Tuesday, 27 April 2010

Di bekas rumah sakit Misi Katolik, komplek Pastoran Sejiram, Kecamatan Seberuang, Kapuas Hulu, Kalbar, di salah satu sudut ruangan, tergantung beberapa tas kecil dan sampul madah bakti berhiaskan motif tenun ikat Sintang.
Di atas meja, terdapat beberapa buah resleting yang sudah dipotong terukur, benang jahit dan gulungan kain tenun. Empat mesin jahit manual peninggalan Pastor Belanda puluhan tahun lalu, masih layak di pergunakan.
“Mesinnya diputar pakai tangan, ini peninggalan pastor misi dulu, masih bagus,” terang Andreas Tinjau (40) sambil memutar mesin jahit Butterfly.
Anak kelima dari enam bersaudara kelahiran Kelakau Desa Tanjung Keliling, Kecamatan Seberuang Kapuas Hulu itu, sejak 1998, merintis usaha kerajinan kecil. Membuat sampul madah bakti (buku nyanyian umat Katolik, red) pesanan Keuskupan Sintang dan tas jinjing untuk ibu-ibu.
Di bekas rumah sakit yang kini menjadi gedung tua nan sunyi itu, Andreas Tinjau tinggal bersama keponakannya, Riswani (26). Riswani-lah yang memasak untuk mereka berdua, dan membantu membeli bahan baku pembuat sampul madah bakti serta tas jinjing, ke Sintang bahkan ke Putussibau Ibukota Kabupaten Kapuas Hulu.
Bahan baku sampul madah bakti biasanya sudah di dropping dari Sintang, tinggal Andreas di bantu tiga karyawannya, membuat sesuai desain pesanan. Per-sampul dihargai Rp 22.000. Tas Rp 175.000.
“Tas sulit lakunya, karena tidak ada yang memasarkan, paling kalau ada pengunjung, mereka membeli langsung ke sini,” terang Andreas.
Tas buatan Andreas tidak kalah bagusnya dengan tas ibu-ibu buatan umumnya. Design masa kini. Tas made in Sejiram ini, dibalut motif tenun ikat khas Dayak Sintang, proses pembuatannya pun sangat hati-hati agar tidak mengecewakan pelanggan, kualitas bahannya juga dari bahan tas umumnya, ada yang dari sintetis dan kulit. Satu hari bisa memproduksi lima sampai sepuluh tas.
Menurut Andreas, Keuskupan Sintang, sejak tahun 1998 sudah tidak memesan sampul madah bakti ke Jawa lagi, sebab dirinya-lah yang memenuhi keperluan tersebut.

Sempat putus asa
Meski hidup dengan keterbatasan fisik, Andreas Tinjau, tidak menyerah. Untuk memotivasi dirinya, ada pesan tertulis di ruang kerja berukuran 5x4 meter itu. Tergantung di bawah dua sertifikat dari Dinas Perindustrian dan Perdaangan Kabupaten Kapuas Hulu. ‘Penyandang cacad tidak membutuhkan belas kasihan melainkan sebuah kesempatan’.
Stiker tersebut dibuat kelompok studi dan pengkajian penyandang cacad Indonesia (KSPPCI) yang beralamat di Surakarta Jawa Tengah. “Saya sempat putus harapan, namun kita harus berfikir kembali, kita jangan terus bersedih,” katanya sambil menatap ke dua kakinya.
Dalam keputusasaan itu, Pastor Budi Priatna dari Ordo Oblat Maria Immaculata (OMI) (almarhum) yang bertugas di Paroki Sejiram, membawa Andreas Tinjau ke Yoyakarta, untuk belajar di Yakum (Panti Cacad), sejak 1995-1997.
Jatuh dari pohon rambutan 20 tahun lalu, membuat, kedua kakinya cacad permanen, sehingga untuk berjalan harus mengunakan kursi roda. Kondisi demikian membuat almarhum Pastor Budi yang asli Cilacap Jawa Tengah, membawa Andreas ke Yogyakarta untuk belajar keterampilan, seperti membuat tas dan kerajinan industri rumah tangga lainnya.
Sehingga sejak kembali ke Kalbar, 1998, Andreas merintis usaha kecil untuk menopang hidup. Sempat menampung tiga karyawan, namun karena bahan baku kurang dan sulit untuk memberi honor, Andreas terpaksa merumahkan sementara karyawannya, “Nanti kalau ada pesanan lagi baru saya panggil,” terang dia.
Andreas Tinjau, tangannya tetap kuat mencengkram pemutar kursi roda yang setia mengantarkan ke mana pun pergi, seperti juga memutar roll mesin jahit tetap ia lakukan, untuk hidup, tanpa harus bergantung dengan orang lain.
Tekadnya untuk tetap meneruskan pekerjaan ini walau keuntungan hanya cukup buat makan, tidak lagi membuatnya putus harapan. Andreas seperti dia tuturkan, ingin juga sukses, sifatnya yang pantang menyerah seolah menunjukan ke masyarakat bahwa orang dengan kekurangan fisik juga bisa berkarya, tanpa harus menadahkan tangan ke setiap pengendara di perempatan jalan di kota-kota besar.

