Sunday 14 September 2008

Tanpa bermaksud melecehkan, meski Saudara Sumanto sudah bertobat, namun kita bisa mengajukan permohonan lagi tenaganya sebagai eksekutor para pelaku kriminal, atau Ryan sang penjagal manusia dari Jombang. Ada pertimbangan khusus untuk tidak memakai Ryan karena dia tidak memakan hasil eksekusinya tetapi hanya di mutilasi lalu di kuburkan, berbeda dengan bapak kita yang satu ini sehingga masuk akal memilih dia karena pertimbangan kalau sudah di eksekusi jadi tidak perlu di kuburkan lagi, dan tanah kita yang di sebut Koes Plus tanah surga tidak tercemar oleh darah dan daging haram mereka.

Ketika hukum formal sudah bukan hal yang menakutkan lagi maka hukum rimba akan menjadi satu-satunya jalan membuat para pelaku kriminal baik yang berkerah putih maupun yang kriminal pasaran jera dan bukan hanya jera tetapi ini akan menjadi trend baru bagi masyarakat yang jenuh dengan kemunafikan petinggi negara untuk dijadikan profesi baru dan tidak menutup kemungkinan berbagai universitas akan membuka jurusan ini.

Kriminal kerah putih misalnya koruptor, pencuri uang negara, perdagangan manusia atau traficking dan lain-lain, sedangkan kriminal pasaran seperti maling ayam, copet, rampok, garong, tukang ngutip di jalan, pasar rakyat dan kriminal kelas rendahan lainnya.

Dilihat dari kuantitasnya, kriminal kelas atas atau kriminal kerah putih biasanya main dengan jumlah milyaran rupiah bahkan sampai triliunan dan wilayahnya pun antar negara, sedangkan yang pasaran biasanya mainnya paling tinggi jutaan, wilayahnya hanya tempat kelahiran atau daerah lain yang masih dalam satu negara.

Ketika Hukum Formal bukan hal yang menakutkan bagi pelaku kriminal, maka hukum rimba akan menjadi pilihan terakhir, jadi bukan hanya efek jera saja yang akan di dapat, juga mengurangi populitas manusia di dunia yang berperilaku merugikan orang lain.

Jadi tunggu apalagi ayo...kami orang kampung ingin damai, karena hanya itu yang membuat kami puas dan uang pemerintah yang kami bayar lewat pajak tiap bulan juga bisa utuh sampai ketangan kami.

Friday 12 September 2008

John F. Kennedy mengatakan "jangan tanya apa yang negara sudah berikan padamu, namun apa yang sudah kau berikan untuk negara?"

Sementara Ir. Soekarno pernah mengatahan bahwa: "Bangsa Yang Besar adalah Bangsa Yang menghargai jasa para pahlawannya"

