Saturday, 15 November 2008

Pagi 15 November 2008, saya kesiangan, panas sudah menusuk sela-sela jendela. Saya terbangun, baring lagi, bangun lagi, baring lagi, bangun lagi, langsung menuju kamar mandi di lantai satu dengan masih menggunakan underwear, bagian atas tanpa dibalut sehelai kain pun.

Ssssssssssssssssssssssst……air hujan tunggal tercurah, bersumber dari antara kedua pahaku. Aku lagi malas melihat kebawah,dilihatpun dia tidak akan berekspresi, masih tidur lagi, jadi kuputuskan saja pipis sambil pejam mata.
‘Aaah...bagai disurga’ bisik benak liarku.
Ku timba air ‘cruuuup...’ kusiram closed jongkok warna pink yang barusan berubah menjadi danau kuning bagian tengahnya.
Aku bergumam, “ Kencingku kok kuning sekali, perasaan tadi malam aku tidak minum apapun yang berwarna kuning”.
“Ah…mane duli…” timba kuletakan..

Memang, ketika kuliah tahun 2001 aku pernah mengalami gangguan ginjal, berkat terapi air putih, aku bisa sembuh, sampai sekarang pantang meminum suplemen merek apapun, padahal itu minuman kesukaanku. Apa boleh buat, biar umur panjang aku rela berpantang
‘Kluntung...!!!” timba jatuh,akupun reflek menendang timba itu, dia tersungkur ke dinding toilet. Andai bisa mengaduh, mungkin sudah berteriak, memaki, mengumpat. Namun aku tidak mendengar itu, karena timba itu sudah berdosa melihat setiap orang yang buang hajat dan mengguyur hujan lokal dari ujung talang pribadinya.

Saya naik ke lantai dua menuju kamar. Inginnya tidur kembali, waktu sudah menunjukkan pukul 06.lewat sedikit, saya harus mengantar kedua anak buah saya ke sekolah.
Bergegas memasang celana yang bolong selangkangannya, kemudian memakai jaket tebal tapa baju dalam.

Pikirku “Biar panas, kan setelah itu mandi”.
Belum keluar kamar, badanku seperti ada yang merubungi.
‘oooh...ternyata...Semut manis merubungiku”
Kulihat ada sebiji permen Relaksa yang mengental di bagian dalam jaket. Aku tidak tahu darimana asalnya.

“Huuuu…” Aku buka jaket itu, kemudian dibuang ke sudut ruangan. Gantinya sehelai jaket kulit, dielakangnya ada tulisan Kawasaki, dikerahnya sudah ada jamur keringat entah punya siapa.Aku pakai saja, dan berangkat deh mengantar dua anak buah ke sekolah.

Sunday, 14 September 2008

Tanpa bermaksud melecehkan, meski Saudara Sumanto sudah bertobat, namun kita bisa mengajukan permohonan lagi tenaganya sebagai eksekutor para pelaku kriminal, atau Ryan sang penjagal manusia dari Jombang. Ada pertimbangan khusus untuk tidak memakai Ryan karena dia tidak memakan hasil eksekusinya tetapi hanya di mutilasi lalu di kuburkan, berbeda dengan bapak kita yang satu ini sehingga masuk akal memilih dia karena pertimbangan kalau sudah di eksekusi jadi tidak perlu di kuburkan lagi, dan tanah kita yang di sebut Koes Plus tanah surga tidak tercemar oleh darah dan daging haram mereka.

Ketika hukum formal sudah bukan hal yang menakutkan lagi maka hukum rimba akan menjadi satu-satunya jalan membuat para pelaku kriminal baik yang berkerah putih maupun yang kriminal pasaran jera dan bukan hanya jera tetapi ini akan menjadi trend baru bagi masyarakat yang jenuh dengan kemunafikan petinggi negara untuk dijadikan profesi baru dan tidak menutup kemungkinan berbagai universitas akan membuka jurusan ini.

Kriminal kerah putih misalnya koruptor, pencuri uang negara, perdagangan manusia atau traficking dan lain-lain, sedangkan kriminal pasaran seperti maling ayam, copet, rampok, garong, tukang ngutip di jalan, pasar rakyat dan kriminal kelas rendahan lainnya.

Dilihat dari kuantitasnya, kriminal kelas atas atau kriminal kerah putih biasanya main dengan jumlah milyaran rupiah bahkan sampai triliunan dan wilayahnya pun antar negara, sedangkan yang pasaran biasanya mainnya paling tinggi jutaan, wilayahnya hanya tempat kelahiran atau daerah lain yang masih dalam satu negara.

Ketika Hukum Formal bukan hal yang menakutkan bagi pelaku kriminal, maka hukum rimba akan menjadi pilihan terakhir, jadi bukan hanya efek jera saja yang akan di dapat, juga mengurangi populitas manusia di dunia yang berperilaku merugikan orang lain.

Jadi tunggu apalagi ayo...kami orang kampung ingin damai, karena hanya itu yang membuat kami puas dan uang pemerintah yang kami bayar lewat pajak tiap bulan juga bisa utuh sampai ketangan kami.

Friday, 12 September 2008

John F. Kennedy mengatakan "jangan tanya apa yang negara sudah berikan padamu, namun apa yang sudah kau berikan untuk negara?"

Sementara Ir. Soekarno pernah mengatahan bahwa: "Bangsa Yang Besar adalah Bangsa Yang menghargai jasa para pahlawannya"

