Ketika pesawat sudah menginjak tanah Jogja yang sudah dilapisi aspal, saya ingin berteriak, karena kota pendidikan itu ku injak kembali. Saya mengantar Yovinus (adik sepupu), biasa disebut si gendut ke Jogja untuk melanjutkan studi ke Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. kampus tempat saya menuntut ilmu kurang lebih tujuh tahun. Di Jogja saya kembali bertemu dengan Romo Baskara. Dulu sewaktu kuliah saya pernah bertemu Romo Bas, beliau adalah seorang Romo yang aneh menurutku. anehnya karena sudah mendapat gelar Doktor tetapi masih terlihat muda dan belum beruban, berjiwa muda, dan sangat menghargai orang lain yang ingin belajar, tidak terlihat sibuk walau waktu yang disediakan selama 24 jam bagi beliau mungkin kurang karena dipenuhi oleh berbagai aktivitas akademik dan kemanusiaan. Maklum beliau seorang dosen Sejarah dan program pasca sarjana di kampus humanis itu. Romo yang murah senyum tersebut saya hubungi melalui telpon selular ketika sudah sampai ditempat kami berdua menginap, yaitu rumah bapak Dalijan. Rumah Pak Dalijan adalah tempat saya indekost sewaktu kuliah.
Sehari setelah saya sampai di Jogja, tepatnya tanggal 20 Mei 2008, bertepatan dengan hari kebangkitan nasional, saya bertemu dengan F.X. Baskara Tulus Wardaya S.J (begitulah nama lengkapnya). Mungkin karena suasana hari kebangkitan nasional, saya mendapat wejangan dari beliau. Romo Bas, begitu beliau akrab dipanggil, mengingatkan saya, kalau kami sebagai pemuda penerus generasi dan pembangunan di Kalbar harus berjuang lebih keras, karena membangun Kalbar sangat berat dan butuh orang-orang yang berjiwa fighter serta tetap memiliki nuraniLebih lanjut Romo berpesan, kalau jangan hanya mengandalkan isyu kedaerahan, dan yang perlu diingat adalah Kalimantan Barat wilayah Indonesia, dan suku Dayak yang ada di dalamnya itu orang Indonesia. Lebih jelasnya Romo Bas mengatakan "Jadilah Indonesia yang kebetulan Dayak, bukan Dayak yang kebetulan Indonesia". Kurang lebih dua jam kami ngobrol di ruang tamu Pastoran Belarminus Mrican, akhirnya saya pamit, karena adik (ini bukan adik sepupu)yang mengantar saya sudah kelihatan ngantuk. Sebelum pulang Romo Bas titip salam untuk teman-teman di Kalbar, antara lain Bang Mering dan Anika. Rencananya Romo Bas Januari akan ke Kalimantan Barat, itupun kalau kami jadi mengundang beliau, karena diam-diam Romo Bas ingin sekali ke Kalimantan Barat rupanya.Romo Bas juga memberikan buku "Membongkar Supersemar" dan akan diberi pada saya waktu bedah buku "Indonesia Melawan Amerika" yang juga hasil karya intelektual Romo Bas. Malamnya, saya bersama adek (bukan adek sepupu), ke GOR UNY untuk menghadiri acara tersebut. Saya benar-benar mendapat hadiah buku dari Romo Bas, dan buku itu sekarang lagi di resensi oleh Bang A.A.Mering dari harian Borneo Tribune. Senangnya diriku diberi buku oleh seorang doktor,dan saya pun kembali ke tanah borneo sehari kemudian.
Walaupun baru pulang dari Jogja, saya tidak merasa terlalu capek.Mungkin karena sudah terbiasa bolak-balik naik pesawat Jogja-Pontianak. Ketika sampai di Pontianak,bukannya istirahat,malamnya saya langsung mengikuti pertemuan dengan Mas Andreas Harsono dari Pantau Jakarta diikuti juga oleh Pak Kristianus Atok, Bang Yohanes Supriyadi, Bang Mering, Bang David, Bang Tanto Yakobus, ada juga Pak Flora (Sunawar Owat) dari YPB dan kawan-kawan aktivis lainnya. Dengan Andreas Harsono, saya bingung, beliau yang sudah memiliki beberapa rambut putih tersebut, lebih tepat saya panggil bapak, Om, Bung, Bang atau siapalah sebagai wujud penghargaan saya pada salah seorang dewa dalam dunia jurnalistik di Indonesia. Tapi kayaknya saya panggil MAs saja karena dari penampilan beliau masih terlihat muda, walau sudah memiliki putra bernama Norman Harsono (seperti yang saya baca dalam blognya http://andreasharsono.blogspot.com).
Malam itu kami diberi wejangan oleh Mas Andreas Harsono (saya mengikuti trendnya para senior aktivis seperti Bang Mering, memanggil beliau dengan sebutan "Mas". Ya ternyata enak juga dengan ungkapan tersebut, karena lebih simpel dan enak di ucap. Kebetulan juga beliau orang jawa. Saya banyak tahu tentang beliau melalui blog, saya rasa bloglah yang menebus rasa keingintahuan saya pada sosok yang hanya saya tahu dalam buku, seperti Bang Mering, dan Mas Andreas Harsono(sayang, mungkin Mas Andreas Harsono sudah lupa dengan saya, tapi tidak apa-apalah, yang penting saya sudah pernah bertemu dengan seorang Jurnalis tersohor negeri ini, yang memahami betul mengenai sepuluh elemen jurnalisme)
Saya sebagai orang yang masih sangat hijau dalam dunia inteletual dan jurnalistik, masih harus banyak belajar, kebetulan Bang Mering dan disemangati oleh Pak Kris, Bang Yadi, teman-teman YPB, ELPAGAR, YPPN, dan Tribune Institute sangat mengerti dengan kesusahan hati saya sehingga merekalah yang memberi semangat hidup agar saya tetap pada jalan idealisme dan bertahan hidup di kota Khatulistiwa itu.
