilah minuman kaleng, makanan ringan atau air mineral, dengan membaca tulisan di bungkusan, maka akan tahu asalnya darimana. Memang pepatah mengatakan, lebih baik hujan batu di negeri sendiri dari pada hujan emas di negeri orang, namun kalau batu turun terus menerus dari Gunung Merapi, orang Jogja-Jateng dan Jabar pasti mengungsi, iya kan?


Thursday, 19 January 2012

Buku yang pernah di bedah di UIN Syarif Hidayatulah Jakarta, Fakultas Usuluddin dan Filsafat, bersama Prof. DR. Komaruddin Hidayat dan Muhammad Ridwan Lubis dari Pusat Litbang kehidupan beragama di Indonesia, Prof. DR. M. Iksan Tanggok, Direktur Pusat Kajian Kawasan Asia Timur,dan penulisnya sendiri Platti dari Ordo Paradominikan ini, judulnya terkesan sugestif (atau bagi beberapa pihak provokatif) diterjemahkan dari bahasa Inggrisnya yaitu Islam: Friend or Foe? Judul bahasa Inggris (teman atau musuh). Namun, judul di atas harus dilihat dalam latar belakang buku ini ditulis. Pertama-tama Platti tidak menulis buku ini untuk pembaca Barat yang tidak mengerti Islam yang karena gempuran media mempunyai persepsi yang salah tentang Islam. Suka atau tidak suka Barat masih mempunyai Islamphobia karena pemberitaan yang tidak seimbang tentang Islam. Peristiwa (9/11) atas runtuhnya menara World Trade Center (WTC) membuat banyak pihak Barat shock atas dimensi kekerasan yang dilakukan kelompok kecil mengatasnamakan Islam.

Pengetahuan tentang Islam
Kurangnya pengetahuan yang mendalam tentang Islam plus kehadiran kegiatan kelompok minoritas radikal membuat wajah Islam dipertanyakan di Barat. Platti yang telah bergaul dengan orang muslim selama 40 tahun dan bertempat tinggal baik di Eropa dan Kairo selama 40 tahun plus studinya yang mendalam tentang Islam mencoba untuk menjawab bagi orang Eropa, bagaimana wajah Islam sebenarnya menurut versi atau studi Platti. Tentu jawaban Platti positif tentang Islam: Islam bukan musuh! Kalau membaca secara teliti buku Platti orang akan mendapatkan kesan bahwa tiga agama monoteis (Islam, Kristen dan Yahudi) sebenarnya mempunyai konektivitas satu sama lain.

“Kalau kami boleh katakan lebih dalam ketiga agama itu mempunyai akar semitik yang kuat yang di dalam perkembangan sejarah bak hulu sungai yang satu (baca: akar semitik) akhirnya mempunyai anak sungainya masing-masing,” terang Islamolog UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Dr. Johanes Robini OP, terkait isi buku ini.

Dalam buku ini, Platti mau menjawab pembacanya di Barat: daripada sebagai musuh, Islam sebenarnya sangat dekat dengan tradisi Kristen dan Yahudi sehingga Barat tidak perlu melihat Islam secara salah dan bahkan melihat Islam sebagai musuh. Islam itu “sepupu” tradisi Kristen-Yahudi.

Robini menjelaskan, hal lain positif yang dilihat dari Platti adalah ia menempatkan Islam sebagai agama yang menjawab manusia soal keselamatan. Bagi dia pada akhirnya Islam mempunyai tawaran keselamatan kepada umat manusia. Ini tentu hal yang luar biasa karena dikatakan oleh seorang imam Katolik yang kalau tidak terbuka pikirannya tidak akan mengatakan demikian. Bagi Platti Islam mempunyai tawaran spiritual. Justru di sinilah bagi pihak Islam harus kembali ke “fitrah” yang intinya Islam adalah sebuah agama: Islam pada akhirnya adalah perjumpaan dengan Tuhan yang menawarkan keselamatan. Di sinilah Platti dalam analisanya mengatakan pada akhirnya adalah bahaya atau “bermain api” kalau agama diletakkan dalam tataran politik atau digunakan untuk propaganda politik.

