Monday, 9 March 2009

Pagi itu otak saya error. Saking errornya tidak ada persiapan ketika berangkat memburu berita, padahal banyak yang bisa ditulis. kalbar besar, kemiskinan pekerjaan rumah yang tak kunjung selesai. belum lagi illegal logging, perampokan kian menjadi, tata pemerintahan tidak jelas karena legislatif dan eksekutif berebut kuasa, masing-masing tidak mau kalah

Ini lahan buat wartawan," kata teman suatu ketika.
Pertikaian bisa dibesarkan dan dikecilkan tergantung kelihaian wartawan memainkan situasi, pun kalau wartawannya cerdas
Kadang saya juga tak suka dengan profesi ini, namun karena panggilan dan hobi, pusing bagaimanapun tetap saya jalankan. Bukan apa, hanya benci sama diri sendiri saja, ide kadang hilang, pas tidur atau diatas motor seribu ide muncul untuk meulis apa saja, termasuk menulis yang ( maaf) jorok-jorok tentang lawan jenis babi jantan, ditempat pemotongan.

**
agak tak nyambung, Pagi itu saya berangkat berburu. Pulpen, buku dan kamera serta perlengkapan tempur lainnya sudah menyatu di Tas pemberian Pertamina. Tas kerja itu setia berpagut di punggung setiap hari, tanpa komentar mencium bau keringat yang kadang tak sesuai selera penciuman normal.
saya melaju di jalanan, perut keroncongan, semadi nam saya singgah di Pak Tea, karena malamnya, Pak Sarimin, Guru SLTP saya meminta ke rumah. Dia bawa oleh-oleh dari Darit, Mempawah Hulu, Landak. Ini...ni... sangsang babi, wuih enak sekali-sekali enak.
Tanpa banyak cing-cong saya makan hampir tak ditawar sama orang rumah, niat makan hampir bersamaan dengan tawaran. Pak Tea yang seprofesi dengan saya sebagai pemburu menyirap daging babi yang sebelumnya dipotong sagola.
Enak sekali rasanya makan pagi itu...saya tak tengok kiri kanan...saya makan karena saya lapar.
sambil menunggu Pak Tea mandi, saya nonton metro TV, iklanya berturut-turut Jusuf Kala dengan golkarnya, saya ogah nonton, namun ketika pindah di chanel lain, sama saja, iklan parpol mulu.

Beberapa hari sebelumnya, saya hilang selera meliput JK yang datang ke Pontianak, dalam rangka kunjungan sebagai Ketua DPP Golkar, tugas itu saya limpahkan ke senior, agak tak sopan memang...tapi bagaimana, saya paling alergi dengan ketatnya pengamanan Paspampres, sampai-sampai ditegur wartawan pun paspampres tak mau nyahut, wajahnya pun terkesan tak bersahabat, saya malas dan pulang saja dari Zamrud Khatulistiwa. Di hati sudah hilang niat meliput JK, jengkel juga..."Tak tahu aslinya JK akrab tidak sama rakyat kecil, kan dia anak saudagar?".

Seberapa jahat ya orang Kalbar, sampai paspampres kayak gitu? gumamku. JK-kan dipilih rakyat, meski dia datang sebagai DPP Golkar, Rakyat tetap menganggapnya sebagai Wapres, Rakyat Kalbar ingin ketemu langsung dan mengeluhkan setiap kesengsaraannya pada pemimpin yang mereka pilih langsung.

Jaman Pak Karno, Pengamanan tak segitunya, beliau bebas berjalan dipematang sawah, ngobrol dengan rakyat di mana saja. Beliau tahu persis bagaimana kehidupan rakyat. Di malam gelap pun rakyat hafal dengan suara pak Karno.

Setahu saya, Pak Karno itu presiden Indonesia yang merakyat, kebapakan dan berkarakter sehingga banyak politikus yang menyertakan gambar Pak Karno dalam balihonya, padahal politikus tersebut sifatnya bertolak belakang dengan Pak Karno, boleh uji? apalagi soal karakter. Ah... jadi ngelantur.

