Thursday 5 June 2008

sepotong pertengkaran

Terserahlah...kalau memang ingin mencari yang lebih. Maaf kalau saya pria miskin yang selalu mengemis sama kamu, sampai kamu tidak bisa pulang dan harus bekerjauntuk penuhi keutuhanmu, karena uangmu banyak saya pakaikan? Saya tahu, kamu menghindari saya untuk bertemu keluargamu..."
sepenggal pesan singkat lewat telpon seluler yang saya kirim pada gadis kecil bernama Mida Anzasari yang selama ini selalu menghiasi dinding hati, sudut-sudut kabahagiaan dan penderitaan. Pagi itu aku sangat merindukannya. Seperti hari-hari lain ketika kami berdua berpisah, saya di Pontianak dan dia di Yogyakarta untuk menunaikan tugas menuntut ilmu di kampus Universitas sanata Dharma Yogyakarta, sebuah Universitas Yesuit yang memiliki motto "Memajukan keunggulan akademik dengan nilai-nilai humanistik". Kampus tersebut juga dulu menjadi almamter saya ketika kuliah di program studi pendidikan sejarah tahun 2001. Sekarang saya di Pontianak jauh meninggalkan Mida sendirian di Jogja, begitu biasanya kota pendidikan dan kota Gudeg itu akrab dipanggil. Saya di Pontianak bekerja pada Tribune Institute, senuah lembaga NGO yang berkutat pada Citizen Jurnalism atau kami di Tribune Institute menyebutnya Jurnalisme Kampung.
Tanggal 5 Juni 2008 sepertinya membuat saya semakin menemukan arti dari cinta seorang gadis yang sudah setahun lebih saya kenal. Saya tidak tahu persis apakah dia memang mencintai saya, sampai-sampai setiap saat hanya ada dia dalam pikiran ini. Pagi itu, saya menanyakan kepada Mida sang gadis kecil dari kampung Pereges Kabupaten Bengkayang. Lewat telpon selular yang memiliki sisa pulsa sekitar Rp.3000,-, Saya call dia untuk menanyakan kapan pulang, namun jawaban Mida, dia tidak pulang karena harus bekerja untuk memenuhi kebutuhannya sendiri. Saya langsung teringat, kalau saat ini saya belum bisa memberi uang dari hasil kerja saya. lagi pula saat ini saya benar-benar belum punya uang. saya jadi malu sendiri, semestinya kalau sudah libur saya minta Mida pulang agar kami bisa bertemu, dan yang paling penting agar Mida bisa bertemu orang tua dan adik-adiknya di kampung, sekalian saya ingin memperkenalkan diri saya pada orang tuannya, wah untuk yang satu ini saya kira terlalu berlebihan, karena saya belum mengerti karakter orang tuanya bagaimana, terutama Ayah Mida, menurut cerita beliau galak, suatu ketika ketika di Jogja, Mida pernah menceritakan itu pada saya, kontan saja, saya jawab " besok kalau saya ketemu bapakmu dan dia marah dengan hubungan kita, saya ajak duel saja, biarmatanya terbuka untuk mengetahui kekuatan cinta saya padamu.." Agak naif sih, tapi ya itu, saya dengan keluguan dan sedikit kekonyolan serta hobby menilai sesuatu dengan persfektif lucuisme, menganggap itu bukan masalah, karena saya pikir, segalak-galaknya macan tidak mungkin makan anaknya. Namun saya menganggap itu serius, karena saya menghargai perasaannya.
ya...saya tidak punya uang untuk membeli tiket pesawat ke pontianak, jadi, saya bilang tunggu saja saya akan jual kamera digital merek sony yang saya punya, kamera itu kamera kesayangan saya, walaupun tidak semahal kameranya Bang Mering, sahabat yang sekaligus abang saya di Pontianak, beliau adalah Wakil pemimpin Redaktur Harian Borneo Tribune, dan Direktur Eksekutif Tribune Institute tempat saya bekerja.
Saya dengan diam meng-SMS teman-teman saya yang berada di sekitar pontianak untuk menawarkan mereka kamera digital saya, tapi semua memberi jawaban belum atau tidak punya uang segitu banyak, saya pun maklum, terbesit dalam pikiran saya untuk mengembalikannya ke counter tempat saya membelinya kemarin, tetapi setelah saya telpon ternyata harganya turun sekitar 50%, kemudian saya buat janji, kalau memang belum laku ke teman-teman saya dengan harga yang lebih tinggi, maka terpaksa saya kembalikan saya dengan harga segitu, yang penting Mida pulang dan bisa bertemu orang tuannya, karena saya tahu betul bagaimana kisah hidup keluarga mereka. Saya tetap bergerilya menawarkannya dalam beberapa hari ini, saya ingin punya uang dan akan saya kirimkan untuk Mida. Maklum juga saya pikir karena baru bekerja jadi belum seberapa, apalagi ini baru tahap job training atau ospeklah barangkali.
saya Ingin Mida mengajak saya untuk bertemu keluarganya, namun kata-kata itu belum pernah saya dengar dari mulutnya, Mida pernah mengatakan, kalau dia takut mempertemukan saya dengan keluarganya, terutama ayahnya, saya sungguh tidak paham dengan perkataannya yang menakut-nakuti saya dengan kegarangan ayahnya, namun saya tidak pernah memikirkan hallain, mengapa Mida menolak diajak ke tempat orang tuannya. Dengan nurani saya, ingin sekali membuatnya untuk lebih fress dalam hidup dan cinta, karena selama ini saya lihat, mukanya menyimpan sejuta keprihatinan entah hidupnya atau hidup orang lain, atau mungkin asa yang akan dia gapai kelak kalau dia sukses menamatkan studinya di kampus humanis.
Saya akan menjual apapun yang saya punya untuk kebahagiaan Mida...karena cinta adalah Mida dan Mida adalah nama dari cinta...

1 comments

  1. Boee says:

    itu hanya pertengkaran kecil bro...
    namun sejatinya kita sayang dengan seseorang seharusnya mida memahami kondisi masing2.


    begitu pula lo..jangan terlalu memaksakan, meski itu atas nama cinta.

    karena cinta juga butuh logika..
    terlalu keras memang tapi cerdas sedikit boleh lah...