Friday, 11 July 2008

Tanggal 5/7, saya ditelpon dari Yoyakarta yang mengatakan ada saudara sakit maag akut, masuk rumah sakit Bethesda, sebuah salah satu rumah sakit terbesar di kota gudeg itu letaknya berhadapan dengan Galeria Mall di Jalan Solo.
Berapa kali saya ditelpon bernada panik. Mengatakan saudara saya sudah sakit sejak malam sebelumnya. Menurut cerita ditelpon, ketika dibawa ke Rumah Sakit PKU Muhammadyah yang tidak jauh daru kawasan Malioboro, dokter yang memeriksa memperbolehkan saudara saya itu pulang Tak tahu kenapa, pagi 5 Juli itu saudara yang kuliah di Universitas Wangsa Manggala jurusan teknologi pertanian itu, muntah-muntah dan setiap diberi makan atau minum selalu dimuntahkan.

Kemudian, ia dibawa temantemannya ke Rumah Sakit Bethesda untuk di cek lab. Saya tidak tahu persis apa itu cek lab, karena saya sebagai orang Dayak tinggal di pedalaman lagi, tidak mengenal apa yang namanya cek lab. Saya lebih mengenal dukun sebagai tabib orang Dayak dalam menyembuhkan penyakit apapun tanpa proses cek lab (diagnosa), karena persyaratan berobat, menurut saya mudah, tanpa mengunakan Askeskin, bersahabat, karena tidak dipersulit kalau kita yang berobat adalah orang tidak mampu secara ekonomi, yang pasti tidak akan di jadikan kelinci percobaan sehingga menimbulkan mala praktek.

Kami Masih Percaya Dukun dan Tanda Alam

Dukun di daerah kami sub suku Dayak Kualan lebih terkenal dibandingkan tenaga medis sekelas dokter sekalipun. Dukun di daerah kami terbagi dua, dukun biasa dan dukun boretn. Dukun biasa melakukan ritual penyembuhan tanpa mengunakan media roh penyembuhan yang di sebut “sobat”, lebih layak disebut sebagai doa permohonan kepada “duata inek-duata akek” (Yang Maha Kuasa) agar bebas dari berbagai ancaman penyakit dan kesialan.

Dukun biasa ini tidak hanya melakukan penyembuhan terhadap penyakit, juga melakukan ritual buang sial, totak buyok, ngareja apet, batanuah, baibu prabini, ngobat podi, ngujet, baibu monta, baibu mosak dan beberapa ritual memohon kesembuhan dan keselamatan dari ancaman bahaya sial karena alam marah. Semua permohonan ritual ditujukan kepada alam semesta dan duata inek-duata akek, kita tahu kalau orang dayak yang tinggal di kampung, lebih dekat dengan alam, mereka lebih percaya dengan tanda-tanda alam yang mereka buat daripada sajian analisa BMG mengenai cuaca. Di Desa Merawa, masyarakat setempat percaya dengan tanda-tanda alam yang ditunjukan langit di sekitar gunung Merawa.

Menurut Lambai 39, pertanda yang ditunjukan Gunung Merawa tidak meleset. Misalnya pertanda akan kelaparan, ditandai adanya nyala api di puncak gunung. Hasil panen akan melimpah, maka intan yang sebesar kambing jantan muncul dan bercahaya pada malam hari. Mengenai cuaca, kalau di sekitar merawa tidak mendung, meskipun daerah lain mendung, maka hujan tidak lama biasanya tidak hujan.

Dukun Boretn, melakukan ritual penyembuhan, ritual permohonan dengan mengunakan media roh gaib yang disebut “sobat" benda itu berupa "komang” (Dayak Kanayatn menyebutnya Kamang). Roh gaib, masuk raga Boretn untuk media penyembuhan. Boretn di daerah kami terbagi tiga aliran. Ada Dewa, Komang Tubak, dan Gobakng, namun yang terakhir sudah jarang digunakan, karena tingkat kesulitan yang cukup tinggi untuk menjadi boretn-nya dan menjadi pelayan (pabayu) boretnya. Boretn Gobakng hanya bisa ditemukan di dusun Nek Rompe. Salah satu dusun yang menjadi wilayah Desa Merawa. Sedangkan Dewa dan Komang Tubak masih sering digunakanan untuk media ritual penyembuhan dan ritual permohonan ampun kepada duata inek dan duata akek, begitu Yang Maha Kuasa sering disebut di sana. Lalu mengapa orang Dayak di daerah kami lebih memilih dukun daripada tenaga medis yang lebih profesional?.