Kami berangkat dari rumah, rencana mau ke Hotel Santika, liputan paeran pendidikan internasional, namun sudah selesai, kasihan deh. muka dua orang tanpa dosa keluar...dan membayar parkir, berlalu ke Jalan Ampera ketemu Deputi Direktur walhi, Blasius Hendi Candra, mau wawancara apa saj yang menjadi isu terhangat dari walhi.

Rumahnya di jaan Ampera, lewatnya Jalan Danau Sentarum, saya ditanya sama Pak Tea..."Ini lurus kah?"
"Lanjut?" kataku, padahal tak tahu dimana arah jalan Ampera.
eh...ternyata kami sudah sampai di Sungai Jawi...saya memang tak tahu mana jalan danau sentarum, apalagi Jalan Ampera.
Namun sok tahu saja, kan baru tiga bulan di Pontianak...mana bisa cepat menghafal jalan ruwet kota ini, apalagi menghafal kios liar di tepi jalan.

Kami nyasar...Pak Tea yang biasanya kalau marah jenggotnya tambah panjang tak bisa marah karena dia juga lama tak di Kalbar. Kami bingung, balik lagi ke jalan awal, nyari rumah Hendi. Aku hanya komentar " Tanyak Kelik Selubang namanya..."

Monday, 16 February 2009

Ku tuliskan sebuah puisi kerinduan
Dalam bayang kubelai lembut jemarimu
Ingin sekali kubelai saat ini
Angin membisik anganku tuk selalu bersamamu... Sebait puisi, sengaja kutulis untuk Valentine Day kita berduaMenjaga benang kasih sayang yang saat panjang terbingkai
Meski letih mendera...tak akan ku hiraukan kerikil beradu dengan tapak kakiku..
Melangkah menggapai keabadian yang telah kita ukir berdua...
Apa kau merasakannya di sana...getar rinduku kadang membuat air mata tak terasa menetes...Happy Valentine Day...

Wednesday, 11 February 2009

Borneo Tribune, Sambas

"Asyiknya menenun itu, bila sudah hampir selesai, motifnya bagus," ujar Emi Purnima kepada saya sembari tersenyum. Dia pun menyambut dengan ramah.
Ruang yang tidak begitu besar, di rumah yang terletak di Jalan Pendidikan Kota Sambas, terletak seperangkat alat tenun manual hampir memenuhi ruang berukuran 4x4 meter itu. Di jendela rumah, tampak pemandangan jembatan kayu seakan memotong tenangnya arus Sungai Sambas.
Peralatan tenunnya licin mengkilap pertanda sering dipakai pengunanya. Emi Purnima, generasi ketiga pelestari tenun Sambas yang terkenal itu.
Gerimis sore yang mengiringi perjalanan saya menuju kediman Emi. Karena hanya gerimis, saya pun tidak mencari tempat berlindung. Saya langsung menuju rumah yang persis berhadapan dengan SDN 4 Sambas.
Saya sengaja singgah di rumah itu karena ingin bersilaturahmi dengan penghuni rumah, mereka dulu guru SMPN Balai Berkuak, Kecamatan Simpang Hulu, Ketapang tempat saya bersekolah.
Irianto dan Emi Purnima, sejak tahun 2003 kembali ke tanah kelahirannya di Sambas, mengabdi sebagai guru juga. Irianto megajar di SLTP Sejangkung, sedangkan Emi Purnima mengajar di SLTP Semberang, semuanya di wilayah Kabupaten Sambas.
Malam itu, kami berbincang-bincang mengingat ketika saya menjadi siswa dan mereka yang menjadi guru saya. Setiap kenangan kami utarakan tak ada habisnya, mereka antusias sekali.
Sejak lulus D III Bahasa Indonesia Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Tanjungpura 1986, setahun kemudian, Irianto bertugas di Balai Berkuak menjadi guru Bahasa Indonesia, sedangkan Emi Purnima, istrinya menyusul setahun kemudian mengajar bidang studi yang sama.
Pahit manisnya hidup, mereka rasakan sewaktu menjadi "Oemar Bakri" di Balai Berkuak, dengan gaji golongan dua waktu itu Rp56.000, beras 10 kg, kalau digabung, gaji mereka berdua hanya cukup untuk kebutuhan keluarga sebulan.
Sementara menurut Irianto, setiap dua bulan salah satu mereka harus ke Sambas menjenguk putra-putrinya, Andika dan Mega yang masih kecil tinggal dengan kakek neneknya bersekolah di Sambas. "Waktu itu serba sulit, gaji segitu beh tak cukup untuk ke Sambas," kenang Pak Irianto dengan logat Sambas yang kental.
Tahun pertama Irianto dan Emi Purnima di Balai berkuak, Jalan Trans Kalimantan belum ada, transportasi lewat Sungai Kualan. Kalau mau ke Sambas harus ke Pontianak dulu. Perjalanan ditempuh sekitar empat hari baru sampai di Sambas.
Itu pun harus menunggu kalau ada motor orang Tionghoa ke Pontianak membawa karet. Waktu tempuh motor air dari Balai Berkuak-Pontianak dua hari, istirahat satu hari di Pontianak menunggu bis ke Sambas, hari berikutnya baru sampai di kota yang terkenal dengan bubur pedasnya itu.
Irianto menambahkan, untuk mencukupi kebutuhan dan biaya transportasi ke Sambas dengan menjual hasil tenunan istrinya. Karena hobi tadi, ketika pindah ke Balai Berkuak, dia membawa serta peralatan tenunnya. Hasil penjualan dua helai kain tenun ketika itu bisa mencapai Rp160.000.
Sedang asyiknya kami bercerita, mata saya tertuju pada kain tenun yang dibingkai tergantung rapi di ruang tamu. Menurut Emi--begitu dia akrab dipanggil, tenunan tersebut hasil karyanya sendiri, yang pernah dipamerkan di even pameran kabupaten ketika masih di Balai Berkuak.
Emi pandai menenun, keahlian tersebut didapatnya dari sang ibu, Fatimah Ahmad yang juga seorang penenun. Dia belajar menenun dengan sang Ibu sejak kelas 4 SD tahun 1976. Putri sulung Abdul Kadir, mantan Kepala Desa Jagur, Sambas ini menganggap menenun itu hobi dan tradisi turun temurun keluarga, dia generasi ketiga penenun, sehingga perlu dilestarikan. "Ini tradisi Sambas, saya ikut melestarikannya," ujarnya. (Bersambung)

