Wednesday, 1 September 2010

Ditulis: Gero Simone, Bonn University Germany

Pemuda tertembak oleh seorang eks polisi“, Hentakun menerima pesan singkat atau SMS hari itu. Hentakun adalah wartawan Borneo Tribune di Pontianak, setiap hari ia mencari story yang menarik.
Saat itu ia berada di kantor Gubernur. Setelah membaca SMS HP-nya di masukkan kembali ke saku celananya, karena masih mengikuti pertemuan tentang HIV/AIDS di ruang Wakil Gubernur.
Kerja wartawan seperti itu rumah tangga yang pagi-pagi pergi ke pasar membeli bahan-bahan kebutuhan dapur untuk keperluan menyiapkan makanan. Begitu pun bahan-bahan berita atau story di dapur Borneo Tribune merupakan liputan wartawan yang sehari-harinya bertugas di lapangan. Mereka berangkat awal dan pulang ke kantor siap dengan bahan berita yang penting untuk dituliskan.
Sekira jam lima pagi sambil Hentakun pergi jogging, dia memikirkan tema yang mana bagus untuk ditulis. Hari ini Hentakun berdiri di tengah-tengah wartawan lain di ruang rapat Wakil Gubernur. Dengan bloknot dan HP untuk merekam dia mewawancarai Christiandy Sanjaya. Raut wajah Hentakun sangat serius. Dia mesti mengejar waktu karena Wakil Gubernur mempunyai jadwal padat.
„Meski demikian yang terpenting untuk wartawan“, kata Hentakun, „adalah sopan dan hormat. Sebab bila asas pergaulan tidak diperhatikan, maka narasumber tidak mau menjawab pertanyaan saya lagi.“
Sehari sampai tiga janji dipegangnya. Oleh jaring-jaring teman wartawannya dia selalu diberitahukan. Karena itu penting sekali merawat kontak-kontak. „Lagipula perlu fleksibel, profesional dan disiplin“, Hentakun menambah, „Rupanya watak wartawan beragam sekali.“
Kira-kira jam lima sore kantor Borneo Tribune sudah terlihat ramai. Satu persatu wartawan tiba di kantor dan mulai menyiapkan bahan beritanya. Biasanya, sebelum seseorang mengetik sesuatu ke dalam komputer atau laptopnya, mereka membaca beberapa koran dulu, melihat apa yang ditulis oleh persaingan dari media lain.
Hawad Sriyanto menetapkan untuk tema-tema ekonomi. Pula dia mempelajari beberapa koran seperti Kompas atau Majalah Tempo sebelum dia start dengan menulis. Setelah membaca, sejenak Sriyanto mendiskusikan tulisan di koran tersebut. Mereka bisa mengangkat angle lain yang belum ditulis di koran itu yang bisa disampaikan ke pembaca.
Tadi pagi dia pergi ke pasar untuk mencari informasi dari sumber pertama. „Saya sering ke sini karena penjual merasa perubahan ekonomi, seperti kenaikan harga kebutuhan pokok paling cepat,“ kata Sriyanto.
Sekarang semua bahan-bahan sudah diurus dan tahap masak akan mulai. Segala papan tombol jari di kantor berpijar. Setiap wartawan menulis tiga sampai empat berita sehari. Penting bawah penulis mempunyai keahlian jurnalistik. Seorang wartawan harus mengetahui bermacam-macam tulisan seperti strike news, feature atau comment.
Khususnya pada tema-tema ekonomi mesti menjelaskan hubungan kompleks untuk pembaca supaya dimengerti. „Saya lebih senang bila bisa menyelesaikan masalah atau memberikan solusi untuk orang-orang. Itu menyejukkan hati saya,“ kata Sriyanto.
Seperti itu banyak berita baru lahir dari pena-pena 30 wartawan yang bekerja untuk Borneo Tribune disebar utuh di Kalbar. Berita yang diisi dengan peristiwa hari itu. Tetapi karena jumlah halaman terbatas tidak semua berita bisa masuk koran.
Mana saja berita yang layak masuk menurut Andry, yang sudah bekerja sejak Borneo Tribune didirikan tahun 2007. Sebelum menjadi wartawan, dia adalah aktivis mahasiswa dan sering melakukan demonstrasi. Barangkali sesuai perjuangannya, maka dia ditunjuk sebagai redaktur pelaksana.
„Sekarang saya berpikir baginya menulis lebih baik dari triakan seribu orang. Karena itu saya memulai sebagai wartawan di Borneo Tribune,“ kata Andry.
Hari ini dia yang memperbaiki dan membumbui berita lagi. Selain editing dia pula memilih tulisan mana yang masuk ke halaman tertentu. Borneo Tribune terbit dengan 16 halaman.
Andry mengaku bahwa dia merasa seperti wartawan setiap kali dia keluar rumahnya: „Saya cuman bisa bersantai dan adalah ayah di tengah-tengah keluarga saya.“ Karena tanggung jawab redaksi ada di pundaknya.
„Saya sangat senang bekerja untuk Borneo Tribune karena saya dapat mengekspresikan diri saya. Kami juga bebas disini. Saya bisa menulis atau mengritik yang kumau. Akhirnya kritis penting sekali untuk mengubah segala kekurangan,“ kata Andry.
Bila sebuah koran yang hanya ada tulisan saja akan bosan sekali. Maka disini foto-foto merupakan komponen hakiki di Borneo Tribune. Biasanya wartawan sendiri yang memotret langsung di tempat liputan.
Disamping mengandalkan fotograper seperti Ulla Asri. Dia pergi setiap hari untuk mencari tema-tema yang menarik. „Sekarang Ramadan. Jadi sekarang tidak banyak acara dan saya sendiri perlu menjadi kreatif,“ katanya.
Tahap berikutnya menyatukan tulisan dan foto-foto. Malam semakin larut, setelah melakukan editing, Andry menunggu layout bekerja. Pekerjaannya membuat berita-berita berselera. Setiap layouter menanggani tiga sampai empat halaman dalam satu edisi.
Umumnya para layouter belajar secara autodidak. Fakun yang paling berpengalaman. Sudah hampir 20 tahun dia bekerja sebagai layouter. Dia bergabung sejak awal di Borneo Tribune. Fakun yang mendesai lengkap rupa Borneo Tribune.
Simbol koran ini pula idenya. „Burung itu khas untuk Kalimantan (Borneo) dan melambangkan kesetiaan dan kegagahan,“ katanya.
Bagaimana penyiapan sampai ke tangan pembaca? Proses terakhir adalah pencetakan dan pengiriman. Di lantai bawah ada mesin cetak koran dengan ukuran besar sekali.
Jam 11 malam koran mulai dicetak. Sebelum dicetak, setiap halaman dipasang di plat. Tiap malam raksasa itu bisa melahap 11,3 kilometer kertas. Itu kira-kira 80 kilometer per minggu, rute dari Pontianak ke Mempawah.
Pada jam satu malam akhirnya edisi baru sudah siap edar. Berita Hentakun tentang HIV/AIDS muncul sebagai tema top di halam depan. Lebih dari setengah hari yang lalu waktu dia mewawancarai Wakli Gubernur.
Hentakun tidak mengetahui semua itu. Dia pulas di tempat tidurnya. Karena empat jam lagi dia akan membangun dan memikirkan tentang apa yang disajikan kepada pembacanya. Begitulah seterusnya.