Ungkapan di atas sering kita dengarkan saat kita sekolah terutama sebelum pelajaran Sejarah Perjuangan Bangsa ketika jaman orde baru masih jaya. Bahkan konon negara ini memiliki jumlah pahlawan nasional terbesar di seluruh dunia. Tetapi mengapa kita masih belum dapat menjadi Bangsa yg besar?. Kasus belum diangkatnya Bung Tomo menjadi pahlawan nasional, sakitnya Bapak Jusuf Ronodipuro (pembaca teks Proklamasi untuk disiarkan ke seluruh dunia) telah menunjukkan kenapa bangsa ini tidak menjadi bangsa yang besar. Prosedur pengangkatan pahlawan nasional yg harus melalui pengajuan Lembaga Non Pemerintah (NGO) atau pihak keluarga pahlawan kepada pemerintah membuat kita semua bertanya sebenarnya yang kita anggap pahlawan nasional selama ini ternyata bukan pahlawan tetapi hanya mitos pahlawan saja, atau yang dimakamkan di Taman Makam Pahlawan bukanlah pahlawan sebenarnya mengingat unsur politik juga mempengaruhi pemberian predikat pahlawan.
Rosihan Anwar salah seorang tokoh pers mengatakan kalau dia belum dapat dikatakan Wartawan Perang karena dia tidak meliput perang 10 Nopember 1945 meski dia sedang berada di Surabaya. Sehingga bila ada yg mengatakan Rosihan Anwar adalah wartawan perang kemerdekaan itu hanyalah mitos. Kita juga kuatir apabila pahlawan sebenarnya malah sekarang mengalami diskriminasi karena berseberangan dengan politik kelompok yg berkuasa, dan fakta itu sudah banyak terjadi dan terbongkar. Susah kalau hidup di negara yang tidak memisahkan urusan agama dengan negara, sehingga agama cenderung turut campur menentukan kebijakan negara yang mestinya ditentukan untuk kepentingan universal rakyat menjadi kepentingan kelompok agama tertentu. Tidak menutup kemungkinan kalau suatu saat tinggal Jawa saja yang akan menjadi negara Indonesia, karena pulau-pulau lainnya di wilayah Indonesia akan menjadi negara sendiri. Perlu diingat bahwa pulau-pulau seperti Kalimantan, Bali, Sulawesi, Papua memiliki penduduk asli, mereka juag memiliki hak untuk menjadi tuan di tanah sendiri, sementara sekarang mereka selalu mengalah, diancam komunis atau makar apabila mencoba mengaktualisasikan diri sebagai bangsa pribumi. Kesannya sekarang banyak yang beranggapan kalau kita sedang dijajah oleh bangsa Jawa. Di Aceh misalnya, mereka sendiri menrasa dijajah oleh orang Jawa, ketika saya mendaratkan kaki di Aceh Jaya, sering saya dengar lontaran kata-kata tersebut dari mulut sebagaian besar masyarakat pribuminya. Tidak menutup kemungkinan di daerah di luar pulau jawa banyak yang layak menjadi Pahlawan tetapi tidak pernah di lihat hanya karena dia mungkin orang kafir/pedalaman atau hanya perjuangannya hanya bersifat komunal, bukan bukan istanasentris, atau rajasentris. Seperti contoh: Pang Suma yang tergabung dalam Angkatan Perang Majang Desa yang bermarkas di pedalaman kecamatan Meliau sekarang Kecamatan Meliau Kabupaten Sanggau dalam perjuangan melawan Jepang, mereka berhasil membunuh banyak Tentara Jepang salah satunya Takeo Nakatani, yang kepalanya diserahkan kembali ke pemerintahan Jepang pada tanggal 30 Juli 1981. Perang Majang Desa adalah sebuah nama dari suatu Organisasi perjuangan kemerdekaan yang pertama kali berpusat dan bermula di Kunyil, Kelurahan/Ketemenggungan Embuan Kecamatan Meliau Kabupaten anggau Kalimantan Barat. Organisasi Angkatan Perang Majang Desa adalah organisasi perjuangan rakyat dalam pergolakan melawan dan mengusir penjajah jepang di Kalimantan Barat. menurut Frans Layang (1981) Nama Angkatan Perang Majang Desa diambil dari Paduan nama yaitu 1. Majang, 2. Desa. Majang, nama yang diberikan oleh masyarakat Kapuas bangian Hilir (Sanggau, Pontianak, Sambas, Ketapang dan lain-lain) kepada suku-suku Daya yang datang dari hulu sungai Kapuas seperti Sintang dan khususnya Putussibau dan bahkan termasuk yang datang dari Serawak. Sedangkan Desa, adalah nama dari suku Daya yang mendiami beberapa daerah di kecamatan Meliau dan Tayan di Kabupaten Sanggau. Menurut tulisan Frans Layang, Angkatan Perang Majang Desa terbentuk ketika beberapa tokoh masyarakat Daya yang sudah tidak tahan lagi melihat kekejaman Jepang banyak tokoh masyarakat dari berbagai etnik di Kalimantan Barat yang menjadi korban kekejaman Jepang dalam penyungkupan dan pemancungan di Mandor kemudian dibuatlah monumen daerah, di Singkawang malah sekarang terkenal dengan nama Mungguk Pancung, Kemudian di Kabupaten Ketapang tepat di samping Lembaga Pemasyarakatan namun sayang tidak terawat lagi, Suatu saat kalau hukum di negara ini semakin tidak bertaring, maka tempat-tempat tersebut bisa di pakai kembali untuk pemancungan atau penyungkupan pejabat-pejabat negara yang nakal, korupsi, sering mangkir ketika jam dinas dan aparat-aparat negara yang selalu minta sopoi di jalanan.

Adalah Temenggung Mandi alias Pang Dandan yang bergelar Orang Kaya beserta beberapa orang anak buahnya menyusun rencana dan mengatur siasat. Mereka menghubungi rombongan-rombongan pekerja yang berasal dari Kapuas Hulu dan Serawak pada perusahaan kayu milik Jepang, khususnya yang bermukim sementara di Durian Pampang Sansat di sebelah hilir Pulau Tayan, serta yang berada di Sekitar Kunyil dan Embuan. Awal bulan Maret 1944 dipanggillah secara rahasia beberapa orang diantara mereka yaitu: Burung, Jap alias Rejap dan Sulang. Pertemuan yang sangat rahasia tersebut memperoleh kata sepakat untuk membentuk dan menghimpun untuk kekuatan rakyat untuk melawan pemerintahan Jepang. Mereka menyebut dirinya sebagai Angkatan Perang Majang Desa. Keanggotaannya terbuka untuk siapa saja yang mau berjuang bersama-sama melawan Jepang khususnya dan penjajah umumnya. Anggota utamanya dalah sebagian besar masyarakat Kalimantan Barat, khususnya yang berada di sekitar kabupaten Sanggau seperti orang Daya, Melayu, Cina, Bugis dan lain-lain yang simpati dan dapat bekerja sama dalam mengusir penjajah untuk mencapai kemerdekaan. Setelah adanya kata sepakat antara Temenggung Mandi dengan mereka, maka rencasna perlawanan terhadap pemerintahan Jepang, telah disusun secara rahasia. Smbil menunggu saat yang tepat, maka keris pusaka orang Daya desa memberi isyarat kurang menguntungkan. Tidak hanya itu, berbagai macam cara yang menunjukan bahwa waktu itu juga orang Daya sudah menyatu dengan alam dan sangat percaya dengan tanda-tanda alam, meramalkan atau menentukan keadaan yang menguntungkan. Mereka menentukan waktu yang paling baik.

Keris pusaka Pang Dandan yang merupakan Temenggung yang sangat berpengaruh dalam Angkatan Perang Majang Desa tersebut memberi petunjuk baik, merekapun memberitahu kepada seluruh masyarakat dan pekerja aga menyimpan segala persiapan makanan untuk kebutuhan perang. Kemudian mereka secara terang-terangan menyatakan perang kepada pemerintahan Jepang, Senjata Tradisional Daya seperti Mandau/Parang, Tombak, Sumpit, Senapan Lantak supaya diadakan dan diperbanyak.Perlawanan terhadap pemerintahan Jepang Oleh Angkatan Perang Majang Desa pun terjadi. Perlawanan-perlawanan seperti peristiwa Suak Garong Peristiwa ini bermula dari pekerja-pekerja perusahaan kayu Jepang yang di sebut dan di kenal oleh masyarakat dengan singkatan "KKK" dengan sebuah cabangan di Sungai Posong anak sungai embuan yang bernama SKK (Sumito Shokusan Kabushiki Kaisha).