Friday, 6 February 2009

"Borneo Tribune beritanya padat ya," ujar Kepala Sekolah SMA St. Bonaventura kepada saya, yang ditemani bagian pemasaran Harian Borneo Tribune, wilayah Kabupaten Sambas, Amrul, Selasa (3/1).

Sore itu, saya mengontak teman lama, Oka, lewat telepon seluler. Oka, alumni Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Ia sekampus dengan saya, hanya beda angkatan dan jurusan. Dia jurusan Bimbingan Konseling, saya Pendidikan Sejarah. Dia masuk 2000, saya tahun 2001.

Kami pernah bertemu, ketika mendampingi siswa SMP/SMA dalam latihan kepemimpinan yang diselenggarakan YPPN di Rumah Doa Rivotorto, Lembah Sarikan, Kecamatan Toho, tahun lalu.

Ketika saya mendapat tugas dari kantor ke Sambas, teringat kalau ada alumni Sanata Dharma mengajar di SMA St. Bonaventura. Sambas daerah baru bagi saya. Sehingga teman yang saya kenal pun hampir tak ada. Kalau bukan Amrul, bagian pemasaran harian Borneo Tribune, siapa lagi.

Amrul setia menemani saya, selama beberapa hari di Sambas. Dia juga yang mengantarkan saya bersilaturahmi ke kediaman guru SLTP saya, di Jalan Pendidikan.

Sore itu, saya menelepon Oka, dia baru sampai di Sambas, siangnya dari Singkawang. Kemudian sore harinya, dia mengajar muatan lokal di SMA St. Bonaventura. Kebetulan saya di Sambas. Oka meminta saya memberi materi Jurnalistik di kelas 10 C di lantai II.

Karena waktunya mendadak, saya mencoba sebisanya. Untungnya, di Flash Disk masih ada copian materi Jurnalistik dari Aleksander Mering. Itu yang dipakai. Saya mencoba menjelaskan kepada siswa dengan alokasi waktu 1 jam pelajaran, untuk menjelaskan bagaimana membuat berita straight news, menulis feature dan artikel di media massa. Saya sekaligus mengenalkan harian Borneo Tribune, sebagai Koran Pendidikan di Kalbar.