Thursday, 19 August 2010

Hentakun

Borneo Tribune, Pontianak

“…Entah apakah benar aku sudah bertindak bijaksana atau Panna? Mencoba mempertimbangkan baik buruknya suatu tindakan. Atau mungkin aku sudah mewujudkan cinta kasih atau Metta? Mencoba menyelamatkan nyawa si bayi. Aku terus melamun sambil memikirkan tindakan yang telah kulakukan. Bahkan tiba-tiba aku teringat kutipan bait suatu sutta: sebagaimana seorang ibu menyelamatkan putra tunggalnya. Hahaha, sepertinya sudah ngawur. Aku menertawakan diri sendiri karena terlalu mengaitkan ini itu. Sepertinya aku harus banyak bertanya ke Bhante Mon. Aku tersenyum sendiri membayangkan kemungkinan ekspresi Mon atas sedikitnya pengetahuan Dhamma-ku…”

Dalam agama Budha, Panna (dibaca pannya) artinya kebijaksanaan, Metta artinya cinta kasih.Penggalan cerita pendek (Cerpen), di atas, berjudul, ‘Sebuah Cerita Dari Apotik’, mendapat Award Pesta Perak Dharma Suci tingkat nasional, ditulis Vita Felicia, gadis kelahiran Pontianak 21 Desember 1988, adalah kakak kandung pelukis Internasional asal Kalbar, Bryan Jevoncia.

