Monday 23 June 2008

ANTI TIDAK HARUS MEMBENCI

Tetangga saya namanya A Yong, seorang Mak Nyah yang super cerewet, namun baik hati. Memiliki suami semata wayang namanya A Long yang bekerja sebagai manejer pemasaran sebuah perusahaan otomitif terkenal di kota ini. A Yong, saya katakan baik hati, karena setiap pagi sebelum saya bangun, dia sudah bangun, walaupun membuat saya sedikit terganggu karena sejak pagi Mak Nyah Ayong sudah ngomel dengan suami tercinta, untungnya bagi saya karena tidak perlu menyalakan alarm HP untuk bangun pagi, lebih hemat, dan praktis tidak perlu dimatikan setelah berbunyi. Sebenarnya bahan omelan (kalau kami di Lembaga menyebutnya Lokakarya) yang disajikan oleh Mak Nyah A Yong dari pagi ke pagi hampir sama, yaitu seputar sembako, uang jajan anak, dan alat solek, yang terakhir ini paling urgent. Maklum, Mak Nyah A Yong mantan TKW yang sudah lama malang melintang di negeri Tirai Bambu, negara dimana Mao Tse Dong dan komunismenya pernah menancapkan kuku dominasinya dengan kuat. Negara tersebut juga belum lama ini menjuarai piala Tomas dan Uber, sebuah turnamen bulu tangkis yang sangat bergengsi di jagad ini.
Omelan-omelan yang keluar dari mulut atas Mak Nyah A Yong pun terdengar begitu kasar, memang saya tidak tahu artinya tetapi dari nada ucapannya hampir sama kalau setiap orang di muka bumi ini marah. Saya pun tidak habis pikir, mengapa setiap pagi selalu terjadi seperti itu, padahal suaminya sudah bekerja dengan baik dan keras. Dari segi pendapatan tidak jauh berbeda dengan PNS golongan IV D negeri ini, belum lagi di tambah bonus kalau ada prodauknya yang laku. Menurut saya hidup di kota yang masih serba carut marut, dan barang-barang sembako masih mudah didapat, bukan alasan Mak Nyah mengomeli suami semata wayangnya, karena kerja kerasnya Mak Nyah dan anak-anaknya masih bisa melihat butiran nasi, saya tidak tahu apakah Mak Nyah pernah berpikir mengenai kaum gelandangan yang jarang mendapat sesuap nasi dalam sehari. Pengeluaran suaminya pun bisa di kalkulasi dengan sangat minimal, paling ya cuma bahan bakar kendaraan. Itu pun tidak usah diperhitungkan karena selain jarak kantor yang dekat dengan rumah, di setiap perempatan yang ada lampu trafig light (lampu lalu lintasnya) kita tidak perlu berhenti untuk menunggu warna hijau menyala, sehingga menghabiskan beberapa tetes bensin di karburator kendaraan bermotor, karena masyarakat di kota ini buta warna, dan selalu menginginkan setiap hari ada kecelakaan, seperti yang diberitaan oleh koran borneo tribune edisi kamis 19 juni 2008, pada halaman pertama, koran borneo tribune merupakan koran yang tulisannya naratif reporting.