Ungkapan di atas sering kita dengarkan saat kita sekolah terutama sebelum pelajaran Sejarah Perjuangan Bangsa ketika jaman orde baru masih jaya. Bahkan konon negara ini memiliki jumlah pahlawan nasional terbesar di seluruh dunia. Tetapi mengapa kita masih belum dapat menjadi Bangsa yg besar?. Kasus belum diangkatnya Bung Tomo menjadi pahlawan nasional, sakitnya Bapak Jusuf Ronodipuro (pembaca teks Proklamasi untuk disiarkan ke seluruh dunia) telah menunjukkan kenapa bangsa ini tidak menjadi bangsa yang besar. Prosedur pengangkatan pahlawan nasional yg harus melalui pengajuan Lembaga Non Pemerintah (NGO) atau pihak keluarga pahlawan kepada pemerintah membuat kita semua bertanya sebenarnya yang kita anggap pahlawan nasional selama ini ternyata bukan pahlawan tetapi hanya mitos pahlawan saja, atau yang dimakamkan di Taman Makam Pahlawan bukanlah pahlawan sebenarnya mengingat unsur politik juga mempengaruhi pemberian predikat pahlawan.
Rosihan Anwar salah seorang tokoh pers mengatakan kalau dia belum dapat dikatakan Wartawan Perang karena dia tidak meliput perang 10 Nopember 1945 meski dia sedang berada di Surabaya. Sehingga bila ada yg mengatakan Rosihan Anwar adalah wartawan perang kemerdekaan itu hanyalah mitos. Kita juga kuatir apabila pahlawan sebenarnya malah sekarang mengalami diskriminasi karena berseberangan dengan politik kelompok yg berkuasa, dan fakta itu sudah banyak terjadi dan terbongkar. Susah kalau hidup di negara yang tidak memisahkan urusan agama dengan negara, sehingga agama cenderung turut campur menentukan kebijakan negara yang mestinya ditentukan untuk kepentingan universal rakyat menjadi kepentingan kelompok agama tertentu. Tidak menutup kemungkinan kalau suatu saat tinggal Jawa saja yang akan menjadi negara Indonesia, karena pulau-pulau lainnya di wilayah Indonesia akan menjadi negara sendiri. Perlu diingat bahwa pulau-pulau seperti Kalimantan, Bali, Sulawesi, Papua memiliki penduduk asli, mereka juag memiliki hak untuk menjadi tuan di tanah sendiri, sementara sekarang mereka selalu mengalah, diancam komunis atau makar apabila mencoba mengaktualisasikan diri sebagai bangsa pribumi. Kesannya sekarang banyak yang beranggapan kalau kita sedang dijajah oleh bangsa Jawa. Di Aceh misalnya, mereka sendiri menrasa dijajah oleh orang Jawa, ketika saya mendaratkan kaki di Aceh Jaya, sering saya dengar lontaran kata-kata tersebut dari mulut sebagaian besar masyarakat pribuminya. Tidak menutup kemungkinan di daerah di luar pulau jawa banyak yang layak menjadi Pahlawan tetapi tidak pernah di lihat hanya karena dia mungkin orang kafir/pedalaman atau hanya perjuangannya hanya bersifat komunal, bukan bukan istanasentris, atau rajasentris. Seperti contoh: Pang Suma yang tergabung dalam Angkatan Perang Majang Desa yang bermarkas di pedalaman kecamatan Meliau sekarang Kecamatan Meliau Kabupaten Sanggau dalam perjuangan melawan Jepang, mereka berhasil membunuh banyak Tentara Jepang salah satunya Takeo Nakatani, yang kepalanya diserahkan kembali ke pemerintahan Jepang pada tanggal 30 Juli 1981. Perang Majang Desa adalah sebuah nama dari suatu Organisasi perjuangan kemerdekaan yang pertama kali berpusat dan bermula di Kunyil, Kelurahan/Ketemenggungan Embuan Kecamatan Meliau Kabupaten anggau Kalimantan Barat. Organisasi Angkatan Perang Majang Desa adalah organisasi perjuangan rakyat dalam pergolakan melawan dan mengusir penjajah jepang di Kalimantan Barat. menurut Frans Layang (1981) Nama Angkatan Perang Majang Desa diambil dari Paduan nama yaitu 1. Majang, 2. Desa. Majang, nama yang diberikan oleh masyarakat Kapuas bangian Hilir (Sanggau, Pontianak, Sambas, Ketapang dan lain-lain) kepada suku-suku Daya yang datang dari hulu sungai Kapuas seperti Sintang dan khususnya Putussibau dan bahkan termasuk yang datang dari Serawak. Sedangkan Desa, adalah nama dari suku Daya yang mendiami beberapa daerah di kecamatan Meliau dan Tayan di Kabupaten Sanggau. Menurut tulisan Frans Layang, Angkatan Perang Majang Desa terbentuk ketika beberapa tokoh masyarakat Daya yang sudah tidak tahan lagi melihat kekejaman Jepang banyak tokoh masyarakat dari berbagai etnik di Kalimantan Barat yang menjadi korban kekejaman Jepang dalam penyungkupan dan pemancungan di Mandor kemudian dibuatlah monumen daerah, di Singkawang malah sekarang terkenal dengan nama Mungguk Pancung, Kemudian di Kabupaten Ketapang tepat di samping Lembaga Pemasyarakatan namun sayang tidak terawat lagi, Suatu saat kalau hukum di negara ini semakin tidak bertaring, maka tempat-tempat tersebut bisa di pakai kembali untuk pemancungan atau penyungkupan pejabat-pejabat negara yang nakal, korupsi, sering mangkir ketika jam dinas dan aparat-aparat negara yang selalu minta sopoi di jalanan.