Pekerja yang sebagian besar penduduk daerah situ dan beberapa pendatang diberi upah yang tidak layak. Namun ada beberapa penjilat yang akhirnya bisa menjadi Mandor kemudian di peralat untuk memata-matai buruh kasar yang diindikasi akan melawan. Kehidupan masyarakat Daya waktu itu tidak berubah sampai sekarang terutama dalam bidang ekonomi yang masih bergantung dengan alam, mereka 99% memanfaatkan alam untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, sehingga apabila alam dirusak maka hati mereka akan bergejolah marah dan mandau akan mendarat di leher siapapun apabila ekosistem mereka diganggu (tunggu saja satnya tiba kalau belum percaya)
YAMAMOTO yang digelar masyarakat meliau sebagai Tuan Pentong berkedudukan di Kunyil Embuan sebagai pimpinan perusahaan KKK mambawa keraninya Atet ke Suak Garong. Lisi sang pekerja yang diindikasi melawan dicari oleh Tuan Pentong. namun Tidak ditemukan sehingga dia menyiksa orang-orang yang ada di kampung Embuan. Kebetulan Tuan Pentung bertemu Pang Rontoi suami Istri yang sudah tua. Yamamoto masuk ke rumah dan meraih martil yang ia jumpai di atas tempat duduk Rontoi. Namun Pang Rontoi luput dan martil tersebut mendarat di kening Atet sang kerani Jepang. Peristiwa itu membuat Yamamoto marah dia menyerang Pang Rontoi alias Caya dengan membabi buta.


Dibalik rasa takut Pang Rontoi timbul keberanian, kemudian menangkis serangan Yamamoto, bukti sabarnya orang pribumi dalam mendapat tekanan mereka belum berfikir untuk menyerang, mereka hanya berfikir menghindar dan menjauh mereka dasarnya tidak mau konflik, dalam pikiran mereka mengalah lebih baik yang penting tidak konflik, namun apabila sampai mau mencelakakan ya apa boleh buat.

Naluri Indong Rontoi yang sedang menumbuk padi, tidak tega melihat suaminya diserang bertubi-tubi, dengan nekad diayunkan alu ke kening Yamamoto sehingga membuatnya terhuyung-huyung, kemudian Pang Rontoi meninju mata Yamamoto.

Yamamoto alias Tuan Pentong mengalami patah tangan dan muka berdarah, dia pulang sambil menunjuk-nunjuk dengan tanganya yang belum patah itu ke arah Pang Rontoi sekeluarga bernada mengancam atau dia akan datang lagi, Tunggu saja.
Pang Rontoi melaporkan kejadian tersebut ke Temenggung Mandi alias Pang Dandan di Kunyil. Kemudian Pang Dandan membagi masyarakatnya menjadi tiga kelompok yang dipimpin oleh masing-masing seorang Panglima. Kelompok satu dipimpin oleh Pang Suma alias Menera, Kelompok II dipimpin oleh Pang Linggan alias Ajun dan Kelompok III dipimpin oleh Andreas Timbang. Sambil mereka menunggu komando dari Pang Dandan, mereka bersemadi dan bertapa di Balai Keramat Tiang Lima Bambu Kuning Suak tiga Belas Sungai Belansai yang sekaligus merupakan pusat pertemuan dari seluruh rakyat yang datang dari berbagai pelosok dan daerah Kalimantan Barat.

catatan untuk Pembaca: Mengenai Perlawanan Angkatan Perang Majang Desa selanjutnya akan saya tulis lagi, karena masih panjang sama seperti kisah di Ponegoro dijamin lebih menarik dari itu.

Ironisasi Sosial
Mungkin benar istilah "Arwah para pahlawan murka" karena anak bangsa semakin hari semakin serakah menzolimi uang dan harta kekayaan negara yang semestinya itu untuk kepentingan rakyat banyak, malah di santap sendiri atau secara berkelompok. Belum lagi selesai kasus Suap di BI yang melibatkan besan SBY, sekarang muncul lagi kasus pengadaan dan pemasangan fire alarm di Istana Negara dan Bina Graha dengan nilai kontrak sebesar Rp 12 miliar lebih. http://tv.kompas.com. Uniknya media pun mengemasnya secara bertele-tele dan penyelesaiannyapun bertele-tele sehingga masyarakat dibuat tidak mau lagi menjadi saksi dalam setiap perkara dan pemutusan perkarapun terkesan selalu menguntungkan terdakwa.

Tuesday, 2 September 2008

...Aku ingin menuliskan senja! Tapi sekian kali kucoba, sekian kali pula tak kudapat. Satu kalimat, terhenti, diam lama, dan putus asa
Suatu hari kujalani senja.

Diam menatapnya menghilang berganti gelap malam. Di tanganku selembar kertas dan sebuah pulpen bersih tak bertulis. Senja telah hilang, aku pulang lengang. Di hari yang lain, kutelusuri jalanan senja yang riuh. Hanya angin debu dan asap knalpot yang kutemu.

Sebenarnya aku ingin menuliskan senja dari teras rumah.

Senja yang dingin dan kelabu. Secangkir teh hangat, pot bunga, dan kursi roda, secangkir teh manis yang menemaniku dalam bayangan sore itu.

Gerimis sore menyisakan genangan air mata menetes di pipi namun tak lagi dipedulikan karena diseka pun terus saja mengalir seperti sungai di lembah kerinduan.

Ketika hati mencoba tuk raih seberkas senyum yang hadir dalam benak, namun seketika juga hilang dan pergi.

Rasa tak lagi mengurai kata yang semestinya kuukir di atas kertas putih yang selama ini langka ku nikmati lagi karena berbagai kesibukan.
Sebuah buku usang yang dibalut debu tersandar menangis di pojok ruang kamarku, sengaja kubersihkan sore itu. Ku coba membuka lembaran lama yan kutulis setiap senja.

Seperti ada yang menahan lajunya liran darahku senja itu. Aku mulai membaca lembaran demi lembaran buku usang yang berisi setiap rekaman jalan hidup yang sudah ku tempuh, dalam hatiku selalu timbul sebuah dendam akan kejamnya hati dan hilangnya kasih sayang yang semestinya kunikmati seperti semua orang.

Aku berjuang sendiri dalam gelap sampai matahari pun tak lagi memihakku. Aku menyusuri gurun gersang tak satu pun oase yang datang sembari bersujut meneteskan air kehidupan untuk diriku. Aku pergi dan berkelana sampai pada jalan yang selalu ditumbuhi oleh tajamnya duri ilalang. Ya…tanah itu gersang selagi aku belum mampu menggarapnya.

Tak kan mungkin dapat kulihat hamparan daun hijau yang menghadirkan senyum padaku meski bulan tak lagi bersinar, bintang tak lagi berkelip dan kata tak lagi terlontar dari mulut yang setiap hari mengumbar kedengkian pada diri.

Perlahan kusentuh sebuah halaman yang membawaku pada serpihan kenangan, pada hari-hari kecilku ternyata langkanya untuk mendapatkan sebuah senyum.
Harus lagi ku bertanya siapa yang akan memberi sebuah senyum yang mengakhiri kehausan diriku akan sebuah belaian kasih sayang, sementara padang gersang selalu menungguku untuk siap kutempuh lagi.

Oase yan bertepuk tangan menyaksikan letihnya diriku menyusuri jalan setapak, oase juga bertepuk tangan menyaksikan darah mengalir pada kakiku yang terluka ah..dia tidak mengusapnya seperti Yesus yang diusap wajahnya oleh wanita yang tak ku kenal (Veronika.), ketika menjalani hukuman mati oleh tirani.