Saya pernah bertanya mengenai hal itu kepada orang Dayak di sana. Ukir 54, mengatakan bahwa, “Berobat pada dukun lebih cepat sembuh dan lebih mengena, penyakitnya langsung bisa diketahui lewat media roh gaib yang biasa disebut sobat yang masuk dalam tubuh dukun tersebut”. Cirink 35, mengatakan”Dukun lebih mudah, tidak banyak persyaratan, lebih bersahabat lagian itu tradisi kita turun temurun”. Cirink, pernah punya pengalaman pahit dengan tenaga medis, saya yang menjadi saksi hidupnyaKetika tahun 2007, anaknya sakit keras, menurut kepercayaan orang kami (Dayak Desa Merawa), Niko 17, anak Cirink, ikut gotong royong memikul kayu belian (ulin) untuk bahan rumah salah satu penduduk di Dusun Kangking.

Jalan yang mereka lalui untuk mengambil kayu tersebut lebih banyak melalui tebing curam dan banyak batu. Mereka iseng menggulingkan sebuah batu besar, batu tersebut tidak sampai ke bawah di bawah ada sungainya. Batu yang digulingkan tersangkut di sebuh pohon besar. Setelah pulang dari gotong royong itu, Niko mendadak sakit dada, beberapa kali pingsan, beberapa kali memanggil tenaga medis, mereka hanya datang dan menyuntikan obat penahan rasa sakit/nyeri sampai beberapa hari, tidak menunjukan tanda kesembuhan. Waktu itu saya berada di sana berlibur.

Keluarga yang sakit minta tolong saya untuk memanggil tenaga medis. Kebetulan yang sakit masih keluarga. Saya ke Kota Kecamatan Balai Berkuak untuk memanggil tenaga medis tersebut. Ada 1 orang bidan, 1 orang Mantri, dan 2 orang Dokter,namun malangnya, dari keempat tenaga medis itu, satupun tidak ada yang bisa padahal mereka santai. Saya memohon kepada kaum borjuis yang kebetulan menangani bidang kesehatan itu, namun mereka meminta pasiennya di bawa ke Puskesmas, biar bisa di diagnosa seraya tertawa-tawa kecil bernada menyepelekan. Menurut saya cukup masuk akal, tenaga medis lupa kalau tempat dia bertugas adalah desa yang belum tersentuh pembangunan infrastuktur, seperti jalan yang memudahkan akses apapun, lagipula pasien tidak bisa naik kendaraan, karena kalau terkena getaran, dadanya sakit. Dua dokter kejam itu tamatan perguruan tinggi ternama di tempat saya studi itu, akhirnya tegas-tegas menolak karena alasan istirahat, sudah sore dan sebagainya, tanpa sedikitpun tersentuh dengan kondisi orang kampung yang sakit.

Saya pulang menyimpan geram, sambil berfikir apakah membakar Puskesmas itu atau mengerahkan massa mendemo mengusir tenaga medis itu keluar dari daerah kami. Namun ah... sudahlah…karena saya tidak tahu sumpah profesi mereka makanya saya diam dan di atas motor yang sudah menderu saya masih berfikir untuk pemberdayaan orang kami, agar jangan sampai dibodohi lagi.

Sampai di kampung, saya menceritakan hal itu ke mereka apa adanya, banyak yang marah, namun masih bisa diredam, ada yang mau melakukan demo dan pembakaran. Sudahlah masih ada dukun, kenapa tidak baboretn saja?” Tanya saya. Untungnya merekapun tanggap dan langsung mempersiapkan peralatan dan mengundang boretn Dewa namanya Tenda 45, dan Semin 60 untuk melakukan ritual tersebut.