Adalah Temenggung Mandi alias Pang Dandan yang bergelar Orang Kaya beserta beberapa orang anak buahnya menyusun rencana dan mengatur siasat. Mereka menghubungi rombongan-rombongan pekerja yang berasal dari Kapuas Hulu dan Serawak pada perusahaan kayu milik Jepang, khususnya yang bermukim sementara di Durian Pampang Sansat di sebelah hilir Pulau Tayan, serta yang berada di Sekitar Kunyil dan Embuan. Awal bulan Maret 1944 dipanggillah secara rahasia beberapa orang diantara mereka yaitu: Burung, Jap alias Rejap dan Sulang. Pertemuan yang sangat rahasia tersebut memperoleh kata sepakat untuk membentuk dan menghimpun untuk kekuatan rakyat untuk melawan pemerintahan Jepang. Mereka menyebut dirinya sebagai Angkatan Perang Majang Desa. Keanggotaannya terbuka untuk siapa saja yang mau berjuang bersama-sama melawan Jepang khususnya dan penjajah umumnya. Anggota utamanya dalah sebagian besar masyarakat Kalimantan Barat, khususnya yang berada di sekitar kabupaten Sanggau seperti orang Daya, Melayu, Cina, Bugis dan lain-lain yang simpati dan dapat bekerja sama dalam mengusir penjajah untuk mencapai kemerdekaan. Setelah adanya kata sepakat antara Temenggung Mandi dengan mereka, maka rencasna perlawanan terhadap pemerintahan Jepang, telah disusun secara rahasia. Smbil menunggu saat yang tepat, maka keris pusaka orang Daya desa memberi isyarat kurang menguntungkan. Tidak hanya itu, berbagai macam cara yang menunjukan bahwa waktu itu juga orang Daya sudah menyatu dengan alam dan sangat percaya dengan tanda-tanda alam, meramalkan atau menentukan keadaan yang menguntungkan. Mereka menentukan waktu yang paling baik.

Keris pusaka Pang Dandan yang merupakan Temenggung yang sangat berpengaruh dalam Angkatan Perang Majang Desa tersebut memberi petunjuk baik, merekapun memberitahu kepada seluruh masyarakat dan pekerja aga menyimpan segala persiapan makanan untuk kebutuhan perang. Kemudian mereka secara terang-terangan menyatakan perang kepada pemerintahan Jepang, Senjata Tradisional Daya seperti Mandau/Parang, Tombak, Sumpit, Senapan Lantak supaya diadakan dan diperbanyak.Perlawanan terhadap pemerintahan Jepang Oleh Angkatan Perang Majang Desa pun terjadi. Perlawanan-perlawanan seperti peristiwa Suak Garong Peristiwa ini bermula dari pekerja-pekerja perusahaan kayu Jepang yang di sebut dan di kenal oleh masyarakat dengan singkatan "KKK" dengan sebuah cabangan di Sungai Posong anak sungai embuan yang bernama SKK (Sumito Shokusan Kabushiki Kaisha).