Siswa nampak antusias, walau sore biasanya mengantuk menyerang. Oka pun tak ketinggalan. Dia menanyakan, bagaimana menerapkan 5W+1H dalam sebuah tulisan. Sayangnya, waktu yang diberikan ke hanya satu jam. Sehingga yang dijelaskan hanya bersifat umum mengenai hal itu.

Di lantai dasar, Suster Kepala sudah menunggu kami berdua. Suster berterima kasih karena bersedia memberikan materi. Suster berharap, Borneo Tribune mau bekerja sama dengan SMA St. Bonaventura, untuk membantu siswa belajar jurnalistik, dan guru-guru juga butuh ruang ekspresi untuk menulis.

Waktu menunjukan 14.55 Wib, walau di luar hujan deras. Kami harus pulang ke kantor biro harian Borneo Tribune, nun di Jalan Kartiyasa, Sambas.

Sunday, 1 February 2009

Gaya Gesek, adalah gaya yang bekerja pada benda dan arahnya selalu melawan arah gerak benda. Gaya gesek hanya akan bekerja pada benda jika ada gaya luar yang bekerja pada benda tersebut. Untuk menjaganya agar tetap bergerak, kita harus tetap mendorong (memberikan gaya). Jika dicermati dengan saksama, anda akan menyimpulkan bahwa benda-benda yang bergerak secara alami akan berhenti dan sebuah gaya diperlukan agar untuk mempertahankannya agar tetap bergerak.
Pada abad ketiga Sebelum Masehi, Aristoteles, seorang filsuf Yunani pernah menyatakan bahwa diperlukan sebuah gaya agar benda tetap bergerak pada bidang datar. Menurut Aristoteles, keadaan alami dari sebuah benda adalah diam. Oleh karena itu perlu ada gaya untuk menjaga agar benda tetap bergerak. Ia juga mengatakan bahwa laju benda sebanding dengan besar gaya, di mana makin besar gaya, makin besar laju gerak benda tersebut.
Setelah 2000 tahun kemudian, Galileo Galilei “menggesek” pandangan Aristoteles. Galileo mengatakan bahwa sama alaminya bagi sebuah benda untuk bergerak mendatar dengan kecepatan tetap, seperti ketika benda tersebut berada dalam keadaan diam. Untuk memahami pandangan Galileo, bayangkan jika kita mendorong sekeping uang logam pada permukaan lantai yang sangat licin. Setelah anda berhenti mendorong, keping uang logam tersebut akan meluncur jauh lebih panjang (dibandingkan ketika mendorong di atas permukaan lantai kasar). Jika dituangkan minyak pelumas atau pelicin lainnya pada permukaan lantai tersebut, maka keping uang logam akan bergerak lebih jauh, dibandingkan dengan percobaan pertama.

Gaya gesek tidak hanya dalam ilmu Fisika, namun dalam politik apalagi politik kekuasaan terjadi juga gaya saling menggesek, yang mengorbankan salah satu pihak yang lainnya aus tidak mamu menahan gesekan. Dalam sebuah perusahaan atau lembaga bila terjadi gaya gesek antar pimpinan yang dikorbankan bawahan.

Sama hal misalnya penetapan caleg berdasarkan suara terbanyak, membuat caleg harus bersaing ketat, tidak tertutup kemungkinan terjadi kampanye saling menjelek-jelekkan atau black campaign antar-caleg, apalagi tidak menggunakan minyak pelumas seperti gaya gesek yang dikemukakan ilmuwan fisika, sehingga menimbuklan aus “soak” salah satunya. Berbeda dengan gesekan “Yoyo”nya Megawati terhadap Presiden SBY, ketika Rakernas PDIP di Solo bulan lalu, yang sempat memanaskan telinga Anas Urbaningrum dan bahkan Sang Presiden.

Gaya gesek bahaya, apalagi “saling bergesekan” tak tentu rudu karena ambisi, namun bukan hal tabu dan harus ditakuti dalam politik praktis, meski yang dikorbankan adalah masyarakat yang disuruh memilih, tergantung bijak atau tidak menyikapi gesekan itu.