Persoalan yang sangat hangat mengenai jihad (hal; 91-109) dianalisis Platti dengan bantuan tokoh-tokoh Muslim yang otoritatif (Al-Bouti, Tariq Ramadan, Mohammed Talbi) bahkan bukan hanya diskusi di jaman modern melainkan diskusi klasik abad pertengahan. Ini juga kekuatan buku Platti: analisis historis yang kayak arena pengetahuan beliau mengenai dunia Islam bahkan klasik sekalipun.

Pembaca Indonesia pada akhirnya bisa menikmati buku ini yang harus diletakkan dalam konteks dunia Barat yang tidak mengenal Islam bahkan sudah sekuler dan kadangkala tanpa pengetahuan yang mendalam membuat sebuah penilaian yang akibatnya bisa fatal sehingga “image” islam dimengerti secara salah. Platti sebagai imam Katolik tentunya karena keyakinannya akan dimensi spiritual Islam yang bisa memberikan kontribusi yang luar biasa pada perkembangan dunia manusia perlu angkat bicara supaya Islam jangan salah dimengerti banyak pihak.

Memang kenyataan pahit harus dialami manusia pada akhir abad XX dan awal XXI yaitu semakin gencarnya gerakan fundamentalisme yang meski hanya sekelompok kecil namun selalu menjadi masalah buat semua orang mengenai otentisitas agama-agama. Pesan Platti sederhana: otentisitas agama adalah jawaban semua agama untuk membuktikkan bahwa agama itu asli dan punya tawaran yang berarti.

Untuk kita di Kalbar kedatangan Platti nantinya bersama direktur IDEO (Dominican Institute of Oriental Studies) Jean Jacques Perennes OP sangat mempunyai makna. Keduanya adalah imam Katolik tetapi hidup lebih dari 20 tahun di dunia Islam. Pengetahuan mereka akan Islam juga pergaulan mereka dengan saudara-saudari Muslim tentunya merupakan saksi hidup bahwa setiap perjumpaan yang jujur akan mengubah seseorang, “Mereka adalah saksi hidup bahwa fanatisme bukan jawaban di jaman kita dan semua orang bisa menjadi orang yang terbuka kepada sesama dengan syarat: keterbukaan hati sebagai dasar yang tidak lain adalah kejujuran dan pengetahuan yang cukup dalam akan yang lain,” tukas Robini.


Platti OP, Emilio, Islam, Kawan atau Lawan? Jakarta: CRID & PUKKAT UIN, 2010 (xviii+320 halaman)

Pernah diterbitkan di Borneo Tribune

Sunday, 15 January 2012

Bohong besar kalau kita merdeka, kita sebenarnya masih hidup di alam penjajah. Konflik kepemilikan tanah (Agraria)yang belakangan terjadi, memilukan. Mirip dengan sistem yang dilakukan Penjajahan Belanda. Dulu Belanda merampas tanah rakyat pendekatan terhadap pemimpin lokal. Bagi kerajaan atau pemimpin yang tamak dengan upeti, tidak terjadi perlawanan, bahkan kekuasaan kerajaan dibiarkan diobok-obok Belanda, banyak simbol kerajaan dikolaborasikan dengan Belanda, rakyat dibiarkan bekerja dan menjadi kuli ditanah sendiri,mirip dengan sekarang kan?, .Namun tidak sedikit yang menolak, sehingga pecah perlawanan terhadap Belanda.


Fenomena perampasan tanah
Rakyat yang selama ini tenang 'diganggu' pemilik modal (Kapitalis)yang ingin mengeruk kekayaan alam dengan merampas tanah rakyat untuk kepentingan pribadi. Kaum Kapitalis banyak yang menggunakan moncong senjata aparat penegak hukum untuk menakuti rakyat, dengan alasan keamanan investasi, namun moncong-moncong tersebut memuntahkan pelurunya, yang ironisnya dibeli dengan uang rakyat. Banyak kasus terjadi,penghujung 2011 dan awal 2012 seakan perang antara penjajah dan rakyat kembali pecah, korban penembakan berjatuhan.Fenomena perkebunan dan pertambangan yang merangsek semakin mengepung kenyamanan hidup masyarakat, tidak sedikit,tanah mereka di rampas hanya untuk kepentingan pemilik modal.