Wednesday, 20 January 2010

Ada yang berbeda, ketika kami menginjakaan kaki di rumah Betang masyarakat Dayak (23/8), beberapa anak menghampiri dan bersalaman. Kami dipersilakan masuk Rumah Betang tertua di Kapuas Hulu tersebut. Untuk menuju ke sana, perlu waktu 15 menit dari kota Putussibau, setelah itu menggunakan long boat 2 PK untuk meneyeberangi sungai Kapuas, baru sampai ke Rumah Betang Melapi I Patamuan, yang letaknya di tepi sungai Kapuas, dusun Melapi Patamuan Desa Melapi kecamatan Kedamin Putussibau Utara kabupaten Kapuas Hulu.

Sambutan terhadap kami hangat, udara hutan sejuk diselingi tiupan angin sepoi siang itu membuai pikiran damainya hidup di tempat seperti ini, bebas dari hiruk pikuk kendaraan lalu lalang, macet, asap dan udara tak bersih.

Hasil hutan terlihat mewah, pohon aren hampir sama dengan ketinggian rumah sekitar 20 meter, bila waktunya panen untuk diambil gulanya, pemilik yang tinggal di rumah khas masyarakat Dayak tersebut tinggal keluar dan berdiri di teras untuk memanen gula aren. Hal sama terjadi dengan pohon buah-buahan, tidak ada yang berani menganggu keseimbangan ekosistem di kehidupan masyarakat Dayak hulu sungai Kapuas itu, ”Disini sistemnya kalau panen buah atau aren ya semua warga Rumah Betang ini dapat, sifat komunal masih berlaku, satu orang potong babi semua dapat,” terang Joni Van An.

Jonny Van An adalah Sarjana Sejarah lulusan Perguruan Tinggi Sanata Dharma Yogyakarta, sering menulis mengenai sejarah masyarakat Dayak Taman kapuas Hulu, saat ini sudah menjadi guru PNS di Kapuas Hulu, ia lahir di Rumah Betang tersebut 25 tahun lalu, tempat tinggal keluarga Jonny di bilik paling ujung, di sana juga masih disimpan sebuah kepala manusia hasil ngayau jaman dulu, usianya sudah puluhan tahun, warna hitam karena asap dapur.

Keluar dari bilik Jonny, saya melihat sebuah foto hitam putih tergantung di dinding, ”Itu foto pejuang Perintis Kemerdekaan RI, nama beliau juga di abadikan di tugu 11 digulis Bundaran Untan,” terang Jonny. Jeranding Abdurrahman Sawang (1904-1987), salah satu pejuang perintis kemerdekaan dan pada tahun 1927 dibuang Belanda ke Boven Digul, dengan hukuman seumur hidup karena melawan Belanda, tetapi berhasil melarikan diri dari Papua ke Queenlands Australia, kemudian melanjutkan pergerakan di Kalimantan Barat.

Toleransi

Masuka Ramon Muda, (59) yang di tugaskan menjaga Cagar Budaya kabupaten Kapuas Hulu itu, menjelaskan, kehidupan di rumah betang ini dengan sistem kekerabatan kental sampai sekarang, ketika di kunjungi menggelar tradisi Buang Pantang atau Dibuling. Menyusul kematian salah seorang warga setempat, akibat kecelakaan lalu-lintas di Kabupaten Bengkayang 12 hari lalu. Selama 9 hari sejak dikebumikan, kerabat dan masyarakat setempat tidak diperkenankan melakukan beberapa hal, sebagai bentuk penghormatan terhadap orang yang telah meninggal dunia.

Masuka Ramon Muda yang juga kerabat Almarhum mengatakan` saat ini warga desa Melapi tengah melakukan tradisi berpantang, setelah salah satu anggota keluarga atas nama Michael Aurelius atau Dodot (28) meninggal 10 Agustus lalu.

”Selama berpantang` masyarakat tidak diperkenankan mengenakan busana yang bagus serta memakai perhiasan terbuat dari emas maupun perak, selama 9 hari yang ditetapkan. Namun larangan ini berlaku pada lokasi atau tempat tertentu, sesuai kesepakatan seperti di rumah kediaman atau di rumah betang,” terang Jonny.