Namun, yang bergesekan mesti tahu, masyarakat kadang tidak mengetahui siapa yang dia pilih, yang masyarakat tahu adalah apa yang dijanjikan kandidat yang dipilih, sehingga masyarakat ujung-ujungnya hanya sapi perah juga, bayar pajak terus. Masyarakat juga yang dipilih menjadi dewan pun masih terus bergesekan tampa berfikir solusi untuk kemajuan masyarakat yang mestinya ia perjuangkan.

Monday, 15 December 2008

Awalnya saya diminta Mering mengantar undang acara workshop Borneo Tribune ke Florus, Yadi, Kris. Atok serta Pastor Rubini di Sekolah Tinggi Teologi Pastor Bonus Jalan 28 Oktober Siantan, karena rumah mereka kecuali Yadi, searah dengan saya yang juga numpang di rumah kakak di Siantan. Undangan untuk Yadi saya bacakan saja lewat telpon memang agak kurang sopan, untung Yadi yang sudah memegang jabatan direktur sebuah LSM di Pontianak bisa maklum dengan keteledoranku, Krist. Atok adalah Kandidat doktor di Universitas Kebangsaan Malaysia dia sederhana murah senyum dan sangat menghargai orang lain (maaf pak ini Fakta menurut saya), sedangkan Florus itu yang saya kenal penulis hebat dan cerdas, saya suka tulisannya, menggelitik dan logis, Mering adalah mentor saya di Borneo Tribune, saya banyak belajar menulis dari dia.

Sebenarnya surat itu harus saya beri sehari sebelumnya, namun malam itu harus menyelesaikan beberapa konsep berita buat besoknya jadi tidak enak kalau singgah di rumah orang larut malam. Undangan itu jadinya baru diantar sore 4 Desember, karena acaranya tanggal 7, jadi masih memenuhi syarat untuk sebuah undangan resmi di Indonesia yang biasanya H-3.

Sore itu, selesai deadline saya pulang dari Purnama melewati jalan jalan Veteran karena saya pikir sudah sore pasti tak ada razia peralatan motor seperti kaca intip, lampu belok dan plat nomor yang tak jelas, maklumlah motor pinjaman dan butut lagi. Saya melewati Tanjungpura, sampai di perempatan terlihat kendaraan menyemut pertanda mcet yang tak terbendung, makum sore atai pagi tepat itu seperti tak bisa lewat, padahal sudah ada jembatan dibuat baru di hulunya biasa disebut kapuas dua, jarang dilewati karena jauh dan terlalu memutar, selain itu orang banyak takut melewatinya karena sekrup jembatan tersebut banyak dicuri sama setan, karena kalau manusia kan tak doyan makan besi. Saat-saat macet apalagi kalau tengah ghari ingin motor kita itu punya sayap dan berubah jadi helikopter biar bisa terbang mendahului orang-orang yang asyik bermain klakson motor dan mobil, tapi apakan daya, Om Yes tak menciptakan daya magic yang menyamai dia pada manusia.

Lepas dari macet yang memakan waktu hapir 200 menit, saya masuk ke sebuah biara namanya Sekolah Tinggi Teologi Pastor Bonus, yang mencetak calon pria lajang sejati dan kata mereka proses melajang tersebut tak lepas dari campur tangan Tuhannya orang katolik bernama Yesus Kristus, saya biasa menyebutnya Om Yes tapi jangan di tiru ya karena saya pernah dibilang tak sopan sama nenek di kampung ketika menyebut kata itu sewaktu mengakhiri doa yang penggalan kalimatnya ada kata Yesus, saya hanya sebut Om Yes, karena lebih enak diucap dan simpel. saya pikir Diakan maha tahu, tak perlu kita bersembunyi dari apa adanya kita, karena sudah banyak orang taat agama bertopeng, yang setiap hari ke tepat ibadah kemudian korupsi atau mencuri maupun menipu orang alias berbuat jahat, tak terkecuali berfikiran jorok kala melihat wanita seksi naik motor di perempatan, sampai lupa kalau lampu pengatur lalu lintas warna hijau menyala.