Vita, begitu Dia dipanggil, adalah sarjana farmasi yang sekarang kuliah profesi apoteker di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Universitas itu adalah universitas Katolik milik Ordo Serikat Yesuit. Dituturkan Vita, ide cerpen ini muncul dari kuliah tentang penyalahgunaan obat dan pengalaman nyata. Jelas seperti dalam penggalan cerpen, yang menceritakan seorang laki-laki membeli obat maag dengan alasan untuk anaknya yang sakit, kemudian giliran seorang perempuan juga, yang membeli obat maag dengan merek Cytotec, namun si ‘Aku’ dalam cerpen itu tidak mau memberikan lantaran curiga kalau obat maag yang dibeli bukan untuk mengobati maag namun untuk aborsi. Cytotec adalah merk dagang obat yang mengandung zat aktif misoprostol dengan indikasi maag, namun dapat menyebabkan keguguran pada wanita hamil.

Terpanggil untuk menyelamatkan janin setidaknya untuk beberapa waktu, Si ‘Aku’ memberikan obat merek lain dengan khasiat sama yakni Sotatic. Obat tersebut adalah merk dagang obat yang mengandung zat aktif metoklopramid, dengan indikasi untuk mual dan muntah, aman bagi wanita hamil, namun wanita dan pria tersebut menolaknya.

Dalam Cerpen tersebut juga diceritakan tentang seorang wanita yang membeli kondom bersama seorang pria. Secara tersirat, Cerpen ini menceritakan keadaan yang sebenarnya, sebuah kritik sosial tajam terhadap prilaku manusia masa kini terutama di kota besar.

Godaan Duniawi

“Dari cerpen itu, saya ingin, bila apoteker yang membaca, mereka akan sadar. Bila orang awam yang baca, mereka bisa melihat sosok apoteker sebenarnya. Oh, apoteker yang bener tuh gitu toh,” harap Vita.

Yogyakarta adalah kota pelajar, namun kota yang terkenal dengan gudegnya itu ibarat pisau bermata dua, pengaruh negatif dan positif hampir tidak ada bedanya, datang silih berganti, siapa saja yang menuntut ilmu di sana.

Jika tak tahan dengan ‘godaan duniawi’ niscaya bukan ijasah yang didapat namun ijabsah alias berkeluarga yang diakibatkan hamil diluar nikah. Mahasiswa asal Kalbar yang menuntut ilmu di Yogyakarta beberapa yang mengalami nasib seperti itu.

Tahun 2002, Koordinator penelitian soal keperawanan mahasiswi yang studi di Yogyakarta, Iip Wijayanto, meminta maaf terhadap masyarakat, terutama kaum perempuan Yogya, berkaitan dengan dipublikasikannya penelitian 97,05 persendari 1.660 mahasiswi yang kuliah di Yogyakarta sudah tidak perawan.

Walau akhirnya berbagai tekanan muncul kepada Iip dan riset dianggap tidak valid membuat Iip berfikir ulang untuk mempertahankan hasil penelitian yang ‘menampar’ kehidupan sosial kota pendidikan itu.

Pasca riset menghebohkan itu di Kalimantan Barat, banyak keluhan dan kekuatiran orang tua terhadap anak-anaknya yang kuliah di Yogyakarta, bahkan beberapa orang tua mengurungkan niat menyekolahkan anaknya di kota pelajar tersebut.

Penelitian yang dilakukan hampir tiga tahun itu akhirnya direvisi, bahkan penelitian ulang terhadap penelitian, dengan lebih melibatkan pakar-pakar yang berkompeten di dalam persoalan itu. Disatu sisi Iip mengaku, dari 98 responden yang pernah melakukan aborsi, kesemuanya karena tekanan laki-laki yang menghamilinya. Lanjut Iip, hubungan seksual yang dilakukan seluruh responden, sebagian besar diawali oleh inisiatif laki-laki pasangannya.

Lembaga tempat Iip bekerja, Study Cinta dan Kemanusiaan Pusat Bisnis Humaniora (LCS&K PUSBIH), juga sampai melakukan penelitian pembanding terhadap kesimpulan penelitian Iip. Sebuah tamparan keras terhadap kota yang memiliki semboyan berhati nyaman tersebut.