Belajar dari Konflik Diponegoro
Bagi Indonesia, Diponegoro Pahlawan. Belanda menganggap Diponegoro itu pemberontak,karena melawan kebijakan mereka. Diponegoro tidak mau tunduk lantaran masih memikirkan kesejahteraan rakyatnya, menghormati adat istiadat leluhurnya. Namun Belanda yang terlanjur doyan dengan ramuan penghangat badan, ingin setiap jengkal tanah di Indonesia ditanami bumbu-bumbu. Tidak mempedulikan kalau itu kuburan, atau ada tanaman lain milik rakyat. Diponegoro tetap pada pendiriannya.

Perang Diponegoro berawal ketika pihak Belanda memasang patok di tanah milik Diponegoro di desa Tegalrejo. Saat itu, beliau memang sudah muak dengan kelakuan Belanda yang tidak menghargai adat istiadat setempat dan sangat mengeksploitasi rakyat dengan pembebanan pajak.

Sikap Diponegoro yang menentang Belanda secara terbuka, mendapat simpati dan dukungan rakyat. Atas saran Pangeran Mangkubumi, pamannya, Diponegoro menyingkir dari Tegalrejo, dan membuat markas di sebuah goa yang bernama Goa Selarong. Saat itu, Diponegoro menyatakan bahwa perlawanannya adalah perang sabil, perlawanan menghadapi kaum kafir. Semangat “perang sabil” yang dikobarkan Diponegoro membawa pengaruh luas hingga ke wilayah Pacitan dan Kedu. Salah seorang tokoh agama di Surakarta, Kyai Maja, ikut bergabung dengan pasukan Diponegoro di Goa Selarong.
Selama perang ini kerugian pihak Belanda tidak kurang dari 15.000 tentara dan 20 juta gulden.

Berbagai cara terus diupayakan Belanda untuk menangkap Diponegoro. Bahkan sayembara pun dipergunaan. Hadiah 50.000 Gulden diberikan kepada siapa saja yang bisa menangkap Diponegoro. Sampai akhirnya Diponegoro ditangkap pada 1830. Kemudian dibuang ke luar Jawa.

Keadaan sekarang pun tidak berubah, bagi siapa yang melawan kebijakan pemilik modal akan 'dibuang' nyawanya, atau paling tidak diancam penjara, sehingga tidak sedikit yang mencari aman. Anehnya pemimpin daerahpun seakan tidak berkutik, melihat ulah kaum kapitalis yang menindas rakyat dengan merampas tanahnya. Ayo, amankan tanah masing-masing, penjajahan masih banyak di sekitar kita, jangan beri tanahmu kalau tak mau miskin dan melarat dikemudian hari.

Monday, 9 January 2012

"Pulanglah...." ujar Ibuku setengah berteriak lewat telpon genggam, "belum Bu, lihat kondisi akhir-akhir ini udah lumayan bagus, udah bisa makan bubur" jawabku. Memang kondisiku sejak resign dari tempat kerja cenderung menurun, tensi darahku labil, hampir 90 hari aku merasakan sakit yang tak jelas, panas tinggi namun tensi normal.Pernah merasakan dingin seperti masuk kotak pendingin, namun berkeringat sebesar biji Jagung. Tak tahu apa gerangan penyakit menyerang. Aku merenung setiap perkataan dan perbuatan ketika bekerja, hubungan dengan kerabat, orang dan sebagainya, rasanya tak ada yang membuat orang lain sakit hati.

Sejak terbaring, aku lebih banyak nonton televisi, membaca koran dan menunggui istri yang bekerja, untunglah masih bisa masak,dan melakukan pekerjaan rumah lainnya, "Sudahlah yang penting bisa sedikit menggerakan otot-otot," gumamku. Menurut orang tuaku, walau sakit seberat apapun, Aku tetap memaksakan diri bekerja, samp[ai benar-benar tidak mampu bergerak.