Masuka mengungkapkan, jika ada salah satu keluarga terbukti melanggar pantangan. Maka dikenakan sanksi adat berupa membayar adat sebesar 22 buah, yang jika diuangkan nilainya sekitar 22 ribu rupiah. Kendati nilainya relatif kecil, namun jika tidak dipenuhi maka hal itu merupakan suatu perbuatan tercela, dan dapat dikucilkan dalam pergaulan dan lingkungan di masyarakat. Setelah berpantang selama 9 hari, maka seluruh anggota keluarga berkumpul kembali di rumah betang, untuk menggelar ritual buang pantang dan akhir prosesi ritual ditutup dengan pemukulan Gong oleh pemuka adat, ”Tradisi Buang Pantang warisan leluhur, yang terus terpelihara hingga kini di keluarga etnis Dayak Taman Kapuas dari generasi ke generasi,” terang Masuka.

Ritual lain seperti Mamandong, naik padi masih dilaksanakan setiap tahun, namun beberapa tradisi Dayak Taman sudah dikolaborasikan dengan agama Katolik seperti Mamantikang, Paindara dan Kalaman, yang dilaksanakan setiap tahun semua kolaborasi dengan ritual Katolik.

Menolak Perbudakan

Menurut Masuka, pendiri Rumah Betang ini banyak yang sudah meninggal, yang masih ada tinggal beberapa, diantaranya Daili dan Masuka Janting. Sponsor pendirian Rumah Betang adalah Riang warga Kedamin anak Sawang Ama Sundin dan Pisa yang juga orang tua Jeranding, ”Itu sponsornya yang mengajak,” terang Masuka.

Rumah Betang tersebut didirikan tahun 1942 tapi mereka mencari tiang sejak tahun 1940, kayu tebelian (ulin), di hutan di Atung bagian hulu sungai Kapuas. Ini rumah Betang di Kapuas Hulu tertua. tahun 1945 betang ini di diami, sudah tiga kali di rehab, atapnya pertama kali di rehab, atas bantuan subsidi desa jaman orde baru, rumah ini 43 pintu terdiri dari 81 kepala keluarga dan 432 jiwa dari suku Dayak Taman.

Tokoh pendiri lainyang juga berasal dari betang ini, F.C. Palaunsuka, yang dikenal sebagai salah satu pendiri Harian Kompas bersama I.J. Kasimo, Frans Seda, Jakob Oetama, dan Auwjong Peng Koen (PK Ojong). Ada juga tokoh Massardi Kaphat, sedangkan pemilik rumah betang ini menurut masuka adalah Balle Polokayu yang merupakan nenek moyang Masyarakat Rumah Betang Melapi I Patamuan.

Di kanan masuk rumah Betang terdapat Tooras (semacam pantak) dari ulin digunakan untuk upacara menolak perbudakan. Jonny menjelaskan, Toras tersebut ketika didirikan persembahan menggunakan kepala manusia hasil kayauan, namun sejak perjanjian Tumbang Anoy, tradisi tersebut dihilangkan, sehingga untuk persembahan upacara Mamandung menggunakan hewan.

Menurut Masuka, dulu upacara Mamandung menggunakan kepala budak belian, hal tersebut tidak disukai nenek moyang mereka, “Setiap ada mamandung pasti ada budak belian yang di korbankan, nenek moyang kami tak suka kami mengedepankan prinsip persamaan hak, kita hidup bersama kenapa harus mengorbankan orang tak berdosa, mereka juga manusia jadi nenek kami tidak mau,” kata Masuka.

Mamandung berarti mengorbankan, jadi budak belian itu dipandung atau di korbankan untuk persembahan, sehingga dilakukan gawai oleh nenek moyang Dayak Taman menggantikan Mamandong dengan binatang, bisa Kerbau, Sapi, Kambing dan Babi. Sehingga untuk menolak perbudakan tersebut didirikanlah Toras sejak 200-300 tahun lalu, “kami menganggap toras tersebut toras keramat melambangkan penghapusan ulun panekam (perbudakan) oleh nenek moyang Sariamas balle Polokayu dan tonggak awal dimulainya Raa suku Dayak Taman yang menggunakan hewan korban sekaligus penegakan HAM pada suku Dayak Taman,” jelas Masuka.