Aku terus berjalan menyusuri jalan hati merentang dan menentang mimpi menuju cahaya yang tak ku jumpai selama ini.
Aku seperti manusia yang baru lahir… hanya bisa meneteskan air mata jika lapar, meneteskan air mata saatku akhiri tulisan ini… karena tak kuasa lagi untuk menyibak setiap tetesan peluh…peluh hati yang sudah terasa asin… menetes di sela pori-pori pipi ku…aku buka lagi lembaran itu sembari terus menerawang “aku masih ingin hidup".

Ku seka setiap debu yan membalutnya. Kuletakkan kembali, tak kuasa juga membukanya sampai halaman terakhir, karena justru halam terakhir itu yang menyiksa batinku..Ah…aku malas untuk mengingatnya…Aku benci buku harianku…aku benci semuanya...

Sunday, 3 August 2008

Sebaiknya aku melupakanmu saja
walau waktu yang kau berikan begitu indah untuk ku
namun...
hanya ilusi perasaan
Yang membungkus kemunafikan rasa hatiku
Saat ini...
Harus kulupakan dengan pedih...
Semua waktu yang telah kita ukir
Dalam kenangan senja itu
Di teluk MAK JANTU' aku berlalu dan pergi...
Membawa bayang senjamu...sore itu...
Aku melangkah pergi...
Tak ku pedulikan lagi air matamu yang menetes membasahi pipimu...
Kau tangisi perpisahan ini...
Aku berlalu berlalu meninggalkanmu yang masih tersendu...
Aku tahu...ini semua tentangmu...ya...tentangmu...
Dan...
Tak ku lihat lagi kamu berjalan diatas jembatan itu...
SINKA ISLAND...ah...aku seperti bermimpi sore itu...
kini telah berlalu...
Namun tersisa dalam setiap mimpiku...

Friday, 11 July 2008

Tanggal 5/7, saya ditelpon dari Yoyakarta yang mengatakan ada saudara sakit maag akut, masuk rumah sakit Bethesda, sebuah salah satu rumah sakit terbesar di kota gudeg itu letaknya berhadapan dengan Galeria Mall di Jalan Solo.
Berapa kali saya ditelpon bernada panik. Mengatakan saudara saya sudah sakit sejak malam sebelumnya. Menurut cerita ditelpon, ketika dibawa ke Rumah Sakit PKU Muhammadyah yang tidak jauh daru kawasan Malioboro, dokter yang memeriksa memperbolehkan saudara saya itu pulang Tak tahu kenapa, pagi 5 Juli itu saudara yang kuliah di Universitas Wangsa Manggala jurusan teknologi pertanian itu, muntah-muntah dan setiap diberi makan atau minum selalu dimuntahkan.

Kemudian, ia dibawa temantemannya ke Rumah Sakit Bethesda untuk di cek lab. Saya tidak tahu persis apa itu cek lab, karena saya sebagai orang Dayak tinggal di pedalaman lagi, tidak mengenal apa yang namanya cek lab. Saya lebih mengenal dukun sebagai tabib orang Dayak dalam menyembuhkan penyakit apapun tanpa proses cek lab (diagnosa), karena persyaratan berobat, menurut saya mudah, tanpa mengunakan Askeskin, bersahabat, karena tidak dipersulit kalau kita yang berobat adalah orang tidak mampu secara ekonomi, yang pasti tidak akan di jadikan kelinci percobaan sehingga menimbulkan mala praktek.

Kami Masih Percaya Dukun dan Tanda Alam

Dukun di daerah kami sub suku Dayak Kualan lebih terkenal dibandingkan tenaga medis sekelas dokter sekalipun. Dukun di daerah kami terbagi dua, dukun biasa dan dukun boretn. Dukun biasa melakukan ritual penyembuhan tanpa mengunakan media roh penyembuhan yang di sebut “sobat”, lebih layak disebut sebagai doa permohonan kepada “duata inek-duata akek” (Yang Maha Kuasa) agar bebas dari berbagai ancaman penyakit dan kesialan.

Dukun biasa ini tidak hanya melakukan penyembuhan terhadap penyakit, juga melakukan ritual buang sial, totak buyok, ngareja apet, batanuah, baibu prabini, ngobat podi, ngujet, baibu monta, baibu mosak dan beberapa ritual memohon kesembuhan dan keselamatan dari ancaman bahaya sial karena alam marah. Semua permohonan ritual ditujukan kepada alam semesta dan duata inek-duata akek, kita tahu kalau orang dayak yang tinggal di kampung, lebih dekat dengan alam, mereka lebih percaya dengan tanda-tanda alam yang mereka buat daripada sajian analisa BMG mengenai cuaca. Di Desa Merawa, masyarakat setempat percaya dengan tanda-tanda alam yang ditunjukan langit di sekitar gunung Merawa.

Menurut Lambai 39, pertanda yang ditunjukan Gunung Merawa tidak meleset. Misalnya pertanda akan kelaparan, ditandai adanya nyala api di puncak gunung. Hasil panen akan melimpah, maka intan yang sebesar kambing jantan muncul dan bercahaya pada malam hari. Mengenai cuaca, kalau di sekitar merawa tidak mendung, meskipun daerah lain mendung, maka hujan tidak lama biasanya tidak hujan.

Dukun Boretn, melakukan ritual penyembuhan, ritual permohonan dengan mengunakan media roh gaib yang disebut “sobat" benda itu berupa "komang” (Dayak Kanayatn menyebutnya Kamang). Roh gaib, masuk raga Boretn untuk media penyembuhan. Boretn di daerah kami terbagi tiga aliran. Ada Dewa, Komang Tubak, dan Gobakng, namun yang terakhir sudah jarang digunakan, karena tingkat kesulitan yang cukup tinggi untuk menjadi boretn-nya dan menjadi pelayan (pabayu) boretnya. Boretn Gobakng hanya bisa ditemukan di dusun Nek Rompe. Salah satu dusun yang menjadi wilayah Desa Merawa. Sedangkan Dewa dan Komang Tubak masih sering digunakanan untuk media ritual penyembuhan dan ritual permohonan ampun kepada duata inek dan duata akek, begitu Yang Maha Kuasa sering disebut di sana. Lalu mengapa orang Dayak di daerah kami lebih memilih dukun daripada tenaga medis yang lebih profesional?.

Saya pernah bertanya mengenai hal itu kepada orang Dayak di sana. Ukir 54, mengatakan bahwa, “Berobat pada dukun lebih cepat sembuh dan lebih mengena, penyakitnya langsung bisa diketahui lewat media roh gaib yang biasa disebut sobat yang masuk dalam tubuh dukun tersebut”. Cirink 35, mengatakan”Dukun lebih mudah, tidak banyak persyaratan, lebih bersahabat lagian itu tradisi kita turun temurun”. Cirink, pernah punya pengalaman pahit dengan tenaga medis, saya yang menjadi saksi hidupnyaKetika tahun 2007, anaknya sakit keras, menurut kepercayaan orang kami (Dayak Desa Merawa), Niko 17, anak Cirink, ikut gotong royong memikul kayu belian (ulin) untuk bahan rumah salah satu penduduk di Dusun Kangking.