Vita sendiri melalui cerpen ingin berpesan kepada calon apoteker bahwasanya ilmu pengetahuan tidak selalu menjadi musuh moral, menurut Dia, ini bercermin pada realita, di Yogyakarta mungkin berbeda dengan Pontianak. Di sana (Yogyakarta) banyak anak muda dengan beragam tingkah laku, dari yg kalem sampai yang hancur sekali juga ada. Seks bebas dan hamil di luar nikah adalah hal biasa ditemukan di kota itu. Tidak jarang juga ditemukan dalam satu kos-kosan pacaran sudah seperti suami istri, hidup bersama. Sehingga, obat aborsi bisa didapatkan dengan mudah.

Pak Gus yang Tamak

Dalam cerpen itu menggambarkan, seorang tokoh antagonis bernama Pak Gus yang cenderung mengutamakan bisnis mengesampingkan etika moral. Fungsi sebenarnya dari Apoteker, menurut Vita dikalahkan oleh kepentingan bisnis, “Apotek fungsinya sudah seperti supermarket, pilih, ambil, bayar, tidak ada upaya pencegahan,” tegas anak kedua dari empat bersaudara itu.

Vita menuturkan, saat ini buktinya dokter lebih dipercaya masy daripada apoteker, karena apoteker sendiri yang merusak profesi mereka. Kesannya sekedar jual beli obat karena mereka punya wewenang, “Dari cerpen itu, mau saya tunjukkan kalau masih ada apoteker-apoteker muda yang jujur, setia dengan sumpah profesi,” kata Vita.

Dari Cerpen itu, Vita berharap ada apoteker membaca, sehingga sadar akan profesinya. Bila awam membaca, mereka bisa melihat sosok apoteker sebenarnya. Sebagai perbandingannya, kata Vita, di Amerika Serikat, pernah ada survey terhadap profesi apakah yg kata-katanya paling dipercaya. Ternyata Survey membuktikan kalau yang pertama apoteker. kedua, pendeta. terakhir sales mobil. Sedangkan di Indonesia, apoteker masih dibawah baying-bayang dokter. masyarakat lebih percaya dokter. malah ada dokter yg langsung member obat, tanpa ke apotek.

Tuesday, 10 August 2010

Salam semua. Selamat berpuasa bagi rekan Muslim. Semoga bulan ini penuh berkah. Doa bagi Kalbar tercinta, agar senantiasa damai tentram. Salam semua.

hentakun pontianak kalimantan barat
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Friday, 16 July 2010

Durian bagi masyarakat Dusun Kangking, adalah penopang perekonomian sehingga masyarakat sendiri melarang pembabatan pohon durian meski tidak ada larangan pemerintah

"Durian itu salah satu mata pencaharian kami, jika musimnya seperti ini rejeki buat menambah keuangan keluarga,” ujar F. Nariyanto (43), penduduk Dusun Kangking Desa Merawa Simpang Hulu yang ditemui di bawah pohon durian, Minggu (19/7) pekan lalu.
Laki-laki yang akrab sapa Nari yang menjabat sebagai bendahara Desa Merawa itu bersama putra bungsunya Dudung mencari buah durian. Di Desa Merawa terdapat sekitar 200 pohon durian yang masih bisa berbuah, dan sekitar tujuh puluh batang di Dusun Kangking yang musim buahnya bulan Juli dan Februari setiap tahun.

Nariyanto penduduk asli dan tinggal di Dusun Kangking Desa Merawa Kecamatan Simpang Hulu Kabupaten Ketapang. Menurut data laporan penduduk Desa Merawa, Dusun Kangking mayoritas penduduknya suku Dayak Kua
lan, memiliki 75 kepala keluarga, semuanya hidup bertani, sebagaimana orang Dayak yang tinggal di perkampungan dan sudah hidup turun temurun, hasil hutan merupakan urat nadi perekonomian dan filosofi mereka. Filosopi hidup karena tanda-tanda alam masih diyakini, sehingga bila hutan dibabat menurut Nari rakyat Merawa umumnya tidak bisa hidup. “Kalau hutan kami dibabat, kami mau cari makan ke mana, ini sudah dekat dengan pegunungan Merawa sebagai hutan lindung kami dan tak boleh diganggu, hutan itu nafas kehidupan kami,” ungkapnya.
Nari mengungkapkan, beberapa kali Desa Merawa didatangi perusahaan perkebunan untuk membuat tapal batas pembagian lokasi perkebunan, namun ditolak mentah-mentah warga setempat, sehingga pihak perusahaan pulang tanpa hasil, begitu juga rencana program perkebunan albasia, ditolak masyarakat. Laurensius Ajun Kepala Desa Merawa ditemui di Kediamanya di Dusun Giet Desa Merawa mengatakan, lebih memilih karet jika ada program pemerintah untuk membantu pembangunan ekonomi desanya,”masyarakat di desa kami lebih memilih karet, karena itu yang sudah membumi, kalau komoditas perkebunan lain masyarakat terus-terang saja menolak kami tidak mau seperti daerah lain yang menderita dan kehilangan air bersih,” ungkapnya.