Tempat itu asri, hijau dan banyak pohn akasia tubuh di sana tertata rapi, saya setengah kaget karena selama ini Pontianak sudah tidak ada lagi ruang publik yang ada hutan, eit maaf tempat yang barusan saya sebut bukan ruang publik, itu biara. Biara STT Pastor Bonus tak pernah singgah sebelumnya dalam pikiran saya. Penataan letak gedung satu dan lainnya menggambarkan kalau itu dikerjai arsitek dan tata ruang yang berfikir seni artistik tak heran tempattempat indah seperti itu diperkhususkan untuk orang melajang sampai mati, karena hal duniawi sudah didapat dengan melihat pemandangan indah dan sejuk di sekitar rumah, berbeda dengan masyarakat awam seperti saya yang tidak ada apapun di halaman rumah sehingga pikiran ke yang indah-indah terus termasuk anda yang membaca (mungkin).

Di situ, saya bertemu Pastor Sutadi untuk mengantar undangan buat pstor Rubini, Pastor Rubini adalah pastor yang kami kenal di Tribune Institute, dia orang Tiong Hoa yang mau juga melajang mungkin sampai akhir hayat. Namun sore itu, Pastor Rubini tidak ada ditempat, ke jakarta kata pastor sutadi. pastor Sutadi adalah mantan pastor paroki Santo martinus Balai Berkuak tahun1998 sebelum dia sekolah lagi ambil gelar Doktor di Gregoriana University di Roma, sekarang Sutadi menjadi Rektr di STT pastr Bonus. gayanya simpel ramah, dulu Pastr Sutadi berkumis, sekarang sudah tidak lagi, saya tidak ptahu apa sebabnya apakah karena tak mau dibilang mirip suami Inul Daratista yang ratu ngebor itu atau memang sudah bosan menggunakan kumis.

setelah mengetahui Pastor Rubini tidak ada di tempat, surat itu saya titip ke Pastor Sutadi, agar di sampaikan ke Pastor Rubini. Gerimis sore menetes menyiram bunga dan pepohonan yang ikut mendengar pembicaraan kami berdua di beranda Rumah Pastor Sutadi. kami bernostalgia mengenai Balai Berkuak sewaktu saya pernah jadi putra altar semasa SLTP, waktu itu Jumat Agung untuk memperingati hari kematian Om Yes eh maksud saya Yesus Kristus.

Pembicaraan kami sampai ke saya menduduki bangku SLTA, saya mengatakan ke dia kalau waktu di SLTA saya menjabat wakil ketua mudika Santa Gemma Keuskupan Ketapang. Sutadi akrab dengan saya, dulu ketika bertugas di Balai Berkuak sering berkunjung ke rumah, karena stasi kami Bunda Pengharapan Suci di Kangking yang gerejanya belum jadi sampai sekarang adalah binaan dia. Romo Sutadi juga kenal dengan rang tua saya.

Cerita panjang kami sampai pada studi saya waktu di Jgja, tembakannya langsung pada tugas akhir saya, lalu saya menceritakan kalau tugas akhir saya itu bercerita tentang Komunis di Indonesia, di tahu kalau bercerita tentang itu pasti yang menceritakan jarang menjenguk ke gereja atau minimal ngisi buku tamu malaikat surga. Saya pun mengakui, dia hanya tertwa naun dibalik itu agak jengkel nampaknya karena tak seharusnya karena ilmu yang dianut lalu merubah kepercayan yang dipeluk selama ini.

saya tidak mengklaim sebagai seorang Marxsis karena bahaya di negeri ini kalau ada orang mengakui dirinya seperti itu, bisa digantung sama negara, saya yakin orang sekelas Profesor pun tak akan berani mengakui dia Marxsis di negara yang katanya merdeka tapi masyarakatnya tidak memahami arti kemerdekaan, kita bisa melihat fenomena yang ada, banyak pencekalan atas nama agama, saya tidak tahu apakah beberapa tahun lagi negara ini akan menjadi negara sekuler, karena masyarakatnya menggunakan agama hanya sebagai topeng untuk mencekal kebebasan orang lain, banyak orang yang rajin sembayang tapi biadab, keji dan tidak memahami perbedaan, mungkin tujuannya beribadah mempersempit ruang ortaknya melakukan penalaran.