Budak jaman dahulu di Kalangan Dayak Taman, adalah pekerja (buruh kasar), melaksanakan pekerjaan sehari-hari, budak bisa dari orang luar yang ditangkap kemudian dipelihara jadi budak. Sehingga di bangunlah Toras sebagai pembela hak asasi manusia, pemersatu adat dan social budaya, lambang moral cinta kasih dan kesetiakawanan, pembawa damai hidup berdampingan serta lambang kekaryaan dan patriontis, “Toras tersebut juga menjadi pedoman hidup siapa saja yang tingal di Rumah Betang khususnya suku Dayak,” terang Jonny.

Menjelang sore, kami beranjak dari tempat bersejarah tersebut, anak-anak tak menyurutkan kegembiraan, di Sungai Kapuas seolah alam tak lagi bisa berpisah dengan hidup mereka, di tengah suara Kijang Menderu, hatiku berbisik, tradisi luhur ini bisa bertahan, sementara jaman terus menggerus?.





Tuesday, 1 December 2009

He walked in Jungkat market. He was amazed that the people in those markets can work well together, a stranger like himself who see anything not to be an odd and even received hospitably. Portrait is mentioned Assistant General Dominican Order, Scott Edward Peter Steinkerchner, OP who claimed to admire the interreligious relations in Pontianak, the harmonious and peaceful. In the Dominican Order monastery Pontianak, Monday (30/11) Professor of comparative religion that expresses his admiration with the peace in Pontianak.
Men with a characteristic curved mustache was admitted also interreligious relations (Islamic-Christian) in West Kalimantan are not as reported by the foreign good to say no, it was just the opposite can work together well, using the veil and who did not would not be a problem. "Everything went peacefully," said Scott.

Scott is a Lecturer of Theology in the United States and Macau are admitted also that unlike in Pontianak in Cairo (Egypt). In Pontianak, the veiled woman, dressed in jeans is a unique phenomenon, indicating pluralism flourished here. He then told about other factors that demonstrate when Pontianak safe and peaceful, when he saw a demonstration on Bundaran UNTAN refused kondomisasi Sunday (29/11) took place safe and orderly, unlike overseas demonstration that tends to show anarchism. "The security here can smile," said Scott. But peace is not enough, according to Scott, local governments should also promote togetherness, for peace and pluralism are taught from an early age through education.

Education should not be exclusive, but rather had to be together and so the knowledge of the universal religious differences make the students understand and can address what a difference. On the one hand, the exclusive religious schools also play an important role to distance children from the knowledge of pluralism. "If it had to a religious school there is an emphasis on students' multicultural understanding, so that the good relations existing can take place," said Scott. He pointed out in Pakistan, the school founded the Dominican Order, quality, and religion is not a barrier boundary, because the students are taught to not discriminate, even though the Catholic schools of other religions should be taught as a science, because only with understanding then that person will be able to appreciate one another.

Dialog Interreligious
dialogue was not done to identify or find the equation, but to increasingly recognize the difference interreligious, thus creating more respect religion. "The difference is the fact, but that's what enables us to serve each other and live in harmony," said Scott. West Kalimantan differ according to which many of Macau's casino, or Nepal are always short of electricity and telephone. West Kalimantan fertile soil, difficult to be categorized poor, could throw the seed to grow. "The funny thing is there are still many who live below the poverty line," said him.

Wednesday, 15 April 2009

Hentakun
Borneo Tribune, Pontianak

Dusun Sungai Bansi, merupakan salah satu dusun di wilayah Desa Merawa, Simpang Hulu, Ketapang. Daerah tersebut merupakan pegunungan. Karenanya, masyarakat hidup dari berladang. Kehidupan itu, layaknya pola kehidupan masyarakat Dayak, pada umumnya.

Selain menamam padi, masyarakat Sungai Bansi menanam sayuran di ladang. Sambil menunggu panen, dan sayuran yang di tanam akan tumbuh lebih cepat dari umur padi. Sayuran mereka petik dan dijual ke desa lain. Seperti ke Balai Berkuak, ibukota Kecamatan Simpang Hulu, Balai Semandang dan sebagainya.

Jarak Sungai Bansi ke Balai Berkuak dan Balai Semandang, sekitar 60 kilometer. Jalannya? Alamak, untuk ukuran perempuan, mirip dalam puisi Hartoyo Andangjaya yang berjudul Perempuan-perempuan Perkasa.

Seperti yang dilakukan Yanti, Domit, Lin dan Plangont, warga desa Sungai Bansi Desa Merawa, Kamis (26/3). Mereka berjualan sayur ke desa lain. Biasanya meeka berangkat pada 05.00 pagi, atau menjelang ayam berkokok pagi hari. Namun, ketika mendengar kabar Gubernur Kalbar mau berkunjung ke Balai Semandang, mereka sudah memetik sayur dua hari sebelumnya. Terutama buah waluh dan mentimun, untuk dijual ke Balai Semandang.