Jalan yang mereka lalui untuk mengambil kayu tersebut lebih banyak melalui tebing curam dan banyak batu. Mereka iseng menggulingkan sebuah batu besar, batu tersebut tidak sampai ke bawah di bawah ada sungainya. Batu yang digulingkan tersangkut di sebuh pohon besar. Setelah pulang dari gotong royong itu, Niko mendadak sakit dada, beberapa kali pingsan, beberapa kali memanggil tenaga medis, mereka hanya datang dan menyuntikan obat penahan rasa sakit/nyeri sampai beberapa hari, tidak menunjukan tanda kesembuhan. Waktu itu saya berada di sana berlibur.

Keluarga yang sakit minta tolong saya untuk memanggil tenaga medis. Kebetulan yang sakit masih keluarga. Saya ke Kota Kecamatan Balai Berkuak untuk memanggil tenaga medis tersebut. Ada 1 orang bidan, 1 orang Mantri, dan 2 orang Dokter,namun malangnya, dari keempat tenaga medis itu, satupun tidak ada yang bisa padahal mereka santai. Saya memohon kepada kaum borjuis yang kebetulan menangani bidang kesehatan itu, namun mereka meminta pasiennya di bawa ke Puskesmas, biar bisa di diagnosa seraya tertawa-tawa kecil bernada menyepelekan. Menurut saya cukup masuk akal, tenaga medis lupa kalau tempat dia bertugas adalah desa yang belum tersentuh pembangunan infrastuktur, seperti jalan yang memudahkan akses apapun, lagipula pasien tidak bisa naik kendaraan, karena kalau terkena getaran, dadanya sakit. Dua dokter kejam itu tamatan perguruan tinggi ternama di tempat saya studi itu, akhirnya tegas-tegas menolak karena alasan istirahat, sudah sore dan sebagainya, tanpa sedikitpun tersentuh dengan kondisi orang kampung yang sakit.

Saya pulang menyimpan geram, sambil berfikir apakah membakar Puskesmas itu atau mengerahkan massa mendemo mengusir tenaga medis itu keluar dari daerah kami. Namun ah... sudahlah…karena saya tidak tahu sumpah profesi mereka makanya saya diam dan di atas motor yang sudah menderu saya masih berfikir untuk pemberdayaan orang kami, agar jangan sampai dibodohi lagi.

Sampai di kampung, saya menceritakan hal itu ke mereka apa adanya, banyak yang marah, namun masih bisa diredam, ada yang mau melakukan demo dan pembakaran. Sudahlah masih ada dukun, kenapa tidak baboretn saja?” Tanya saya. Untungnya merekapun tanggap dan langsung mempersiapkan peralatan dan mengundang boretn Dewa namanya Tenda 45, dan Semin 60 untuk melakukan ritual tersebut.

Diambil juga dua orang pabayu, Koyai 45 dan Catan 37(tukang tembang) yang barayah (di lengkapi sebuah gendang dan gong, mereka menyanyikan lagu pujian agar boretn bisa kerasukan sobat) mengelilingi taman yang terbuat dari bambu (aur hijau) dihiasi pernak-pernik daun.

Semalam suntuk ritual tersebut dijalankan namun tidak membuat saya mengantuk, sampai menjelang ritual puncak yaitu pencabutan konapm (simbol penyakit yang berhasil diambil dari tubuh pasien dapat berupa ulat, batu, taring dan sebagainya tergantung apa yang menyebabkan si pasien sakit) dari konapm tersebut dapat di tentukan apa yang menyebabkan si pasien sakit.

Rasa penasaran seisi kampung terobati setelah boretn mengatakan bahwa yang menyebabkan Niko sakit dada, karena dia ikut-ikutan menggulingkan batu di curam terjal tempatnya di “siling kek jantung.

Niko terkena “punan” batu tersebut mengenai dada roh halus penunggu Siling Kek Jantun. Sehingga diperintahkanlah dua temannya yang kemarin ikut menggulingkan batu sehingga menyebabkan sakit. Untuk memindahkan batu tersebut sehingga tidak menimpa dada akan roh halus. Setelah dipindahkan, entah karena kebetulan atau apa, Niko mendadak sembuh, seakan-akan tidak pernah sakit, sambil pulang ke rumah saya bergumam fenomena apalagi ini?

Menurut orang Dayak Kualan, rang bisa terkena punan karena, ketika mau bekerja atau bepergian kita tidak jadi makan atau minum padahal sudah ditawarkan atau direncanakan, maka nasi dan sayur harus di colek sebagai simbol “posak” karena kita belum bisa mencicipi hasil alam yang sudah di sajikan tersebut sehingga alam tidak marah dan mencelakai kita. Tradisi tersebut secara turun temurun digunakan.

Mendadak Pulang

Setelah menerima telpon temannya saudara saya yang sakit itu. Saya yang mau menuju ke kantor Tribune Institute di Purnama dalam nomor 02, langsung berbalik arah, kembali ke Siantan. Kebetulan roda depan motor yang saya kendarai bermasalah, saya langsung singgah di dealer kecil untuk menggantikan peralatan motor yang rusak. Sambil menunggu, saya menelpon teman dekat abang sepupu yang kuliah di Universitas Tanjungpura Pontianak jurusan studi Ekonomi Pembangunan. Saya menawarkannya menemani pulang kampung, menyampaikan perihal saudara saya itu. Karena kalau bukan saya siapa lagi.

Kuala Randau, Desa Semandang Hulu, tempat tinggal orang tua saudara saya itu, tidak terjangkau signal ponsel secara menyeluruh. Kalau menyampaikan berita, lewat RRI. Itupun kalau masih pagi dan orang di Kampung meng-online-kan radio-nya. Yang kedua, lewat telpon PASTI. Namun setelah ada ponsel maka PASTI tidak pernah digunakan lagi karena tidak terjangkau oleh dompet kebanyakan orang kampung. Kalau mau menelpon menggunakan HP, mereka harus ke dataran tinggi dekat lapangan bola di kampung itu, baru ada signal Telkomsel, itupun masih byarpet sama seperti listrik kita. Teman dekat abang sepupu bersedia diajak ke kampung.

Saya tidak berprasangka buruk akan hal ini, maklumlah, mungkin pertemuan mereka beberapa hari yang lalu belum cukup mengobati rasa rindu. Saya hanya berfikir dia baik. Mau mengorbankan kendaraannya untuk urusan keluagra kami. Tidak terbayang, kalau saya harus naik ojek, membayar Rp.1.000.000,- ke kampung. Sementara saya belum menghasilkan apa-apa dari kerja saya selama ini, mau pakai uang dari mana?

Saya pergi ke Anjungan Tunai Mandiri (ATM) untuk mengambil sisa tabungan yang semakin menipis. Saya ambil dan telpon dari teman dekat abang sepupu saya itupun berdering. Dia menunggu di rumah dan siap berangkat bersama supranya. Kami berangkat pukul 11.30 dari rumah.

Abang ipar saya sendirian menggunakan motor RX King. Kami masuk di Jalan Tanjung Hulu, menuju ke wilayah kabupaten Ketapang. Singgah sebentar untuk mengisi BBM irek. Perjalanan kami lanjutkan, dengan Road Header-nya aban ipar saya. Sampai di ujung aspal sekitar Desa Pancaroba Sui Ambawang, kami tukaran motor, karena Supra yang saya kendarai membonceng teman dekat abang sepupu saya itu terlalu kuat bergetar, ban belakangnya terlalu kecil, rawan bocor.