Sehari setelah saya sampai di Jogja, tepatnya tanggal 20 Mei 2008, bertepatan dengan hari kebangkitan nasional, saya bertemu dengan F.X. Baskara Tulus Wardaya S.J (begitulah nama lengkapnya). Mungkin karena suasana hari kebangkitan nasional, saya mendapat wejangan dari beliau. Romo Bas, begitu beliau akrab dipanggil, mengingatkan saya, kalau kami sebagai pemuda penerus generasi dan pembangunan di Kalbar harus berjuang lebih keras, karena membangun Kalbar sangat berat dan butuh orang-orang yang berjiwa fighter serta tetap memiliki nuraniLebih lanjut Romo berpesan, kalau jangan hanya mengandalkan isyu kedaerahan, dan yang perlu diingat adalah Kalimantan Barat wilayah Indonesia, dan suku Dayak yang ada di dalamnya itu orang Indonesia. Lebih jelasnya Romo Bas mengatakan "Jadilah Indonesia yang kebetulan Dayak, bukan Dayak yang kebetulan Indonesia". Kurang lebih dua jam kami ngobrol di ruang tamu Pastoran Belarminus Mrican, akhirnya saya pamit, karena adik (ini bukan adik sepupu)yang mengantar saya sudah kelihatan ngantuk. Sebelum pulang Romo Bas titip salam untuk teman-teman di Kalbar, antara lain Bang Mering dan Anika. Rencananya Romo Bas Januari akan ke Kalimantan Barat, itupun kalau kami jadi mengundang beliau, karena diam-diam Romo Bas ingin sekali ke Kalimantan Barat rupanya.Romo Bas juga memberikan buku "Membongkar Supersemar" dan akan diberi pada saya waktu bedah buku "Indonesia Melawan Amerika" yang juga hasil karya intelektual Romo Bas. Malamnya, saya bersama adek (bukan adek sepupu), ke GOR UNY untuk menghadiri acara tersebut. Saya benar-benar mendapat hadiah buku dari Romo Bas, dan buku itu sekarang lagi di resensi oleh Bang A.A.Mering dari harian Borneo Tribune. Senangnya diriku diberi buku oleh seorang doktor,dan saya pun kembali ke tanah borneo sehari kemudian.
Walaupun baru pulang dari Jogja, saya tidak merasa terlalu capek.Mungkin karena sudah terbiasa bolak-balik naik pesawat Jogja-Pontianak. Ketika sampai di Pontianak,bukannya istirahat,malamnya saya langsung mengikuti pertemuan dengan Mas Andreas Harsono dari Pantau Jakarta diikuti juga oleh Pak Kristianus Atok, Bang Yohanes Supriyadi, Bang Mering, Bang David, Bang Tanto Yakobus, ada juga Pak Flora (Sunawar Owat) dari YPB dan kawan-kawan aktivis lainnya. Dengan Andreas Harsono, saya bingung, beliau yang sudah memiliki beberapa rambut putih tersebut, lebih tepat saya panggil bapak, Om, Bung, Bang atau siapalah sebagai wujud penghargaan saya pada salah seorang dewa dalam dunia jurnalistik di Indonesia. Tapi kayaknya saya panggil MAs saja karena dari penampilan beliau masih terlihat muda, walau sudah memiliki putra bernama Norman Harsono (seperti yang saya baca dalam blognya http://andreasharsono.blogspot.com).
Malam itu kami diberi wejangan oleh Mas Andreas Harsono (saya mengikuti trendnya para senior aktivis seperti Bang Mering, memanggil beliau dengan sebutan "Mas". Ya ternyata enak juga dengan ungkapan tersebut, karena lebih simpel dan enak di ucap. Kebetulan juga beliau orang jawa. Saya banyak tahu tentang beliau melalui blog, saya rasa bloglah yang menebus rasa keingintahuan saya pada sosok yang hanya saya tahu dalam buku, seperti Bang Mering, dan Mas Andreas Harsono(sayang, mungkin Mas Andreas Harsono sudah lupa dengan saya, tapi tidak apa-apalah, yang penting saya sudah pernah bertemu dengan seorang Jurnalis tersohor negeri ini, yang memahami betul mengenai sepuluh elemen jurnalisme)
Saya sebagai orang yang masih sangat hijau dalam dunia inteletual dan jurnalistik, masih harus banyak belajar, kebetulan Bang Mering dan disemangati oleh Pak Kris, Bang Yadi, teman-teman YPB, ELPAGAR, YPPN, dan Tribune Institute sangat mengerti dengan kesusahan hati saya sehingga merekalah yang memberi semangat hidup agar saya tetap pada jalan idealisme dan bertahan hidup di kota Khatulistiwa itu.