Sakit Siklus
Sejak 1992, sakit tak pernah Aku alami lagi. Namun akhir 2011, merupakan ujian terberat setelah aku menikah, istriku tidak kaget, karena sudah aku ceritakan perihal kondisi badanku. Dia sangat siap, walau sekali-sekali aku melihat kejenuhan di raut mukanya, bekerja sampai malam, kalau pulang menunggui suami sakit. Sungguh pekerjaan yang tidak mengenakan. Pekerjaan yang tidak pernah dicita-citakiannya sejak kecil. Namun menurutnya inilah ujian awal pernikahan kita, "Maafkan abang, lalu sakit begini,", " Tak apa abang istirahat yang cukup, dan minum obat teratur biar cepat sembuh, jangan pikirkan pekerjaan," ujarnya lirih.

Mengandung
Ditengah sakit mendera, suatu pagi aaku terbangun karena istriku pagi-pagi sekali ke kamar mandi, sebuah kebiasaan yang jarang dilakukannya, setidaknya setelah menikah. Kami sering bermalas-malasan di tempat tidur sambil bercanda dan menyusun rencana hidup, kalau bangun pagi, bertukar cerita mimpi malam dan mengungkapkan impian. "Bang, positif...!," ujarnya sambil menunjukan alas tes manual padaku yang masih berselimut. Syukurlah gumamku dalm hati, ternyata kerja kerasku selama ini membuahkan hasil. Berarti sembilan bulan ke depan aku tak boleh sakit apalagi sampai terbaring seperti ini. Senyum merekah dalam hatiku, seolah ingin sembuh waktu itu, namun tidak berdaya, aku tetap saja merasakan dingin dan pusing serta mual. Untuk memastikan, kami ke Bidan di kampung itu, dan hasilnya benar-benar positif, istriku diberi secarik kertas dari bekas bungkusan susu, sementara buku KMS belum ada. Kami pulang, dalam balutan jaket, hatiku tersenyum, ya tersenyum saja.

Merry Christmas Lemas

Beberapa hari menjelang Natal, kami memutuskan pulang ke Kembayan, kampung istriku. Aku lebih dulu diantar kerabat yang kasihan melihat kondisiku semakin memburuk. Badanku turun 15 kilogram. Kumisku tak terawat apalagi rambut dan aroma badan, benar-benar gembel. Aku memaksakan untuk mandi agar aroma di dalam Mobil tidak terlalu menyengat. Jam 12.00 aku diantar ke tempat mertua, di sana masakan dan minuman hangat serta minyak urut siap, namun makanan tak satupun aku sentuh, aku muntah lagi dan terbaring hingga malam menjemput. Ibu mertua memasakan bubur namun sekin sendok dimakan begitu juga keluar, sepertinmya siklus lancar, lalu ke Puskesmas, tukang urut dan sebagainya dilakukan, ketika istriku menyusul liburan. 24 Malam kami menikmati natal, aku sempat mengantar istri ke salon, lagi-lagi ibu dikampung menelpon dan minta Aku pulang untuk berobat, Aku oke-kan selesai Natal, karena aku ingin melewati liburan natal bersama istri tercinta, ini moment pertama setelah pernikahan kami.

Istriku membelikan Kemeja bermerek lengan panjang, harganya lumayan, karena merek terkenal. Kemeja kesukaanku. Dia membeli gaun mini kesukaanku, yang setiap kejakarta aku belikan. Kali ini Krem warnanya dia beli bersama kemejaku. Kami ingin memakainya bersama hari Kelahiran Yesus Kristus. Aku senang, dalam sakit mendera aku tersenyum dan mengecup kening istriku di kamar, "terima kasih sayang'" tak terasa bulir bening keluar dari sudut mataku.

Malam tanggal 25 aku ke Gereja bersamanya, menggunakan batik Pink dia senang, tersenyumdan memelukku, namun suasana hatiku tidaktenang karena balutan penyakit, aku selalu keringat dingin, namun berusaha tidak membuatnya kecewa, "Paling tidak malam ini," gumamku. Aku berusaha duduk didekatnya, kami duduk didekat pintu masuk, Perayaan Natal berjubel. Ukuran gerejayang tak sebanding membuat umat, termasuk aku tidak nyaman. Harusnya natal digereja baru persis di depan rumah, namun gereja yang dibangun mirip gereja-gereja di Eropa tersebut belum selesai, sehingga Gereja sementara yang hanya menampung 100 orang digunakan. Aku tidak konsentrasi, aku keluar gereja dan duduk di teras Puskesmas yang kebetulan berhadapan. banyak yang menyalami dan menegurku, menanyakan kondisi serta kabar, karena kami menikah Gereja di Kembayan, orang-orang di situ banyak mengenaliku, karena wajah sedikit unik, pucat tanpaekspresi, apalagi kalau bukan Demam tak tentu rudu, namun kupaksakan tersenyum biar mereka tak kecewa.