Saya tak mau terjadi apa-apa dengan motor pinjaman itu. Jadi saya dengan Abang Ipar saya itu tukaran, dia sendirian menggunakan motor bebek dan saya berboncengan mengunakan RX King.

Kami berjalan menyusuri ruas-ruas yang kadang menimbulkan getaran dan gejolak hati, karena tidak jarang menemukan kendaraan lain berjalan dengan ugal-ugalan, sehingga harus ekstra hati-hati. Kami sempat singgah di bengkel di pinggir jalan ujung Desa Pancaroba, untuk mengencangkan rantai motor yang saya pakai.

N73 Hilang
Sampai di Tayan, kami langsung menuju penyeberangan Piansak. Saya sempat memotret peninggalan sejarah berupa keraton kerajaan Tayan yang mayoritas terbuat dari kayu ulin dan masih berdiri gagah walau sudah ratusan tahun. Sayangnya cagar budaya yang bernuansa melayu dan dianggap sebagai peninggalan sejarah, yang berdiri di tepi Sungai Kapuas tersebut sepi pengunjung dan terkesan kurang terawat.

Saya hanya berfikir, apakah di Tayan orang-orang masih ingat akan sejarah nenek moyangnya. sambil menaiki kapal motor penyeberangan ke Piansak pikiran itu sementara waktu berlalu, walau terbalut rasa penasaran dengan isi dan sejarah Keraton yang malang itu. Saya hanya diam di motor air yang menyeberangkan kami bertiga dan dua buah motor itu.

Abang ipar saya sibuk menelpon koleganya, saya keluar mendekati sepeda motor dan teman dekat abang sepupu saya agar dia bisa memotret saya dia atas motor air. Paling tidak saya pikir moment ini hanya ada di pulau-pulau di luar jawa, karena di jawa sudah mayoritas ditembusi jalan bagus, sungai-sungai besar sudah berjembatan permanen. Itulah fenomena ketimpangan pembangunan negeri ini.

Setelah sampai di Piansak, kami ke darat menunggu sepeda motor kami diturunkan dari motor penyeberangan. Saya melihat abang ipar saya melamun memeluk tiang warung, sepertinya dia tidak sadar kalau di sekitar itu banyak orang yang melihat tingkah lakunya, abang ipar saya yang satu ini memang rada aneh. Jarang saya melihat dia berfikir normal. Saya yang melihat kejadian itu tidak sampai berfikir kalau HP N 73-nya masih ketinggalan di motor air.

Setelah sepeda motor kami ke daratan, kami pun melanjutkan perjalanan menuju kecamatan Simpang Hulu yang akan ditempuh kurang lebih empat jam lagi. Jalannya rusak dan licin. Jalan bagus biasanya hanya ditempuh sekitar dua jam saja ditambah satu jam untuk sampai ke Desa Kuala Randau. Kehilangan N 73 tersebut baru sadar ketika sampai di ujung aspal (bukan Pondok Gede) di desa Lumut Kecamatan Toba, sekitar tiga kilometer dari Piansak. Abang Ipar saya memutuskan kembali dan saya bersama teman dekat abang sepupu saya itu melanjutkan perjalanan menggunakan Supra Fit, kami tukaran lagi.

Hari hampir gelap, ban belakang kami bocor di area perkebunan sawit sekitar kampung Empasi, saya tidak bisa berbuat apa-apa, karena satu alat-pun kami tidak membawa, apalagi ban serap. Kami memaksakan motor kecil itu berjalan dengan kondisi ban belakang bocor. Kami tetap menaikinya, kasihan juga saya pikir, tetapi mau bagaimana lagi, kalau orang yang saya bonceng itu jalan kaki sementara saya naik motor, ginama rasanya, karena kami tidak tahu jarak untuk mencapai bengkel berapa kilometer lagi. Kalau motornya kami tuntun, perjalanan kami menjadi semakin lama, mungkin bisa tengah malam atau bahkan menginap di jalan. Jadi terpaksa motor yang gembos itu kami naikan berdua, dengan tersendat-sendat menempuh jarak sekitar dua kilometer sampailah di warung sekaligus bengkel motor tepat di simpang jalan menuju Desa Nek Ayoh, kecamatan Meliau.

Sambil meminum sebotol Pocary Sweet, saya menatap kebun sawit yang terhampar luas sambil memotret kebun sawit tersebut. Satupun tidak ada yang mengomentari, hanya saja beberapa orang yang ada di warung itu memainkan senapan lantak, bergerombol tidak jauh dari tempat saya memotret, kemudian saya dekati, karena saya juga pecinta senapan tradisional khas Dayak yang sudah digunakan sejak jaman nenek moyang tersebut, paling tidak pada perang Pang Suma melawan Fasisme Jepang tahun 1945. Orang di area kebun sawit tersebut menggunakan senapan lantak untuk membunuh binatang liar seperti babi hutan, dan rusa (menjangan), karena kerap kali ditemui secara sengaja mengganggu tanaman sawit mereka.

Setelah ban motor diganti, teman dekat abang sepupu saya itu membisikan, kalau yang barusan datang menggunakan motor Jupiter MX warna hitam itu adalah teman kami, yang bertugas sebagai mantri kesehatan di Loko desa Kualan Tengah Kecamatan simpang Hulu. Desa Loko terisolasi, jalan darat ke sana ditempuh sekitar tiga jam melewati Tahak, dusun kalam, Uwa, Nek Rompe, Sombok dan simpang ke Loko belum sampai di RT Dangko dibawah bukit Mangilas sejajar dengan Gunung Merawa, wilayah paling ujung desa kelahiran saya, desa Merawa, sementara alternatif lain mudik menyusuri sungai Kualan untuk menuju desa Loko.

Namanya Andre, biasa dipanggil An, sama seperti nama pegawai PPL pertanian yang tinggal dengan orang tua saya di kampung Kangking, yang ketika saya pulang ini belum sempat bertemu, belakangan saya dengar dia ke Ketapang untuk mengambil gaji.

Sekitar dua kilo meter dari desa Kuala Labai, ban belakang motor kami bocor lagi, namun saya tidak tahu pasti apa yang mernyebabkan kebocoran itu, hingga saya harus menukar boncengan saya dengan boncengan Mantri karena lebih ringan. Kami memaksakan motor tersebut berjalan menuju Kuala Labai. Sampai di ujung jembatan ada bengkel yang hampir tutup, maklum hari sudah gelap, namun atas lobi Mantri, bapak punya bengkel mau mengganti ban motor yang saya pakai.

Kemudian, kami melanjutkan perjalanan ke Ibu kota Kecamatan Simpang Hulu, jam 19.30 kami sampai di sana. Mantri dan kawannya melanjutkan perjalanan ke Loko, namun menurut informasi dari mereka, malam itu mereka menonton keramaian yang ada di Mungguk Rasa.

Makan Malam dan Tawaran Politik
Jam 19.30, kami singgah di rumah makan milik mantan supir bus Marus jurusan Pontianak-Balai Berkuak. Bapak yang etnis Tiong Hoa tersebut mengenal saya, jadi kami berdua makan di situ mendapat diskon, namun karena terlalu capek, saya makan sedikit, lapar yang sudah terlalu lama ditahan membuat selera makan hilang. Disebelah rumah makan tersebut, saya lihat banyak bapak-bapak sedang minum kopi, sebagian saya kenal, karena ada yang menjadi teman bapak saya. Saya mendekati mereka dengan alasan meminjam korek api untuk menyalakan rokok L.A. Saya yang belum habis satu bungkus sedari Pontianak.