Diambil juga dua orang pabayu, Koyai 45 dan Catan 37(tukang tembang) yang barayah (di lengkapi sebuah gendang dan gong, mereka menyanyikan lagu pujian agar boretn bisa kerasukan sobat) mengelilingi taman yang terbuat dari bambu (aur hijau) dihiasi pernak-pernik daun.

Semalam suntuk ritual tersebut dijalankan namun tidak membuat saya mengantuk, sampai menjelang ritual puncak yaitu pencabutan konapm (simbol penyakit yang berhasil diambil dari tubuh pasien dapat berupa ulat, batu, taring dan sebagainya tergantung apa yang menyebabkan si pasien sakit) dari konapm tersebut dapat di tentukan apa yang menyebabkan si pasien sakit.

Rasa penasaran seisi kampung terobati setelah boretn mengatakan bahwa yang menyebabkan Niko sakit dada, karena dia ikut-ikutan menggulingkan batu di curam terjal tempatnya di “siling kek jantung.

Niko terkena “punan” batu tersebut mengenai dada roh halus penunggu Siling Kek Jantun. Sehingga diperintahkanlah dua temannya yang kemarin ikut menggulingkan batu sehingga menyebabkan sakit. Untuk memindahkan batu tersebut sehingga tidak menimpa dada akan roh halus. Setelah dipindahkan, entah karena kebetulan atau apa, Niko mendadak sembuh, seakan-akan tidak pernah sakit, sambil pulang ke rumah saya bergumam fenomena apalagi ini?

Menurut orang Dayak Kualan, rang bisa terkena punan karena, ketika mau bekerja atau bepergian kita tidak jadi makan atau minum padahal sudah ditawarkan atau direncanakan, maka nasi dan sayur harus di colek sebagai simbol “posak” karena kita belum bisa mencicipi hasil alam yang sudah di sajikan tersebut sehingga alam tidak marah dan mencelakai kita. Tradisi tersebut secara turun temurun digunakan.

Mendadak Pulang

Setelah menerima telpon temannya saudara saya yang sakit itu. Saya yang mau menuju ke kantor Tribune Institute di Purnama dalam nomor 02, langsung berbalik arah, kembali ke Siantan. Kebetulan roda depan motor yang saya kendarai bermasalah, saya langsung singgah di dealer kecil untuk menggantikan peralatan motor yang rusak. Sambil menunggu, saya menelpon teman dekat abang sepupu yang kuliah di Universitas Tanjungpura Pontianak jurusan studi Ekonomi Pembangunan. Saya menawarkannya menemani pulang kampung, menyampaikan perihal saudara saya itu. Karena kalau bukan saya siapa lagi.

Kuala Randau, Desa Semandang Hulu, tempat tinggal orang tua saudara saya itu, tidak terjangkau signal ponsel secara menyeluruh. Kalau menyampaikan berita, lewat RRI. Itupun kalau masih pagi dan orang di Kampung meng-online-kan radio-nya. Yang kedua, lewat telpon PASTI. Namun setelah ada ponsel maka PASTI tidak pernah digunakan lagi karena tidak terjangkau oleh dompet kebanyakan orang kampung. Kalau mau menelpon menggunakan HP, mereka harus ke dataran tinggi dekat lapangan bola di kampung itu, baru ada signal Telkomsel, itupun masih byarpet sama seperti listrik kita. Teman dekat abang sepupu bersedia diajak ke kampung.

Saya tidak berprasangka buruk akan hal ini, maklumlah, mungkin pertemuan mereka beberapa hari yang lalu belum cukup mengobati rasa rindu. Saya hanya berfikir dia baik. Mau mengorbankan kendaraannya untuk urusan keluagra kami. Tidak terbayang, kalau saya harus naik ojek, membayar Rp.1.000.000,- ke kampung. Sementara saya belum menghasilkan apa-apa dari kerja saya selama ini, mau pakai uang dari mana?

Saya pergi ke Anjungan Tunai Mandiri (ATM) untuk mengambil sisa tabungan yang semakin menipis. Saya ambil dan telpon dari teman dekat abang sepupu saya itupun berdering. Dia menunggu di rumah dan siap berangkat bersama supranya. Kami berangkat pukul 11.30 dari rumah.