Setelah komuni aku putuskan ajak istriku pulang, biar tidak terlalu malam, aku (*maaf)muntah lagi tiba di rumah, kembali ke tempat tidur kupikir menjadi pilihan tepat. Pagi, ingin aku sembahyang karena istriku sudah bangun, dia sudah di depan kaca, mengajakku sembahyang, aku bangun dan mandi, menggigil yang aku rasakan, bulu-buluku merinding. Aku paksakan memakai baju kemeja yang dibelinya, kusemprot minyak wangi, kupasang sepatu, kami ke gereja, Gaun Krem membuatnya semakin cantik walau sedang hamil. Sampai di ruang tamui aku teduduk, aku mau pingsan, mukaku dingin, badanku meriang aku terduduk di kursi tamu, istriku trerlihat kecewa, "Yang, kita pakai di rumah saja ini pakaian, abang tidak kuat," Sangat berat hatinya untuk mengiayakan namun apa mau dikata, aku tidak bisa bangun, Aku minum air putih dan mencoba bangun menuju ruang TV di lantai atas, dan terbaring di sana. Selamat Natal 2011 gumamku, mimpipun menjemput, demam kembali menyerangku, panas tinggi, sehingga kompres keningku selalu kering dan berkali-kali dibasahi.

Berobat
Tiga hari setelah perayaan Natal, aku pulang kami menyewa Mobil, karena istriku tidak boleh banyak bergerak, perutnya semakin membesar, dia juga sekali-sekali mual. Kami kembali ke Pusat Damai, aku langsung ke Kangking, Ketapang. Empat jam jaraknya, membuat kondisiku semakin memburuk, aku tak bisa tersenyum, bahkan pandanganku kabur, kepalaku berdenyut, leherku seperti ada yang memukuli, telapak kakiku seperti menginjak bongkahan es, ah kenapa badan ini. Aku berusaha, ke kampung, naik motor hujan sampailah di Kangking tanah kelahiranku. Ibu dan bapak serta kerabat yang harap-harap cemas tersenyum kecut melihat kondisiku, yang sudah pucat pasi, segera Ibu memasak bubur, bapak mencari ramuan. Tak kuhiraukan pesta pernikahan di Rumah sebelah, yang juga kegaduhan karena kedua mempelai pingsan setelah pemberkatan, hampir satu hari mereka bergelut dengan kecemasan, kedua mempelai tidak sadar, hingga tengah malam kudengar alunan musik dangdut menggema pertanda keduanya sudah sadar, mungkin lagi 'belacek'. Aku tak bisa tidur, dingin menyelimuti, mebngalahi ketebalan selimutku. Bapak dan Ibu serta keluarga tidur bersamaku,malam itu mimpi buruk dan ketakutan menyelimutiku. Ketakutan akan kematian, ketakutan akan penghakiman di akhirat karena aku tak mampu melawan penyakit, aku gampang menyerah, aku tidak kuat menghadapi hidup, kalah dari orang cacat, orang buta, orang miskin. Aku mulai ingat akan Tuhan, dan berdoa, "Tuhan kalau boleh, beri aku kesempatan untuk hidup kembali aku akan membahagiakan istri anak dan keluarga ku, serta memujiMU," Rosario hadiah pernikjahan tidak pernah hilang di tanganku. Istriku selalu aku ingatkan agar membawa benda tersebut kemanapun pergi termasuk ke alam mimpi.

Musim buah, membuat seleraku bangkit, bubur yang dimasak selalu ku lahap, orang kampung silih berganti memberi dorongan, ada yang memberi ramuan, dan aku seduh dengan air panah di dalam buluh, kuminum setiap hari tiga kali, dua sampai tiga hari selera makanku bertambah, buah-buah aku lahap, namun mungkin selamanya aku akan bersahabat dengan Kunyit, Serai dan Cabe, bumbu yang selama ini aku musuhi, tak bisa ku santap lagi. Selamat datang 2012.