Pastor Sutadi hanya tertawa mendengar penjelasan saya, dia maklum karena saya masih muda, masih harus banyak belajar tentang hidup tapi untuk urusan cari cewek saya tak perlu belajar dengannya karena dia tak tahu, matanya tak bebas seperti saya, akrena mata Pastor Sutadi hanya ada Tuhan Yesus Kristus Juru Selamat Dunia yang akan menyelamatkan orang-orang seperti saya mengingkari agama yang dianut.

Secara tidak langsung Pastor yang selagi berkumis mirip dengan wajah bapak saya itu meminta saya sembayang. Saya mengalihkan pembicaraan dengan menelpon Karel yang sekarang sudah menjadi Frater di Pastor Bonus, dia menempuh S 2 di pastor Bonus agar kelak kalau berhasil ditabis jadi Pastor. karel, teman saya SLTA Yohanes Ketapang tahun 1998-2001. Namun setelah selesai dia menetap di Seminari St. Laurensius Ketapang untuk ikut taupang dan saya kuliah di Pendidikan Sejarah Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, satu kebanggaan karena saya bisa memenuhi cita-cita untuk bertemu dengan G. Moedjanto, sejarawan terkenal itu. Namun ketika skripsi saya di ACC dia, Tuhan tidak setuju saya dibimbing Bapak itu, sehingga pak Moedjanto duluan di panggil ke surga, karena parkinson yang dia derita. Ketika di semayamkan di Kampus Mrican, saya sempat memegang tangan dan mengelus wajahnya, dalam hati saya berbisik " Pak, Saya Penerusmu, doakan saya biar berumur panjang, bapak istirahat yang tenang ya, salam buat Tuhan".

Karel sudah tiba dari asramanya yang berhadapan dengan Rumah Pastor Sutadi, menggunakan sepeda, Kami bertiga ngobrol, hari hampir gelap, karel menjelaskan aktivitas sehari-harinya di Pastor Bonus, ada Futsal lapangan rumput di samping kiri jalan masukke komplek gedung bagian depan. saya senang sekali suatu saat bisa main futsal di situ, karena saya senang menonton dan main sepak bola, pernah waktu di Jogja saking senangnya nonton bola lupa kalau itu malam minggu, pacar saya ngambek, saya mau diputusin sama dia, saya cuek aja biar diputusin yang penting nonton bola tidak putus, akhirnya pacar saya mengalah, paling dia tahu diri kalau kalah cantik dengan bola. Pacar saya baik dia sering mengajak saya ke gereja mungkin dia ingin kami pacaran sehat, karena dia tahu saya jahil, pacar saya ingin Tuhan menyikat otak saya sampai bersih dari pikiran kotor, tapi kayaknya tak pernah bersih, mungkin sudah alami.

Pastor Sutadi mengharapkan saya agar Sembahyang ke Kapel mereka, saya mau pamit ketika menyinggung tentang saya mau sembayang atau tidak, namun hati kecil saya menangis, untung Tuhan maha baik, dia mengirimkan pastor Sutadi, sebuah wahyu agar mengucapkan sesuatu yang sebenarnya sudah lama saya rindukan, yaitu "menyuruh ke gereja". Saya sebenarnya malu tapi mau bagaimana, Pastor tahu kalau saya sejak kuliah jarang ke gereja, kegereja pun kalau sama pacar itupun dipaksa-paksa, lagian pacar saya cantik, jadi ga malulah kalau diajak ke gereja, setidaknya bisa menutup jeleknya penampilan saya.

Saya belum menjawab oke dengan ajakan kedua sahabat Om Yes itu sampai sekarang, saya hanya minta pulang lebih cepat dari hadapan mereka, namun Pastor Sutadi minta saya setidaknya main futsal dengan mereka, dan sekalian membawa perlengkapan mandi dan pakaian, harapannya kalau sudah main futsal mandi di situ trus ke gereja. Saya hanya tersenyum...kapan ya saya bisa begitu tentu saya dalam keadaan sulit mencari alasan agar menepis ajakan itu, karena Om Yes Sudah menguncinya. Tunggu ya Pastor kalau saya berubah pikiran, dan kalau sudah tidak ada lagi pastor Gendong di dunia ini.