Abang ipar saya sendirian menggunakan motor RX King. Kami masuk di Jalan Tanjung Hulu, menuju ke wilayah kabupaten Ketapang. Singgah sebentar untuk mengisi BBM irek. Perjalanan kami lanjutkan, dengan Road Header-nya aban ipar saya. Sampai di ujung aspal sekitar Desa Pancaroba Sui Ambawang, kami tukaran motor, karena Supra yang saya kendarai membonceng teman dekat abang sepupu saya itu terlalu kuat bergetar, ban belakangnya terlalu kecil, rawan bocor.

Saya tak mau terjadi apa-apa dengan motor pinjaman itu. Jadi saya dengan Abang Ipar saya itu tukaran, dia sendirian menggunakan motor bebek dan saya berboncengan mengunakan RX King.

Kami berjalan menyusuri ruas-ruas yang kadang menimbulkan getaran dan gejolak hati, karena tidak jarang menemukan kendaraan lain berjalan dengan ugal-ugalan, sehingga harus ekstra hati-hati. Kami sempat singgah di bengkel di pinggir jalan ujung Desa Pancaroba, untuk mengencangkan rantai motor yang saya pakai.

N73 Hilang
Sampai di Tayan, kami langsung menuju penyeberangan Piansak. Saya sempat memotret peninggalan sejarah berupa keraton kerajaan Tayan yang mayoritas terbuat dari kayu ulin dan masih berdiri gagah walau sudah ratusan tahun. Sayangnya cagar budaya yang bernuansa melayu dan dianggap sebagai peninggalan sejarah, yang berdiri di tepi Sungai Kapuas tersebut sepi pengunjung dan terkesan kurang terawat.

Saya hanya berfikir, apakah di Tayan orang-orang masih ingat akan sejarah nenek moyangnya. sambil menaiki kapal motor penyeberangan ke Piansak pikiran itu sementara waktu berlalu, walau terbalut rasa penasaran dengan isi dan sejarah Keraton yang malang itu. Saya hanya diam di motor air yang menyeberangkan kami bertiga dan dua buah motor itu.

Abang ipar saya sibuk menelpon koleganya, saya keluar mendekati sepeda motor dan teman dekat abang sepupu saya agar dia bisa memotret saya dia atas motor air. Paling tidak saya pikir moment ini hanya ada di pulau-pulau di luar jawa, karena di jawa sudah mayoritas ditembusi jalan bagus, sungai-sungai besar sudah berjembatan permanen. Itulah fenomena ketimpangan pembangunan negeri ini.

Setelah sampai di Piansak, kami ke darat menunggu sepeda motor kami diturunkan dari motor penyeberangan. Saya melihat abang ipar saya melamun memeluk tiang warung, sepertinya dia tidak sadar kalau di sekitar itu banyak orang yang melihat tingkah lakunya, abang ipar saya yang satu ini memang rada aneh. Jarang saya melihat dia berfikir normal. Saya yang melihat kejadian itu tidak sampai berfikir kalau HP N 73-nya masih ketinggalan di motor air.

Setelah sepeda motor kami ke daratan, kami pun melanjutkan perjalanan menuju kecamatan Simpang Hulu yang akan ditempuh kurang lebih empat jam lagi. Jalannya rusak dan licin. Jalan bagus biasanya hanya ditempuh sekitar dua jam saja ditambah satu jam untuk sampai ke Desa Kuala Randau. Kehilangan N 73 tersebut baru sadar ketika sampai di ujung aspal (bukan Pondok Gede) di desa Lumut Kecamatan Toba, sekitar tiga kilometer dari Piansak. Abang Ipar saya memutuskan kembali dan saya bersama teman dekat abang sepupu saya itu melanjutkan perjalanan menggunakan Supra Fit, kami tukaran lagi.