”Siapa tahu, Pak Cornelis mau beli. Kan, dia banyak duitnya,” kata Lin polos.

Beberapa jenis sayur lain, seperti terung dan kacang panjang, mereka petik sehari sebelum berangkat. ”Ladang kami jauh dari rumah. Makanya, diambil dua hari sebelumnya,” kata Yanti kepada saya pagi itu.

Menurut Plangont, jarak ladang ke rumah mereka di Sungai Bansi, kalau ditempuh jalan kaki pulang pergi selama satu hari.

Kamis (26/3), mereka berangkat ke Balai Semandang. Tujuannya, ingin bertemu Gubernur Kalbar. Sayuran yang mereka bawa, tidak disinggahkan dimanapun, seperti biasanya. Setelah pukul 14.00, mereka tiba di Balai Semandang. Keempatnya langsung menuju rumah Matheus Juli, tepat Gubernur dan rombongan menginap.

Matheus Juli langsung mengarahkan keempatnya yang masih bermandi keringat ke dapur. Tidak berapa lama, Frederika Cornelis keluar menyambangi mereka. ”Ini ibu gubernur kita,” kata Juli.
Mereka langsung menyalami. Ada yang mencium tangan. Ada suasana haru. Bagaimana tidak? Demi bertemu pemimpinnya, mereka harus jalan kaki sedemikian jauh. 60 km.

Saya menjelaskan ke Ny. Frederika, mengenai asal-usul mereka. Mereka darimana, bagaimana mereka berangkat, dan bagaimana memperoleh sayur, hingga bisa sampai bertemu dengan pemimpin yang ingin mereka lihat.

Frederika mengerti. Ia segera memborong semua sayuran, dan membawanya hingga ke Pontianak. Setelah sayur habis diborong, para perempuan perkasa itu, kembali ke daerahnya.

Melihat kegigihan mereka, saya teringat bait-bait puisi Hartoyo Andangjaya berjudul Perempuan-perempuan Perkasa:

”Mereka ialah ibu-ibu berhati baja, perempuan-perempuan perkasa akar-akar yang melata dari tanah perbukitan turun ke kota. Mereka: cinta kasih yang bergerak menghidupi desa demi desa.”
Hentakun
Borneo Tribune, Pontianak

Cuaca panas, dua orang dengan badan penuh lumpur berlari mencari perlindungan di tepi jalan Trans Kalimantan di dusun Blonseh, Kecamatan Simpang Hulu. Mereka kepanasan setelah sekian lama dibawah truk Colt Diesel PS 120 yang mereka perbaiki karena mengalami kerusakan pada tranmisi.
Di dalam truk yang dibawa Sion (32) dan di temani Daud (27) tersebut penuh muatan karet yang dibawa dari desa Semandang Hulu untuk dijual ke Pontianak, Jarak tempuh Semandang Hulu-Pontianak normalnya delapan jam. Namun saat jalan Trans Kalimantan sebagai penghubung satu-satunya rusak parah waktu itu bisa menjadi seminggu.
Selain di Blonseh, mereka mereka akan menemukan titik jalan rusak seperti di kilometer 13, dan desa Kuala Labai serta beberapa titik lain yang cukup menyulitkan truk jenis Colt Diesel lewat.
”Seminggu baru sampai di Tayan,” kata Daud.
Jalan ini semestinya hanya bisa dilewati kendaraan roda empat yang double gardan. Sion sang supir mengaku biasa menginap di jalan kalau Truk amblas, apalagi kalau sampai rusak.
”Kami harus berjalan kaki atau naik ojek ke Tayan atau Pontianak untuk membeli alat Truk,” kata Sion.
Martha (36), pengusaha karet asal Semandang Hulu mengeluhkan kondisi jalan Trans Kalimantan ruas Tayan-Simpang Hulu rusak, karena sulit mendistribusikan barang-barang sembako ke daerah pedalaman di Simpang Hulu dari Pontianak, jika pun bisa harganya sudah pasti dua kali lipat.