Data menyebutkan di Desa Merawa, perkebunan karet paling dominan, dan sudah dimasyarakatkan pula beberapa hektar kebun kakau bantuan credit union (CU) setempat dalam bentuk kredit lunak ke penduduk. Ekosistemnya masih seimbang, warga bebas menikmati air sungai yang tidak tercemar limbah apapun, karena selain menikmati hasil alam, segala jenis kegiatan seperti PETI, perkebunan, tidak diperbolehkan masuk ke desa tersebut. “Di desa lain silahkan kalau di desa kami PETI dan perkebunan mohon maaf,” tegas Ajun.
Selain dua komoditi tersebut, hasil hutan lainnya seperti durian jelas juga sebagai komoditi unggulan musiman yang sangat membantu menunjang perekonomian keluarga, meskipun SKAU sudah diterbitkan pemerintah, bukan berarti serta merta pohon durian bisa ditebang.

Menurut Nari, di Desa Merawa untuk memperkuat kelestarian hutan maka dibuat Perdes yang melarang penebangan durian, menuba sungai, berladang rimba, apalagi merusak ekosistem tumbuhan yang ada di gunung Merawa, sehingga masyarakat memanfaatkan lahan tidur persawahan yang memiliki luas sekitar seribu hektar di desa Merawa. Selain Perdes, hukum adat Dayak juga masih kuat mengatur pola kehidupan masyarakat.
Catan (37) penduduk Dusun Kangking lainnya mengatakan, menebang durian sama saja mengurangi mata pencaharian mereka, Catan tidak malu seandainya disebut kuno atau kolot yang penting alam tetap lestari dan masyarakat tidak susah mencari makan. “Pemerintah pasti tahu bagaimana kehidupan masyarakat pedalaman Kalbar yang bergantung pada hasil hutan, kami yakin tidak akan semena-mena,” ujarnya polos.
Empe (42) warga Kangking yang rajin mencari durian mengungkapkan, dengan harga karet yang anjlok seperti ini, durian bisa menjadi pilihan, harga perbuah lima sampai 10 ribu rupiah, tergantung besar kecilnya bahkan sampai lima bel
as ribu. “Masyarakat rata-rata mendapat 80 buah perhari dikalikan saja,” jelas Empe.
Peluang Agrowisata
Sekretaris Masyarakat Perhutanan Indonesia Kalbar, Gusti Hardiansyah di Pontianak (24/7) mengakui memang durian tidak dilarang ditebang setelah dikeluarkan SKAU, namun jika kearifan lokal kuat dan masyarakat setempat menghendaki agar durian tidak ditebang, sebaiknya pemerintah atau perusahaan menghormatinya, supaya tidak terkesan rakus.
“Durian boleh saja ditebang, namun untuk kepentingan buah jangan ditebang seperti halnya pohon kayu madu (tapang) dan tengkawang meski boleh sesuai SK Menhut namun hak masyarakat adat seperti yang tertuang dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) nomor 1 tahun 2009 tentang pengakuan negara terhadap hak adat harus tetap dihargai,” jelasnya.
Untuk kepentingan perusahaan menurut Dosen Fakultas Kehutanan Untan itu, durian dikategorikan sebagai kayu papan tengah kelas
II-III, untuk kelas I seperti ulin, bengkirai sehingga untuk kayu kelas satu yang dibutuhkan perusahaan untuk industri seperti plywood, sedangkan kayu durian itu alternatif.
Ia juga mengakui, durian di Kalbar sudah dibudidayakan sejak zaman nenek moyang di tembawang, misalnya di Batang Tarang Sanggau, Sukadana KKU. Namun menurutnya di Kalbar sebaran pohon durian hanya sekitar lima persen namun peluang agrowisata besar walaupun terkesan langka. Di Singkawang misalnya di arah Karimunting ada durian yang berpotensi untuk agrowisata.
Mengenai perkembangan durian agar menghasilkan berbagai rasa, kandidat Doktor IPB Bogor tersebut mengakui riset perguruan tinggi belum maksimal sehingga varietas durian dengan berbagai rasa belum ada di Kalbar, seperti durian rasa mentega, keju, asam dan sebagainya. Sama halnya seperti kayu lain misalnya meranti karena hasil penelitian, sebelumnya bisa ditembang setelah umur lima puluh tahun sekarang bisa 25 tahun sudah dapat ditebang.
Kepala Dinas Pariwisata Provinsi Kalbar Kamaruzzaman ditemui di Balai Petitih Kantor Gubernur sehari sebelumnya mengharapkan, agar pemerintah mencegah penebangan terhadap komoditas buah-buahan seperti durian, langsat dan sebagainya, karena dalam program visit Kalbar 2010, agrowisata juga termasuk dalam agenda akbar pertama di Kalbar tersebut.
“Penebangan durian harus dicegah karena durian untuk konservasi yang mendukung ekonomi kerakyatan jika tetap menebang ya diberi sanksi dong durian itukan komoditas yang bisa juga menarik wisatawan,” tegasnya.
Menghilangkan Identitas
Deputi Direktur Walhi Kalbar, Blasius Hendi Candra, menjelaskan durian sebagai komoditas hutan hujan tropis harus dilindungi, menghilangkan durian bearti menghilangkan identitas.
Hendi kuatir penebangan terhadap komoditas hutan lokal ini sebagai bentuk penghilangan identitas masyarakat lokal di Kalbar, “Semua tahu kalau durian itu sebagai salah satu nadi perekonomian masyarakat kampung kenapa harus dimusnahkan hanya untuk kepentingan sesaat sementara durian itu ada sudah turun-temurun sangat disayangkan kalau pemerintah tidak segera mengambil sikap tegas,” ujarnya kesal.
Hendi berharap pemerintah tegas dalam mengambil tindakan terhadap siapa saja yang merusak ekosistem masyarakat lokal di Kalbar, “langkah pemerintah kalau berani buat perda mengenai penghargaan terhadap masyarakat lokal agar pemerintah punya komitmen nyata menghargai kearifan masyarakat lokal, durian itukan kearifan lokal turun temurun di Kalbar kenapa harus dibabat juga,” ujar Hendi setengah bertanya.