Hari hampir gelap, ban belakang kami bocor di area perkebunan sawit sekitar kampung Empasi, saya tidak bisa berbuat apa-apa, karena satu alat-pun kami tidak membawa, apalagi ban serap. Kami memaksakan motor kecil itu berjalan dengan kondisi ban belakang bocor. Kami tetap menaikinya, kasihan juga saya pikir, tetapi mau bagaimana lagi, kalau orang yang saya bonceng itu jalan kaki sementara saya naik motor, ginama rasanya, karena kami tidak tahu jarak untuk mencapai bengkel berapa kilometer lagi. Kalau motornya kami tuntun, perjalanan kami menjadi semakin lama, mungkin bisa tengah malam atau bahkan menginap di jalan. Jadi terpaksa motor yang gembos itu kami naikan berdua, dengan tersendat-sendat menempuh jarak sekitar dua kilometer sampailah di warung sekaligus bengkel motor tepat di simpang jalan menuju Desa Nek Ayoh, kecamatan Meliau.

Sambil meminum sebotol Pocary Sweet, saya menatap kebun sawit yang terhampar luas sambil memotret kebun sawit tersebut. Satupun tidak ada yang mengomentari, hanya saja beberapa orang yang ada di warung itu memainkan senapan lantak, bergerombol tidak jauh dari tempat saya memotret, kemudian saya dekati, karena saya juga pecinta senapan tradisional khas Dayak yang sudah digunakan sejak jaman nenek moyang tersebut, paling tidak pada perang Pang Suma melawan Fasisme Jepang tahun 1945. Orang di area kebun sawit tersebut menggunakan senapan lantak untuk membunuh binatang liar seperti babi hutan, dan rusa (menjangan), karena kerap kali ditemui secara sengaja mengganggu tanaman sawit mereka.

Setelah ban motor diganti, teman dekat abang sepupu saya itu membisikan, kalau yang barusan datang menggunakan motor Jupiter MX warna hitam itu adalah teman kami, yang bertugas sebagai mantri kesehatan di Loko desa Kualan Tengah Kecamatan simpang Hulu. Desa Loko terisolasi, jalan darat ke sana ditempuh sekitar tiga jam melewati Tahak, dusun kalam, Uwa, Nek Rompe, Sombok dan simpang ke Loko belum sampai di RT Dangko dibawah bukit Mangilas sejajar dengan Gunung Merawa, wilayah paling ujung desa kelahiran saya, desa Merawa, sementara alternatif lain mudik menyusuri sungai Kualan untuk menuju desa Loko.

Namanya Andre, biasa dipanggil An, sama seperti nama pegawai PPL pertanian yang tinggal dengan orang tua saya di kampung Kangking, yang ketika saya pulang ini belum sempat bertemu, belakangan saya dengar dia ke Ketapang untuk mengambil gaji.

Sekitar dua kilo meter dari desa Kuala Labai, ban belakang motor kami bocor lagi, namun saya tidak tahu pasti apa yang mernyebabkan kebocoran itu, hingga saya harus menukar boncengan saya dengan boncengan Mantri karena lebih ringan. Kami memaksakan motor tersebut berjalan menuju Kuala Labai. Sampai di ujung jembatan ada bengkel yang hampir tutup, maklum hari sudah gelap, namun atas lobi Mantri, bapak punya bengkel mau mengganti ban motor yang saya pakai.

Kemudian, kami melanjutkan perjalanan ke Ibu kota Kecamatan Simpang Hulu, jam 19.30 kami sampai di sana. Mantri dan kawannya melanjutkan perjalanan ke Loko, namun menurut informasi dari mereka, malam itu mereka menonton keramaian yang ada di Mungguk Rasa.

Makan Malam dan Tawaran Politik
Jam 19.30, kami singgah di rumah makan milik mantan supir bus Marus jurusan Pontianak-Balai Berkuak. Bapak yang etnis Tiong Hoa tersebut mengenal saya, jadi kami berdua makan di situ mendapat diskon, namun karena terlalu capek, saya makan sedikit, lapar yang sudah terlalu lama ditahan membuat selera makan hilang. Disebelah rumah makan tersebut, saya lihat banyak bapak-bapak sedang minum kopi, sebagian saya kenal, karena ada yang menjadi teman bapak saya. Saya mendekati mereka dengan alasan meminjam korek api untuk menyalakan rokok L.A. Saya yang belum habis satu bungkus sedari Pontianak.