Pekerja yang sebagian besar penduduk daerah situ dan beberapa pendatang diberi upah yang tidak layak. Namun ada beberapa penjilat yang akhirnya bisa menjadi Mandor kemudian di peralat untuk memata-matai buruh kasar yang diindikasi akan melawan. Kehidupan masyarakat Daya waktu itu tidak berubah sampai sekarang terutama dalam bidang ekonomi yang masih bergantung dengan alam, mereka 99% memanfaatkan alam untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, sehingga apabila alam dirusak maka hati mereka akan bergejolah marah dan mandau akan mendarat di leher siapapun apabila ekosistem mereka diganggu (tunggu saja satnya tiba kalau belum percaya)
YAMAMOTO yang digelar masyarakat meliau sebagai Tuan Pentong berkedudukan di Kunyil Embuan sebagai pimpinan perusahaan KKK mambawa keraninya Atet ke Suak Garong. Lisi sang pekerja yang diindikasi melawan dicari oleh Tuan Pentong. namun Tidak ditemukan sehingga dia menyiksa orang-orang yang ada di kampung Embuan. Kebetulan Tuan Pentung bertemu Pang Rontoi suami Istri yang sudah tua. Yamamoto masuk ke rumah dan meraih martil yang ia jumpai di atas tempat duduk Rontoi. Namun Pang Rontoi luput dan martil tersebut mendarat di kening Atet sang kerani Jepang. Peristiwa itu membuat Yamamoto marah dia menyerang Pang Rontoi alias Caya dengan membabi buta.


Dibalik rasa takut Pang Rontoi timbul keberanian, kemudian menangkis serangan Yamamoto, bukti sabarnya orang pribumi dalam mendapat tekanan mereka belum berfikir untuk menyerang, mereka hanya berfikir menghindar dan menjauh mereka dasarnya tidak mau konflik, dalam pikiran mereka mengalah lebih baik yang penting tidak konflik, namun apabila sampai mau mencelakakan ya apa boleh buat.

Naluri Indong Rontoi yang sedang menumbuk padi, tidak tega melihat suaminya diserang bertubi-tubi, dengan nekad diayunkan alu ke kening Yamamoto sehingga membuatnya terhuyung-huyung, kemudian Pang Rontoi meninju mata Yamamoto.

Yamamoto alias Tuan Pentong mengalami patah tangan dan muka berdarah, dia pulang sambil menunjuk-nunjuk dengan tanganya yang belum patah itu ke arah Pang Rontoi sekeluarga bernada mengancam atau dia akan datang lagi, Tunggu saja.
Pang Rontoi melaporkan kejadian tersebut ke Temenggung Mandi alias Pang Dandan di Kunyil. Kemudian Pang Dandan membagi masyarakatnya menjadi tiga kelompok yang dipimpin oleh masing-masing seorang Panglima. Kelompok satu dipimpin oleh Pang Suma alias Menera, Kelompok II dipimpin oleh Pang Linggan alias Ajun dan Kelompok III dipimpin oleh Andreas Timbang. Sambil mereka menunggu komando dari Pang Dandan, mereka bersemadi dan bertapa di Balai Keramat Tiang Lima Bambu Kuning Suak tiga Belas Sungai Belansai yang sekaligus merupakan pusat pertemuan dari seluruh rakyat yang datang dari berbagai pelosok dan daerah Kalimantan Barat.

catatan untuk Pembaca: Mengenai Perlawanan Angkatan Perang Majang Desa selanjutnya akan saya tulis lagi, karena masih panjang sama seperti kisah di Ponegoro dijamin lebih menarik dari itu.

Ironisasi Sosial
Mungkin benar istilah "Arwah para pahlawan murka" karena anak bangsa semakin hari semakin serakah menzolimi uang dan harta kekayaan negara yang semestinya itu untuk kepentingan rakyat banyak, malah di santap sendiri atau secara berkelompok. Belum lagi selesai kasus Suap di BI yang melibatkan besan SBY, sekarang muncul lagi kasus pengadaan dan pemasangan fire alarm di Istana Negara dan Bina Graha dengan nilai kontrak sebesar Rp 12 miliar lebih. http://tv.kompas.com. Uniknya media pun mengemasnya secara bertele-tele dan penyelesaiannyapun bertele-tele sehingga masyarakat dibuat tidak mau lagi menjadi saksi dalam setiap perkara dan pemutusan perkarapun terkesan selalu menguntungkan terdakwa.