Tuesday, 27 April 2010

Disms, ditelpon berulang kali di minta pulang, saya tetap ngotot untuk bekerja-bekerja dan bekerja. Sok sibuk…!.

Usai dari kantor, menuju parkiran, terlintas di benak, sosok perempuan berumur berwajah serius dengan tatapan kosong terus mengayun parang menebas belukar, untuk ladang, ya untuk ladang, menghidupkan saya, memberi makan saya ketika pulang, agar tidak dianggap pemalas yang selalu mengharap beras pemerintah, “Kita bisa bekerja kita bisa tanam padi dan hasilkan beras sendiri,” kata Bapak suatu ketika.

Saya, memacu motor di jalanan, terus melamun sepanjang jalan, “Besok saya mesti pulang” gumam dalam hati.

“Ibu sakit, kamu harus pulang, beliau dua hari tak sadarkan diri” demikian bunyi pesan pendek dari selular nun jauh di kampung.

Ingin rasanya malam segera berlalu, biar pagi menjemput dan saya memacu kendaraan ke kampung halaman untuk menemui perempuan paro baya yang tergolek lemas di atas tikar Bidai ruang tengah Rumah papan ku.
Tidak ada yang menjaga, Bapak ke kota untuk suatu urusan, memakan beberapa hari, kembali.
Saya, oh, saya sok sibuk, saya selalu mengutamakan diri sendiri, saya egois, menempatkan pekerjaan di atas segala-galanya, tapi tidak ada hasilnya.

Sikap ini, tentu banyak yang protes, banyak, bahkan setahun terakhir sejak saya bekerja, protes dari berbagai penjuru, datang menyesak telinga, “Apa sih?”, gumam ku lagi.

Sesuai permintaan, malam berlalu, cepat rasanya. Namun, pagi harus servis pacuan biar nyaman sampai tujuan, seperti sebuah doa, “Ha…gir depan belakang, rantai, mesti diganti baru top…!”, suara hati berbisik.