Panjang jalan Trans Kalimantan mencapai 2900 km yang menghubungkan dua provinsi, yaitu Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah. Gubernur Kalbar, Cornelis menargetkan pembangunan jalan Trans Kalimantan ini selesai 2010. Pada kunjungan kerjanya ke pedalaman Kalbar mulai dari Balai Semandang, Sandai sampai ke Perbatasan Kalteng, Maret lalu, gubernur Kalbar menemukan fenomena kehidupan masyarakat yang terkadang menyesakkan dada. Mulai dari kurang bersahabatnya infrastruktur jalan sehingga menyulitkan akses dari satu daerah ke daerah lain, sampai masalah pendidikan. “Sedih saya melihat keadaan ini,” kata Gubernur di sela-sela kunjungan kerjanya.
Waktu itu, Ia meninjau langsung pengerjaan Jalan Trans Kalimantan poros Selatan (Tayan-perbatasan Kalteng). Gubernur melihat langsung fenomena kemiskinan dan keterbelakangan masyarakat pedalaman Kalbar.

Masalah kemiskinan
Dalam Musyawarah Perencanaan Pembangunan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (Musrenbang- RKPD), Provinsi Kalbar 2010, di Pontianak, awal April kemarin, gubernur menyebutkan, angka penduduk miskin turun bertahap, periode Maret 2007 prosentase penduduk miskin perkotaan mencapai 11,45 persen, periode Maret 2008 9,98 persen. Prosentase penduduk miskin pedesaan periode Maret 2007 13,47 persen, maret 2008, 11,49 persen. Secara keseluruhan penurunan penduduk miskin selama kurun waktu setahun pembangunan telah dapat menurunkan angka kemiskinan perkotaan 1,47 persen dan pedesaan 1,98 persen. Untuk membenah ini, Pemerintah Provinsi akan meningkatkan derajat kesejahteraan masyarakat.

Data dari Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala BPPN, yang dipaparkan pada pembukaan Musrenbang Provinsi Kalbar 2009, April 2009, menyebutkan angka Indek Pembangunan Manusia (IPM) di Kalbar, 2007, 67,5, peringkat ke-29 nasional. Menanggapi hal itu Gubernur Kalbar menargetkan 2009 diharapkan menjadi 72,6dan 2010 ditargetkan mencapai 73,9. “Ini pekerjaan rumah kita semua,” ujar Gubernur.

Sebagai upaya nyata peningkatan IPM Kalbar, salah satunya ketika kunjungan kerja di Subah, Sambas, Rabu (1/4) Gubernur berpesan kepada masyarakat untuk menyekolahkan anak-anaknya, serta selalu menjaga kesehatan.
“Kita memiliki dana pendidikan sebesar satu triliun dan dana BOS, serta Jamkesmas, jadi tidak ada alasan untuk tidak menyekolahkan anaknya, dan tidak ada alasan masyarakat untuk tidak berobat” ungkap Cornelis.

Mulyadi, Camat Subah, mengakui saat ini yang menjadi kendala mendasar, minimnya sarana dan prasarana infastruktur jalan, dan jembatan yang menghubungkan akses antar kecamatan. Kecamatan Subah merupakan hasil dari pemekaran kecamatan Sambas pada 2001 lalu. Jumlah penduduk Subah saat ini 19 ribu jiwa terdiri dari 11 desa dan 34 dusun, Kecamatan yang baru berumur 8 tahun juga baru memiliki 1 SMA, 6 SMP, dan 25 SD.

Staff Ahli Gubernur bidang Kemasyarakatan dan Sumber Daya Manusia, Ngatman, menjelaskan, untuk membantu peningkatan IPM, Pemprov meneruskan program wajib belajar sembilan tahun yang saat ini berhasil, sehingga target kalbar bebas buta aksara tercapai, Ngatman mengharapkan keterlibatan elemen organisasi seperti PKK, LSM, Dharma Wanita dan instansi pendidikan seperti Perguruan Tinggi, seperti Universitas Tangjungpura, Universitas Muhammadyah Pontianak dan perguruan tinggi lainnya.

Memang, untuk meningkatkan IPM, seperti disampaikan Gubernur, kecerdasan sumber daya manusia, derajat kesehatan masyarakat ditingkatkan, untuk menangani ini diperlukan peningkatkan kapasitas sumber daya aparatur, manajemen pemerintahan dan pelayanan publik lebih baik. ”Mencapai sasaran tersebut kita fokus pada program dan kegiatan yang mempunyai daya ungkit (leverage) tinggi untuk meningkatkan Human Development Indeks (HDI) dan perlu sinergi pembiayaan pemerintah, swasta dan masyarakat,” terang Gubernur.