Mereka kaget dan menanyakan pada saya kapan pulang? Kok baru jam segini sampai di Balai, siapa yang di bawa dan sebagainya. Karena terlalu banyak pertanyaan saya hanya menjawab, “Saya pulang mendadak, karena ada saudara saya yang sakit, dan saya harus memberitahu orang tuanya Agaknya mereka pun tidak begitu peduli dengan apa yang saya katakan, salah satu dari mereka yang sangat saya kenal, mengatakan "Besok 2009, bantu saya untuk mengkoordinir Desa Merawa”.

Saya tanggap, ” Jadi Bapak maju lagi ni?” ujar saya setengah bergurau. “Iya, ini benar-benar ditangani serius, saya harus dapat kursi 2009.” ucap bapak tersebut yang sudah sejak lama saya ketahui bernaung di bawah salah satu parpol terbesar negeri ini. “lha, bukannya anak bapak juga mau maju dari partai lain tahun 2009, nanti bagaimana, kok keluarga pecah gitu, anak bapak tu dekat dengan pejabat parpol di tingkat satu?” sanggah saya lagi "Dia belum bisa, sedekat apapun dia, tidak bisa langsung, mau dapat uang dari mana, dia harus menjadi pengurus dulu, dia harus berpengalaman dulu” jawab bapak itu rada sewot. Saya lihat mukanya memerah "Oke saya siap, tapi bapak bisa bayar berapa dengan saya, saya bisa dengan mudah kampanye di desa saya, dan saya jamin bisa lima puluh persen suara, bagaimana?” tawar saya lagi.
“Kalau bicara masalah uang saya tidak punya, cuma sekarang tergantung merekalah yang mau memilih wakil yang benar-benar memperjuangkan nasib mereka, lihatlah selama ini dewan(DPRD) yang mewakili daerah sini mana ada yang ingat lagi” ujarnya berargumen. Saya pikir ini benar-benar politikus idealis namun konyol, dia tidak berfikir kalau masyarakat butuh makan.

Saya berjalan butuh bensin dan uang saku dan yang dia hadapi adalah masyarakat pedalaman yang mudah terprovokasi, masyarakat pedalaman sangat percaya pada pemimpin, mereka menganggap pemimpin adalah dewa yang dipuja, jadi seharusnya pemimpin Dayak itu serba bisa, bukan sebatas bisa berkoar, tetapi bisa juga merasakan apa yang masyarakatnya rasakan. saya tidak sampai mengatakannya pada bapak itu. Pembicaraan kami hentikan, karena waktu yang tidak mau menunggu lagi. Saya membayar makanan, kami berdua langsung melanjutkan perjalanan menuju Desa Semandang Hulu, yang jarak tempuhnya sekitar dua jam lagi.

Sekitar beberapa menit kami berjalan, tepatnya di ujung kampung Tahak ada sebuah meting panjang. Meting adlah jembatan darurat yang dibuat dari beberapa keping kayu di atas badan jalan becek. Ujung meting tersebut juga becek karena lumpur. Saya tidak tahu kenapa, mungkin karena terlalu capek, atau jalannya memang licin ataupun karena ban luar motor kami polos, sampai di ujung meting yang sudah kami lewati tersebut kami terjatuh dan lumpur pun memenuhi badan kami berdua, untung saja laptob yang di bawa di belakang tidak terbentur, amanlah saya pikir, walaupun lengan kanan saya sampai sekarang agak nyeri.

Saya mengangkat motor tersebut. Dalam kegelapan malam saya lihat ada sesosok laki-laki yang mau menolong, namun cepat saya sergah karena saya tidak mau ketahuan kalau yang jatuh adalah anak Pak Takun dan seorang cewek, kalau saya menampakkan diri pasti beritanya tersebar ke mana-mana karena di kampung Tahak semua orang mengenal saya dengan baik. Dari pada malu, saya cepat-cepat menstarter motor dan langsung pergi. Sambil berjalan saya menanyakan pada teman dekat abang sepupu saya itu, ternyata dia mengatakan tidak apa-apa, sayapun lega dan tenang melanjutkan perjalanan meski hanya diterangi lampu motor yang pas-pasan.