Main serobot merupakan tradisi berlalu lintas di kota khatulistiwa, mumpung petugas tidak lihat, sama dengan prilaku cukong dan investor yang main serobot lahan dan hutan adat, tanpa mengindahkan nilai luhur tradisional masyarakat adat setempat, ya, karena dalam otak para cukong itu Cuma duit, tidak ada yan lain, sehingga kelihatan tamak.
Kita tidak bisa membedakan ada atau tidaknya aturan lalu lintas di kota ini meski patung anggota penegak aturannya selalu berdiri gagah di perempatan dekat Garuda Hotel, tidak tahu patung siapa itu, yang jelas kalau manusianya, tidak ada yang betah berdiri 24 jam penuh tanpa harus di ganti. Paling kalau panas sedikit berteduh di pos mereka, sambil mengintip siapa yan melanggar, kemudian di kejar dan di tilang serta dimintai uang, sistem seperti itu, meminjam istilahnya Mas Kelik Peli Pur Lara Wakil Presiden Republik Mimpi, yaitu KUHP alias Kasih Uang Habis Perkara.
Ya...seperti itulah Mak Nyah A Yong yang mantan TKW ilegal, dia berpikir, sekarang saatnya suami saya yang menafkahi saya dan anak-anak saya, kalau ada uang berhenti mengomel. Dulu, saya lima tahun menafkahi mereka ketika saya menjadi TKW yang berlabel ilegal, maklum negara yang memang senang dengan sesuatu yang serba tidak jelas di segala bidang kehidupan, sampai-sampai ajaran agama pun tidak jelas, sehingga saling mengklaim, menganggap agamanya yang paling benar, tidak mau mengakui ada agama lain, anti pluralisme. Pahala besar kalau berhasil menaklukan lawan tandingnya menuju surga, padahal letak surga pun tidak tahu dimana. Frans Magnis Suseno dalam bukunya Menalar Tuhan, (halaman 64-65), Ludwig Feuerbach (1804-1872), yang mengkritik gagasan fundamental Hegel (1770-1831) yang menyatakan bahwa “dalam kesadaran manusia, Allah mengungkapkan diri”. Pernyataan ini dikritik oleh Feuerbach, menurutnya, Hegel memutar balikan kenyataan. Hegel memberi kesan, seakan-akan yang nyata adalah Allah (yang tidak kelihatan), sedangkan manusia (yang kelihatan) adalah wayangnya. Padahal yang nyata tak terbantah adalah manusia. Bukan manusia itu pikiran Allah, melainkan Allah adalah pikiran manusia. Bagi Feuerbach, manusia inderawi tidak dapat dibantah, sedangkan roh semesta hanya berada sebagai objek pikiran manusia. Inti dari kritik Feuerbach, adalah bukanlah Allah yang menciptakan manusia, melainkan sebaliknya Allah adalah ciptaan angan-angan manusia. Jadi sudah jelas, mengapa kita pusing-pusing memperebutkan surga sampai-sampai adu jotos, seperti kejadian di Monas beberapa hari lalu. Sepertinya sudah saatnya kita menisbikan teori bahwa selama ini manusia yang tidak berotak, masyarakat kecillah yang selalu adu jotos. Namun teori sekarang kita balikan menjadi, manusia berotaklah yang senang dengan adu jotos, karena sebenarnya dia justru paling tidak memiliki otak, sehingga pemahamannya dangkal terhadap sesuatu hal. Benar kata Bung Roma Irama seorang penyanyi dangdut tersohor negeri ini dalam sebuah lirik lagu,“benar kata orang lain, belum tentu kata kita, baik kata orang lain, belum tentu kata kita”.
Kembali ke Mak Nyaaaaaaaaaaah...!!!