Malam, sebelum tidur saya menelpon seseorang memohon doa Tuhan (kalau memang ada) maha adil, Romo Robini (Pater Rob) dengan iklas hati akan membuat misa kesembuhan ibu saya, “Siapa namanya?”, “Yuliana Sarania, Romo,” jawab saya di tengah pekatnya malam, gerbang biara berbunyi ditiup angin, bergoyang-goyang, “Haciissss, maaf saya tidak bisa kena angin malam terlalu lama, besok saya akan pimpin misa untuk kesembuhan Ibu kamu, dan sebaiknya kamu pulang, jenguk ibu mu,” kata dia lagi.

Usai meng-oke-kan perkataan dia, saya kembali memacu kawan yang selalu menggendong saya ke mana-mana, ke rumah dan tidur, tanpa mimpi apapun, “Tuhan jika engkau tidak mengabulkan aku dalam kerajaanmu, namun kabulkan kesembuhan untuk ibu ku, aku tahu Tuhan sakit hati karena aku belum sepenuhnya menganggap Tuhan ada,” kembali suara hatiku berbisik..eloy...eloy…”Tuhan maha tahu maha pengampun, meski saya bertingkah seperti Thomas,” tidur pun menjemput.

Pagi, panasnya Pontianak tak menyurutkan bangun, berfikir cepat sampai, jangan singgah-singgah. Kendaraan di pacu, cepat melesat, 1,55 menit sampai Tayan, nyeberang, 180 menit sampai di Balai Berkuak, 30 menit sampai di Kampung, Perempuan paro baya tergolek lemas, “Ibu mu tak sadarkan diri dua hari,” kata seorang bibi, “Sakit apa dia?,” tanya saya, “Badannya sakit semua, sendi-sendinya juga sakit, semua badan sakit, ada luka di badannya belum sembuh,” kata bibi yang lain.

Ibu-ibu di dapur sibuk, ada yang masak bubur, memberi babi, ayam peliharaan makan, dan sebagainya, termasuk membersihkan rumah. Saya mendekati ibu, dengan kakai yang masih berlumpur tentu juga berkeringat. Aku merasakan keningnya, panas, yang saya dengar hanya suara rintihan sakit, hati ku luluh, kenapa saya begitu durhaka?, tega meninggalkan ibu sakit seperti ini?, andai saya menunda kepulangan, tak tahu apa yang terjadi?.
Its, okay, ini pelajaran berharga, saya mesti, segera bertindak, untuk kesembuhan, saya kembali ke Balai Berkuak, dan membeli obat-obat yang harus di minumnya. Jamu, makanan dan multivitamin. Tak peduli jalan berlumpur dan malam menjemput kembali.

Di rumah sudah tidak ada apa-apa, hanya ada beras, sejak sakit, tidak ada yang memasak, apalagi anaknya jauh, selera makan orang tua hilang. Segera kembali, membawa obat yang di perlukan, di rumah, bubur ayam sudah matang, kemudian ibu diminta makan sedikit, setelah itu minum obat, dan tidur lagi.

Menjelang tengah malam, “Hen, kenapa tidur tak pakai selimut?,” suara itu begitu akrab di telinga, ketika mata di buka, “Oh, Ibuku sudah sadar, namun lelah di mata dan hatinya menjalani hidup hari-hari penuh beban tak mungkin hilang sekejap,”, “Iya, Ibu tidur saja, istirahatlah, saya sehat kok tidak apa-apa, tidurlah,” kata ku sambil menyelimuti dia, aku lihat kaki ku masih penuh lumpur. Kakinya ku tutup doble selimut, bantal ku taruh di kiri-kanan, tentu saja di kepala ada.