Mereka kaget dan menanyakan pada saya kapan pulang? Kok baru jam segini sampai di Balai, siapa yang di bawa dan sebagainya. Karena terlalu banyak pertanyaan saya hanya menjawab, “Saya pulang mendadak, karena ada saudara saya yang sakit, dan saya harus memberitahu orang tuanya Agaknya mereka pun tidak begitu peduli dengan apa yang saya katakan, salah satu dari mereka yang sangat saya kenal, mengatakan "Besok 2009, bantu saya untuk mengkoordinir Desa Merawa”.

Saya tanggap, ” Jadi Bapak maju lagi ni?” ujar saya setengah bergurau. “Iya, ini benar-benar ditangani serius, saya harus dapat kursi 2009.” ucap bapak tersebut yang sudah sejak lama saya ketahui bernaung di bawah salah satu parpol terbesar negeri ini. “lha, bukannya anak bapak juga mau maju dari partai lain tahun 2009, nanti bagaimana, kok keluarga pecah gitu, anak bapak tu dekat dengan pejabat parpol di tingkat satu?” sanggah saya lagi "Dia belum bisa, sedekat apapun dia, tidak bisa langsung, mau dapat uang dari mana, dia harus menjadi pengurus dulu, dia harus berpengalaman dulu” jawab bapak itu rada sewot. Saya lihat mukanya memerah "Oke saya siap, tapi bapak bisa bayar berapa dengan saya, saya bisa dengan mudah kampanye di desa saya, dan saya jamin bisa lima puluh persen suara, bagaimana?” tawar saya lagi.
“Kalau bicara masalah uang saya tidak punya, cuma sekarang tergantung merekalah yang mau memilih wakil yang benar-benar memperjuangkan nasib mereka, lihatlah selama ini dewan(DPRD) yang mewakili daerah sini mana ada yang ingat lagi” ujarnya berargumen. Saya pikir ini benar-benar politikus idealis namun konyol, dia tidak berfikir kalau masyarakat butuh makan.

Saya berjalan butuh bensin dan uang saku dan yang dia hadapi adalah masyarakat pedalaman yang mudah terprovokasi, masyarakat pedalaman sangat percaya pada pemimpin, mereka menganggap pemimpin adalah dewa yang dipuja, jadi seharusnya pemimpin Dayak itu serba bisa, bukan sebatas bisa berkoar, tetapi bisa juga merasakan apa yang masyarakatnya rasakan. saya tidak sampai mengatakannya pada bapak itu. Pembicaraan kami hentikan, karena waktu yang tidak mau menunggu lagi. Saya membayar makanan, kami berdua langsung melanjutkan perjalanan menuju Desa Semandang Hulu, yang jarak tempuhnya sekitar dua jam lagi.

Sekitar beberapa menit kami berjalan, tepatnya di ujung kampung Tahak ada sebuah meting panjang. Meting adlah jembatan darurat yang dibuat dari beberapa keping kayu di atas badan jalan becek. Ujung meting tersebut juga becek karena lumpur. Saya tidak tahu kenapa, mungkin karena terlalu capek, atau jalannya memang licin ataupun karena ban luar motor kami polos, sampai di ujung meting yang sudah kami lewati tersebut kami terjatuh dan lumpur pun memenuhi badan kami berdua, untung saja laptob yang di bawa di belakang tidak terbentur, amanlah saya pikir, walaupun lengan kanan saya sampai sekarang agak nyeri.

Saya mengangkat motor tersebut. Dalam kegelapan malam saya lihat ada sesosok laki-laki yang mau menolong, namun cepat saya sergah karena saya tidak mau ketahuan kalau yang jatuh adalah anak Pak Takun dan seorang cewek, kalau saya menampakkan diri pasti beritanya tersebar ke mana-mana karena di kampung Tahak semua orang mengenal saya dengan baik. Dari pada malu, saya cepat-cepat menstarter motor dan langsung pergi. Sambil berjalan saya menanyakan pada teman dekat abang sepupu saya itu, ternyata dia mengatakan tidak apa-apa, sayapun lega dan tenang melanjutkan perjalanan meski hanya diterangi lampu motor yang pas-pasan.

Hampir Kehabisan Bensin Sampai di Dusun Langkar Desa Balai Pinang, ada jalan becek, saya pun berfikir, berarti ini mandi lumpur lagi. Ternyata di sisi sebelah kiri ada jalan kering, saya melewati jalan itu, tetapi saya lihat ada motor yang jatuh ke kubangan tengah jalan. Setelah saya dekati dan saya sorot dengan lampu motor ternyata seorang bapak yang tidak bisa mengangkat motornya ke atas jalan, karena terjatuh ke kubangan.

Sayapun turun dan membantu bapak yang malang tersebut, lalu saya bertanya dalam bahasa Dayak Kualan yang sudah di terjemahkan
“Mau kemana?” sebentar bapak tersebut melihat ke arah saya “Oh, kamu hen, dari mana, ini saya tadi dari tempat teman yang meminjam uang sama saya tadi malam, janjinya uang tersebut bisa saya ambil di rumahnya di Balai Berkuak, ternyata sampai di sana dianya tidak ada” jelas bapak itu setengah mengomel.
“Oooh...gitukah” jawab saya.

Sambil melihat kondisi motornya yang kurang layak untuk dikendarai di medan seperti itu malam hari. Karena selain kondisi motornya yang memprihatinkan, lampu depannya hanya menggunakan lampu senter (batrai yang diikat dengan potongan ban dalam motor di sebelah kiri stang).

Belum lagi selesai berbicara, mata saya secara tidak sengaja tertuju pada spedo meter motor yang saya kendarai menandakan BBM kami akan habis. Saya mencari BBM di kampung itu, karena sudah malam tidak ada yang buka, seorang laki-laki tua yang tidak saya kenal, namun beliau cukup mengenal saya dari bapak, menganjurkan kami untuk menggedor pintu rumah Pak Dasi, teman akrab bapak, sayapun langsung menuju ke tempat itu di sebelah kiri jalan dari arah Balai Berkuak, pintupun dibukakan, lalu saya ingat pada salah satu ini kitab suci “ketuklah maka kamu akan dibukakan”. Pak Dasi kaget dan menanyakan kenapa saya datang malam-malam dan mau kemana. Saya menjawab “mau ke Kuala Randau, tolong bensin kami diisi, ini kami kehabisan bensin.

Pak Dasi yang sudah kenal baik tersebut, langsung mengambil jirigen dua puluh liter dan menakarnya dalam literan kemudian mengisinya dalam tangki motor.
“Dua Liter cukup" kemudian saya mengeluarkan uang pecahan dua puluh ribuan untuk membayar bensin itu tanpa kembalian, karena bensin tersebut perliternya sepuluh ribu rupiah. Setelah mengucapkan terima kasih kami berduapun melanjutkan perjalanan menuju Kuala Randau.