Nah...Mak Nyah memiliki pemahaman yang dangkal mengenai suami, dia lebih menghargai suaminya masuk dalam organisasi (ISTI) Ikatan Suami Takut Istri. Padahal suami adalah kepala keluarga. Memang sekarang santer isu kesetaraan gender, namun Mak Nyah A Yong keterlaluan, yang dia lakukan bukan kesetaraan lagi, tetapi berusaha meninggikan derajat diri dari suaminya. Karena A Yong pikir, dia sudah lama tinggal di luar negeri, walau sebagai TKW, sedangkan suaminya keluar kota Pontianak pun mungkin jarang, maklum A Long selama kulah di Fakultas Ekonomi terkenal sangat pintar, termasuk pintar nyontek, sehingga dia lulus dalam waktu singkat dengan predikat suma cum laude, sebuah pencapaian tertinggi dalam meraih nilai di perguruan tinggi, namun ya itu tadi, tahunya Cuma bekerja dan bekerja, A Long tidak memiliki teman banyak selain para klien dan pelanggan, yang mau berteman kalau ada diskon produk perusahaan tempat ia bekerja.
Dalm hal tinggal di luar negeri, A Yong berbeda dengan Habibi. Habibie saja sebenarnya tidak bangga tinggal di luar negeri, walaupun gajinya lebih tinggi dari gaji pejabat-pejabat besar di negeri ini. Habibie tetap low frofile, sekalipun pidato pertangung jawabannya di tolak oleh DPR, toh itu tidak mempengaruhi aset kekayaannya yang sudah di bangun sejak lama. Dalam hal menyelesaikan masalah pertengkaran suami istri, A yong tidak seperti Gus Dur yang selalu memiliki jalan terbaik dalam menyelesaikan suatu masalah, cukup mengatakan “gitu aja kok repot”, dengan sendirinya semua masalah selesai, tetapi tidak untuk masalah seteru dengan keponakannya sendiri, kalau yang ini lain lagi ceritanya. Dalam hal mengurus suami, A Yong berbeda pula dengan Ibu Megawati, meski menjadi Presiden, tetap menempatkan derajat suaminya sebagai kepala rumah tanga, sehingga sering kita lihat kalau Ibu Megawati ke mana-mana selalu ditemani suami dan anaknya Puan Maharani, mungkin yang satu ini sekaligus belajar.
Ya... saya memang anti dengan sifat Ma Nyak A Yong, karena selain mengganggu saya untuk kesiangan pas hari libur, juga nurani saya sebagai manusia tersentuh melihat, mendengar dan ikut merasakan bagaimana hancurnya pikiran suami Mak Nyah itu. Sudah bekerja membanting tulang (padahal tidak sampai benar-benar membanting tulang), masih saja di omeli, oh ya... pernah suatu saat sampai di rumah, kaki pertama (kanan maksudnya) baru menginjak anak tangga pertama suaminya, tidak jelas ada masalah apa, tahu-tahu A Long dilempari dengan wajan yang (maaf) pantatnya sangat hitam, maklum saking pelitnya A Yong, masak pun pakai kompor minyak tanah, padahal anggaran untuk membeli gas lebih dari cukup.
Untungnya suami A Yong dulu ketika muda pernah belajar Kung Fu, walau tidak se jago aktor film laga seperti Jet Lee, Jacky Chan, Bruce Lee, Steven Coy, Andy Lau dan sebagainya. Yaaa...untuk ngipas lalat bisa, sehingga wajan penggorengan mereka penyok di tendang suami A Yong. Sampai sekarang, wajan itu saya gantung di belakang rumah, di atasnya saya tulis “korban kekerasan dalam rumah tangga”. Tapi saya lihat tadi wajannya sudah hilang, tinggal tulisan KDRT-nya.
Meski anti, saya tidak sampai hati membenci keluarga mereka, termasuk A Yong, itulah mereka adanya dengan segala kekurangan dan kelebihan. Saya paham betul, tidak semua anggota keluarga yang mengerti dengan posisinya di rumah, sehingga suami pun berubah menjadi istri (perannya) dan istri menjadi suami. Namun sebenarnya hakikatnya sama, yaitu membangun sebuah bahtera rumah tangga, meski dengan jalan masing-masing....jadi mengapa harus pusing...memikirkan surga...kan ada di bawah telapak kali Mak Nyah A Yong.





1 comments

  1. ha....ha....
    Dasar mak Nyah...Mak nyah....Ada gak ye hen, orang kaya gitu, idup agik...Huh.
    Coment-ku
    Kalo Sya jadi PRESIDENT Ndak ada lagi yang namanya, lempar panci,dandang,kuali yang ada perang terbuka...ha...ha...tapi tetap pikirkan nasib 'Wong Cilik'...ha...ha....Hen...hen...Yang sabar Njeeee....