Dia kembali memejamkan mata, hingga esok menjemput, “Ibu cepat sembuh, anakmu yang durhaka ini kembali akan bekerja, untuk ibu, ya, untuk ibu,” gumamku…
Di bekas rumah sakit Misi Katolik, komplek Pastoran Sejiram, Kecamatan Seberuang, Kapuas Hulu, Kalbar, di salah satu sudut ruangan, tergantung beberapa tas kecil dan sampul madah bakti berhiaskan motif tenun ikat Sintang.
Di atas meja, terdapat beberapa buah resleting yang sudah dipotong terukur, benang jahit dan gulungan kain tenun. Empat mesin jahit manual peninggalan Pastor Belanda puluhan tahun lalu, masih layak di pergunakan.
“Mesinnya diputar pakai tangan, ini peninggalan pastor misi dulu, masih bagus,” terang Andreas Tinjau (40) sambil memutar mesin jahit Butterfly.
Anak kelima dari enam bersaudara kelahiran Kelakau Desa Tanjung Keliling, Kecamatan Seberuang Kapuas Hulu itu, sejak 1998, merintis usaha kerajinan kecil. Membuat sampul madah bakti (buku nyanyian umat Katolik, red) pesanan Keuskupan Sintang dan tas jinjing untuk ibu-ibu.
Di bekas rumah sakit yang kini menjadi gedung tua nan sunyi itu, Andreas Tinjau tinggal bersama keponakannya, Riswani (26). Riswani-lah yang memasak untuk mereka berdua, dan membantu membeli bahan baku pembuat sampul madah bakti serta tas jinjing, ke Sintang bahkan ke Putussibau Ibukota Kabupaten Kapuas Hulu.
Bahan baku sampul madah bakti biasanya sudah di dropping dari Sintang, tinggal Andreas di bantu tiga karyawannya, membuat sesuai desain pesanan. Per-sampul dihargai Rp 22.000. Tas Rp 175.000.
“Tas sulit lakunya, karena tidak ada yang memasarkan, paling kalau ada pengunjung, mereka membeli langsung ke sini,” terang Andreas.
Tas buatan Andreas tidak kalah bagusnya dengan tas ibu-ibu buatan umumnya. Design masa kini. Tas made in Sejiram ini, dibalut motif tenun ikat khas Dayak Sintang, proses pembuatannya pun sangat hati-hati agar tidak mengecewakan pelanggan, kualitas bahannya juga dari bahan tas umumnya, ada yang dari sintetis dan kulit. Satu hari bisa memproduksi lima sampai sepuluh tas.
Menurut Andreas, Keuskupan Sintang, sejak tahun 1998 sudah tidak memesan sampul madah bakti ke Jawa lagi, sebab dirinya-lah yang memenuhi keperluan tersebut.

Sempat putus asa
Meski hidup dengan keterbatasan fisik, Andreas Tinjau, tidak menyerah. Untuk memotivasi dirinya, ada pesan tertulis di ruang kerja berukuran 5x4 meter itu. Tergantung di bawah dua sertifikat dari Dinas Perindustrian dan Perdaangan Kabupaten Kapuas Hulu. ‘Penyandang cacad tidak membutuhkan belas kasihan melainkan sebuah kesempatan’.
Stiker tersebut dibuat kelompok studi dan pengkajian penyandang cacad Indonesia (KSPPCI) yang beralamat di Surakarta Jawa Tengah. “Saya sempat putus harapan, namun kita harus berfikir kembali, kita jangan terus bersedih,” katanya sambil menatap ke dua kakinya.
Dalam keputusasaan itu, Pastor Budi Priatna dari Ordo Oblat Maria Immaculata (OMI) (almarhum) yang bertugas di Paroki Sejiram, membawa Andreas Tinjau ke Yoyakarta, untuk belajar di Yakum (Panti Cacad), sejak 1995-1997.
Jatuh dari pohon rambutan 20 tahun lalu, membuat, kedua kakinya cacad permanen, sehingga untuk berjalan harus mengunakan kursi roda. Kondisi demikian membuat almarhum Pastor Budi yang asli Cilacap Jawa Tengah, membawa Andreas ke Yogyakarta untuk belajar keterampilan, seperti membuat tas dan kerajinan industri rumah tangga lainnya.
Sehingga sejak kembali ke Kalbar, 1998, Andreas merintis usaha kecil untuk menopang hidup. Sempat menampung tiga karyawan, namun karena bahan baku kurang dan sulit untuk memberi honor, Andreas terpaksa merumahkan sementara karyawannya, “Nanti kalau ada pesanan lagi baru saya panggil,” terang dia.
Andreas Tinjau, tangannya tetap kuat mencengkram pemutar kursi roda yang setia mengantarkan ke mana pun pergi, seperti juga memutar roll mesin jahit tetap ia lakukan, untuk hidup, tanpa harus bergantung dengan orang lain.
Tekadnya untuk tetap meneruskan pekerjaan ini walau keuntungan hanya cukup buat makan, tidak lagi membuatnya putus harapan. Andreas seperti dia tuturkan, ingin juga sukses, sifatnya yang pantang menyerah seolah menunjukan ke masyarakat bahwa orang dengan kekurangan fisik juga bisa berkarya, tanpa harus menadahkan tangan ke setiap pengendara di perempatan jalan di kota-kota besar.