Dalam laporan keterangan pertanggung jawaban Gubernur Kalbar, tahun 2008 di depan rapat istimewa DPRD, akhir Maret lalu. Menjelaskan, sektor pendidikan secara perlahan menunjukan peningkatan meski belum signifikan. Presentase kelulusan UN SPM/MTs 2008 73,62 persen atau meningkat 0,56 persen. Di tingkat SMA/MA turun 2,16 persen bahkan SMK, menurun tajam 11,80 persen, sehingga kedepan diupayakan perbaikan. Pencapaian Angka Partisipasi Kasar (APK) Kalbar jenjang pendidikan SD/MI/Palet A 113,39 persen, melebihi target nasional 110,0 persen. Jenjang SMP/MTs/Paket B, 83, 73 persen melebihi tingkat nasional 81,9 persen. Jenjang SMA/SMK/MA/Paket C, 46,80 persen, lebih rendah dari tingkat nsional, 56, 7 persen. ”Angka Partisipsi murni (APM) Kalbar, 2008 menunjukan peningkatan tetapi dibawah APM nasional,” kata Cornelis.

Untuk meningkatkan IPM, dengan meningkatkan kecerdasan sumber daya manusia, dalam kurun 2008 guru strata satu (SI) 14.100 (24,15 persen) dari 58.375 guru. Sedangkan guru yang sudah disertifikasi 4.920 (34,89 persen) dari jumlah yang dapat disertifikasi. Sebagai sarana penunjang kegiatan belajar mengajar, ada 30.108 ruang kelas dari SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA dan SMK, kondisi baik 18.326 ruang atau 60,87 persen, rusak berat 4.421 atau 14,64 persen, rusak sedang 3.839 persen, rusak ringan 3.483 atau 11,57 persen. ”Ini pun harus terus di benahi,” tegas Gubernur.

Kendala Infrastruktur

Ketika meninjau perbaikan jalan Trans Kalimantan ruas Tayan- Kalimantan Tengah, Maret lalu, Gubernur mengatakan, muara dari ketertinggalan dan kemiskinan masyarakat Kalbar salah satunya belum layaknya infrastruktur penghubung daerah satu ke daerah lain. Kenapa kalau mau ke Kalimantan tengah, harus naik pesawat ke Jakarta dulu? padahal Kalbar-Kalteng satu pulau kalau ditempuh perjalanan darat lebih ekonomis.
Masalah ini pula yang ”menggelitik” empat gubernur di Kalimantan (Kalbar, Kalteng, Kalsel dan Kaltim) sehingga dibentuklah Forum Kerjasama Revitalisasi dan Percepatan Pembangunan Regional Kalimantan (FKRP2RK), Gubernur Kalbar menjadi koordinator forum tersebut menggantikan Gubernur Kalteng, Agustinus Teras Narang.

Ketika serah terima Koordinator FKRP2RK di Pontianak (2/3), Agustinus Teras Narang mengatakan, pembangunan infrastruktur jalan Trans Kalimantan menjadi perhatian utama empat pemimpin Kalimantan, agar ke depan akses transportasi penghubung antar wilayah mudah, ”Kita tidak perlu ke Jawa lagi kalau mau ke provinsi lain di Kalimantan,” ujarnya.

Nada sama semakin nyaring diteriakan di pusat, ketika Gubernur Cornelis menjadi koordinator periode (2009-2010), apalagi di Kalbar, masalah infrastruktur menjadi kendala utama akses pembangunan. Sejak dibangun, ruas jalan provinsi seperti ruas jalan Provinsi penghubung Bengkayang-Sambas yang melewati Subah belum diperbaiki.

Gubernur Kalbar saat kunjungan kerja ke Subah, Rabu (1/4) juga mengeluhkan keadaan jalan tersebut. ”Kalau kita melewati jalan tersebut bikin demam,” ujar Gubernur serius. Ia akan memperbaiki jalan raya Subah pada Tahun 2010 yang dianggarkan dalam APBD. Lanjutnya, untuk APBD tahun ini, Gubernur menyampaikan langsung ke masyarakat Subah, kalau anggaran sudah ketuk palu. ”Jalan Subah-Sambas dianggarkan di APBD 2010. Saya minta masyarakat Kecamatan Subah bersabar” kata Gubernur.