Tuesday 2 September 2008

...Aku ingin menuliskan senja! Tapi sekian kali kucoba, sekian kali pula tak kudapat. Satu kalimat, terhenti, diam lama, dan putus asa
Suatu hari kujalani senja.

Diam menatapnya menghilang berganti gelap malam. Di tanganku selembar kertas dan sebuah pulpen bersih tak bertulis. Senja telah hilang, aku pulang lengang. Di hari yang lain, kutelusuri jalanan senja yang riuh. Hanya angin debu dan asap knalpot yang kutemu.

Sebenarnya aku ingin menuliskan senja dari teras rumah.

Senja yang dingin dan kelabu. Secangkir teh hangat, pot bunga, dan kursi roda, secangkir teh manis yang menemaniku dalam bayangan sore itu.

Gerimis sore menyisakan genangan air mata menetes di pipi namun tak lagi dipedulikan karena diseka pun terus saja mengalir seperti sungai di lembah kerinduan.

Ketika hati mencoba tuk raih seberkas senyum yang hadir dalam benak, namun seketika juga hilang dan pergi.

Rasa tak lagi mengurai kata yang semestinya kuukir di atas kertas putih yang selama ini langka ku nikmati lagi karena berbagai kesibukan.
Sebuah buku usang yang dibalut debu tersandar menangis di pojok ruang kamarku, sengaja kubersihkan sore itu. Ku coba membuka lembaran lama yan kutulis setiap senja.

Seperti ada yang menahan lajunya liran darahku senja itu. Aku mulai membaca lembaran demi lembaran buku usang yang berisi setiap rekaman jalan hidup yang sudah ku tempuh, dalam hatiku selalu timbul sebuah dendam akan kejamnya hati dan hilangnya kasih sayang yang semestinya kunikmati seperti semua orang.

Aku berjuang sendiri dalam gelap sampai matahari pun tak lagi memihakku. Aku menyusuri gurun gersang tak satu pun oase yang datang sembari bersujut meneteskan air kehidupan untuk diriku. Aku pergi dan berkelana sampai pada jalan yang selalu ditumbuhi oleh tajamnya duri ilalang. Ya…tanah itu gersang selagi aku belum mampu menggarapnya.

Tak kan mungkin dapat kulihat hamparan daun hijau yang menghadirkan senyum padaku meski bulan tak lagi bersinar, bintang tak lagi berkelip dan kata tak lagi terlontar dari mulut yang setiap hari mengumbar kedengkian pada diri.

Perlahan kusentuh sebuah halaman yang membawaku pada serpihan kenangan, pada hari-hari kecilku ternyata langkanya untuk mendapatkan sebuah senyum.
Harus lagi ku bertanya siapa yang akan memberi sebuah senyum yang mengakhiri kehausan diriku akan sebuah belaian kasih sayang, sementara padang gersang selalu menungguku untuk siap kutempuh lagi.

Oase yan bertepuk tangan menyaksikan letihnya diriku menyusuri jalan setapak, oase juga bertepuk tangan menyaksikan darah mengalir pada kakiku yang terluka ah..dia tidak mengusapnya seperti Yesus yang diusap wajahnya oleh wanita yang tak ku kenal (Veronika.), ketika menjalani hukuman mati oleh tirani.

Aku terus berjalan menyusuri jalan hati merentang dan menentang mimpi menuju cahaya yang tak ku jumpai selama ini.
Aku seperti manusia yang baru lahir… hanya bisa meneteskan air mata jika lapar, meneteskan air mata saatku akhiri tulisan ini… karena tak kuasa lagi untuk menyibak setiap tetesan peluh…peluh hati yang sudah terasa asin… menetes di sela pori-pori pipi ku…aku buka lagi lembaran itu sembari terus menerawang “aku masih ingin hidup".

Ku seka setiap debu yan membalutnya. Kuletakkan kembali, tak kuasa juga membukanya sampai halaman terakhir, karena justru halam terakhir itu yang menyiksa batinku..Ah…aku malas untuk mengingatnya…Aku benci buku harianku…aku benci semuanya...