Pertengkaran Kecil yang Tak ku Pedulikan
Setelah menempuh perjalanan yang begitu melelahkan, sampailah kami di Desa Kuala Randau, jam 21.30. Dengan penuh lumpur saya langsung masuk ke rumah, sayup-sayup saya dengan musik di rumah, tetapi setelah saya datang volumenya pun di kecilkan. Mereka kaget karena yang saya bawa adalah teman dekat abang sepupu saya. Dalam hati saya berbisik, jangan sampai ada masalah ke dua lagi. Belum lama abang ipar saya yang kehilangan N 73-nya sampai juga, dia langsung menggeleng kepala yang mengisyaratkan kalau HP kesayangannya itu tidak ditemukan.

“Sudahlah itu rejeki orang” ucap saya, sepertinya dia belum percaya dengan keadaan ini, namun segera berlalu setelah kami membersihkan diri dan motor saya naikan ke rumah. Menjelang istirahat, saya tidak peduli lagi apa yang diperdebatkan oleh abang sepupu saya dengan teman dekatnya itu, belakangan saya mendapat bocoran, ternyata abang sepupu saya yang rada posesif itu mengetahui nomor mantan kekasih teman dekatnya itu, kemudian iseng-iseng ditelpon, lucunya lagi, yan satu mengaku bapaknya dan mantannya itu mengaku pacarnya, sehingga tersulutlah pertengkaran diantara mereka, berdua.

Tanpa memikirkan teman dekatnya yang baru datang dan capek, abang sepupu saya itupun marah-marah dan mencari hiburan sendiri.

Sejarah Kek Pateh Bangi yang Masih Gelap

Tangal 7 Juli 2008 sebenarnya saya ingin pulang ke Pontianak, karena saya janji akan menyelesaikan tugas saya untuk mengurus surat ijin Trinbune Institute di Diknas Propinsi. Namun niat itu saya urungkan, saya pikir mumpung pulang kampung, saya ingin memotret benda-benda peninggalan nenek moyang saya diantaranya Keramat Buang Pateh Bangi yang terletak di dusun Mengkaka Desa Merawa, Bersama keponakan saya pergi ke sana menggunakan motor adik angkat saya, saya ingin bertemu dengan Kek Ongkon, satu-satunya orang tua yan menguasai silsilah Kek Pateh Bangi.

Menurut sejarahnya Kek Pateh Bangi memiliki beberapa saudara seperti: Ria Niti, Pateh Jurang, Ria Nantang, Pateh Ubai, Ria Tlosai, Pateh Buntal, Domong Sudek, Mayang Tebu, Burai Bunsu. Merekalah cikal bakal Desa Sembilan Domong Sepuloh. Mereka adalah Domong Adat, yang masih akan ditelusuri lebih lanjut.

Hari itu saya tidak bertemu dengan Kek Ongkon, kami hanya memotret Kuburan Kek Pateh Bangi dan Sandong Beruang kek Pateh Bangi yang diperbaharui tahun 2000 oleh Panglima Burung.

Legenda yang hilang

Menurut legendanya, Kek Pateh Bangi memiliki seekor beruang yang sangat jinak, karena jinaknya beruang tersebut, sering menjilat siapa saja yang datang ke rumah Kek Pateh Bangi. Beruang tersebut merupakan “sobat” atau kawan gaib Kek Pateh Bangi, sama siapapun dia jinak, kecuali kalau sama orang yang ingin memusuhi Kek Pateh Bangi dan keluarga. Suatu hari, istri Kek Pateh Bangi dirumah, beruang yang sudah jinak tersebut menjilat-jilat istri Kek Pateh Bangi, ketika itu Istri Kek Pateh Bangi memegang keladi (talas), talas tersebut secara tidak sengaja menyentuh kepala Beruang kesayangan Kek Pateh Bangi ketika istri Kek Pateh Bangi bermaksud membalikan badan ke arah Beruang malang itu.

Kemudian matilah beruang tersebut, karena sangat sayangnya Kek Pateh Bangi dengan beruangnya, maka dibuatlah sandong( semestinya untuk manusia Dayak sekelas Domong adat, Pateh atau Rang Kaya yang sudah meninggal) sebagai kuburan beruang. Tepat di samping sandong tersebut dimakamkan juga Kek Pateh Bangi, anda bisa melihatnya di Dusun Mengkaka.

Malam Yang Langka

Semula, saya hanya ingin ngobrol dengan bapak saja, mengenai pengetahuan adat istiadat Dayak Kualan, namun beberapa orang tua hadir di rumah kami ikut juga menjelaskan mengenai seluk-beluk adat istiadat, menjelaskan silsilah kami dari awal. Ternyata saya adalah keturunan Kek Jajang yang merupakan Domong di Kangking juga. Kek Jajang menikah dengan Nek Ronai orang dari Desa Legong, sebuah desa yang belum lama dimekarkan dari Semandang Hulu.

Dulu ketika Kek Jajang tinggal di Legong, dia hampir dibunuh oleh mertuanya dengan cara mendorongnya dari atas pohon kayu madu ketika mereka “muar”, untungnya nasib baik masih berpihak pada Kek Jajang, sehingga ada sebuah gundukan kayu yang menyelamatkan Kek Jajang dari maut, karena apabila jatuh maka batu-batu cadas di bawah kayu madu tersebut akan menghantam seluruh badan Kek Jajang, karena tidak mau menanggung resiko dibenci tanpa sebab oleh mertua, maka Kek Jajang membawa serta Nek Ronai pulang ke Kampung Lompam (Kangking sekarang) dari situlah keturunan orang-orang kangking, termasuk saya.

Sekitar tahun 1980-an di Kampung Lompam ada rumah betang yang sangat panjang, namun seiring waktu berjalan, semua itu hilang, seiring semakin individualisnya masyarakat. Malam itu juga saya mendapat banyak ilmu baru, karena saya rasa sama seperti kuliah namun di perkuliahan dulu saya tidak mendapat ilmu kearifan lokal seperti ini, semua tentang sejarah orang luar, sehingga kami terkesan menghilangkan identitas kedayakan dalam diri kami. Namun sekarang saya baru mengerti, banyak sekali yang harus saya kerjakan, mengembalikan identitas dayak yang hampir hilang ditelan jaman, salah satunya dengan melestarikan dan mendokumentasikan kearifan lokal yang tidak kalah menariknya dibandingkan dengan daerah dan suku lain di negeri heterogen ini.

Saya Pulang ke Pontianak dengan Pesimisme

8 Juli 2008, hilang sudah cerita untuk mengurus saudara saya yang sakit di Yogyakarta, hati saya berkecamuk, antara mau bertahan di kampung yan haus akan terbangunnya identitas, sementara orang-orang tua yang berpengetahuan di bidang itu semakin punah seiring bertambahnya umur, sepengetahuan saya, belum ada yang betul-betul bisa menguasai seluk-beluk adat-istiadat kami yang agung dulu, hampir semuanya seperti pecahan-pecahan botol yang sulit untuk di satukan, kalau tidak ada kemauan kepedulian dan kerja keras.

06.30 saya menaiki motor Vega R yang mengantar saya ke Piansak untuk kembali ke Pontianak, pikiran saya masih berkecamuk, siapa teman saya yang akan melakukan pelestarian tradisi ini dari kepunahan?.

Pontianak, 11 Juli 2008.