Infrastruktur di Kalbar memang masih menjadi pekerjaan rumah besar pemimpin daerah ini. Ruas jalan Tayan-batas Kalteng masih akan menelan biaya banyak. Sebagai realisasi dari komitmen pemerintah Provinsi Kalbar menembus keterisolasian pedalaman, poros jalan Tayan-Kalteng sudah dikerjakan.
Menurut data Satuan Kerja Non Vertikal tertentu Pembangunan Jalan dan Jembatan Kalimantan Barat Dinas PU Kalbar. Untuk paket pembangunan jalan Tayan-Teraju-Batas Balai Berkuak, 40,00 km dikerjakan PT Waskita Karya, dengan dana ADB dan RMP, Rp 122.037.185.000,00,-. Paket pembangunan jalan Balai Berkuak-Aur Kuning (1) oleh PT. Brantas Abiraya-PT. Pensasi Karya Prima, dana APBN Rp. 86.575.094.000.00,-. Paket pembangunan jalan Balai Berkuak-Aur Kuning (2), 32,50 km, oleh PT TCP dan PT Strada Multiperkasa menelan biaya APBN Rp 85.538.631.000,00,-. Paket pembangunan jalan Aur Kuning-Sandai (10 km) dari APBN Rp 71.810.655.000,-. Paket pembangunan jalan Sandai-Nanga Tayap, 15 km dengan APBN Rp. 40.789.444.000.00,- oleh PT. Adhi Karya (Persero) tbk. Paket pembangunan jalan Nanga Tayap-Batas Kalteng (10 km, dari APBN Rp 73.926.039.000,00,- oleh PT. Daya Mulya Turangga.

Wednesday, 18 March 2009

Hari istimewa nan melelah. Begituah hari-hari saya lewati di garis batas Khatulistiwa. Ketika saya mendatangi senja sore itu di Siantan, saya bersama Mathias Waldmayer, kami berdua berfoto bersama, karena suatu saat kami pasti berpisah, Dia Pulang ke Jerman.

Sore itu, saya bercerita tentang Indonesia, dia bercerita tentang Jerman, saya belajar bicara Inggris, bagi saya bahasa itu gampang-gampang susah. gampangnya karena tinggal di singkat dari bahasa Indonesia, misalnya bola dalam bahasa inggris ball, lampu jadi lamp. Jadi kalau kita bicara dengan orang eropa mau minta kerja gampang, tinggal ngomong, "Tab tu sa min ker," artinya Tabek tuan saya minta kerja. Gampangkan?. Tapi kalau diapakan sama bule' jangan marah ya itu memang standar bahasa jamannya Anglo Saxonnya saya.

Dalam perjalanan kami, saya tanpa malu minta satu dollar dari Matheas, bukan untuk deposito, kalau mau dibilang ngemis boleh juga, tapi bagi saya itu untuk kenang-kenangan. Saya ingin mendapatkan uang dollar dari orang Jerman yang kuliah di Bonn University itu, untuk kenag-kenangan kami, karena saya tahu suatu saat kami pasti berpisah dan entah kapan ketemu.

Saya orangnya penyuka keabadian, dalam persahabatan pun mesti ada kenang-kenangan dan kenangan biar saling ingat sepanjang hayat. Sama dengan menulis, bagi saya menulis itu mengenang untuk keabadian, kata Pak Pram.

Bagi saya juga, persahabatan jauh lebih berharga daripada apapun, namun cari sahabat itu sama dengan belajar bahasa inggris, kadang saya menggunakan sistem SKSD, tapi jangan ditiru, bisa-bisa kamu digampar apalagi kalau ketemu orang angkuh, yang wajahnya saja tidak bersahabat seperti monyet misalnya. Tahukan orang Indonesia yang selalu menerapkan kecurigaan lebih dulu daripada pikiran positif jika ketemu orang baru?.

Kembali ke Kisah sore itu, agar tak banyak ngelantur.

ketika rapat redaksi, saya dipanggil Mathias, ternyata dia beri saya satu Dollar, dan menukarnya dengan kartu nama saya. Saya senang bukan kepalang, rasanya seperti mendapatkan ribuan kali lipat dari kenyataan, saya tidak melihat nominalnya, tapi Mathias Konsisten, janji dia tepati, saya diberi kenangan berarti dan berharga, saya janji akan simpan itu, siapa tahu Mathias selesai kuliah di Bonn University Jerman kelak jadi Presiden menggantikan Horst Köhler,yang sekarang menjabat Presiden Jerman.

Horst Kohler lahir 22 Februari 1943 Köhler Pemilihan Presiden Jerman 2004 Pemilihan_Presiden_Jerman 2004 Bundesversammlung (Jerman) Sebelum terpilih, Köhler mempunyai karier yang cemerlang di dunia politik dan sebagai pegawai negeri. Paling akhir ia menjabat sebagai kepala di Dana Moneter Internasional
Mathias pintar dia pandai bahasa Inggris dan Jerman, saya doakan kamu sukses ya le', (bule' Matheas)....Mathias Sampai Ketemu...Saya Tunggu Kamu di Bumi Borneo dan di Borneo Tribune lagi...kita main futsall ya...saya tak tahu saya bisa ke tempat mu atau tidak.Gusti Ora Sare...