Hampir Kehabisan Bensin Sampai di Dusun Langkar Desa Balai Pinang, ada jalan becek, saya pun berfikir, berarti ini mandi lumpur lagi. Ternyata di sisi sebelah kiri ada jalan kering, saya melewati jalan itu, tetapi saya lihat ada motor yang jatuh ke kubangan tengah jalan. Setelah saya dekati dan saya sorot dengan lampu motor ternyata seorang bapak yang tidak bisa mengangkat motornya ke atas jalan, karena terjatuh ke kubangan.

Sayapun turun dan membantu bapak yang malang tersebut, lalu saya bertanya dalam bahasa Dayak Kualan yang sudah di terjemahkan
“Mau kemana?” sebentar bapak tersebut melihat ke arah saya “Oh, kamu hen, dari mana, ini saya tadi dari tempat teman yang meminjam uang sama saya tadi malam, janjinya uang tersebut bisa saya ambil di rumahnya di Balai Berkuak, ternyata sampai di sana dianya tidak ada” jelas bapak itu setengah mengomel.
“Oooh...gitukah” jawab saya.

Sambil melihat kondisi motornya yang kurang layak untuk dikendarai di medan seperti itu malam hari. Karena selain kondisi motornya yang memprihatinkan, lampu depannya hanya menggunakan lampu senter (batrai yang diikat dengan potongan ban dalam motor di sebelah kiri stang).

Belum lagi selesai berbicara, mata saya secara tidak sengaja tertuju pada spedo meter motor yang saya kendarai menandakan BBM kami akan habis. Saya mencari BBM di kampung itu, karena sudah malam tidak ada yang buka, seorang laki-laki tua yang tidak saya kenal, namun beliau cukup mengenal saya dari bapak, menganjurkan kami untuk menggedor pintu rumah Pak Dasi, teman akrab bapak, sayapun langsung menuju ke tempat itu di sebelah kiri jalan dari arah Balai Berkuak, pintupun dibukakan, lalu saya ingat pada salah satu ini kitab suci “ketuklah maka kamu akan dibukakan”. Pak Dasi kaget dan menanyakan kenapa saya datang malam-malam dan mau kemana. Saya menjawab “mau ke Kuala Randau, tolong bensin kami diisi, ini kami kehabisan bensin.

Pak Dasi yang sudah kenal baik tersebut, langsung mengambil jirigen dua puluh liter dan menakarnya dalam literan kemudian mengisinya dalam tangki motor.
“Dua Liter cukup" kemudian saya mengeluarkan uang pecahan dua puluh ribuan untuk membayar bensin itu tanpa kembalian, karena bensin tersebut perliternya sepuluh ribu rupiah. Setelah mengucapkan terima kasih kami berduapun melanjutkan perjalanan menuju Kuala Randau.

Pertengkaran Kecil yang Tak ku Pedulikan
Setelah menempuh perjalanan yang begitu melelahkan, sampailah kami di Desa Kuala Randau, jam 21.30. Dengan penuh lumpur saya langsung masuk ke rumah, sayup-sayup saya dengan musik di rumah, tetapi setelah saya datang volumenya pun di kecilkan. Mereka kaget karena yang saya bawa adalah teman dekat abang sepupu saya. Dalam hati saya berbisik, jangan sampai ada masalah ke dua lagi. Belum lama abang ipar saya yang kehilangan N 73-nya sampai juga, dia langsung menggeleng kepala yang mengisyaratkan kalau HP kesayangannya itu tidak ditemukan.

“Sudahlah itu rejeki orang” ucap saya, sepertinya dia belum percaya dengan keadaan ini, namun segera berlalu setelah kami membersihkan diri dan motor saya naikan ke rumah. Menjelang istirahat, saya tidak peduli lagi apa yang diperdebatkan oleh abang sepupu saya dengan teman dekatnya itu, belakangan saya mendapat bocoran, ternyata abang sepupu saya yang rada posesif itu mengetahui nomor mantan kekasih teman dekatnya itu, kemudian iseng-iseng ditelpon, lucunya lagi, yan satu mengaku bapaknya dan mantannya itu mengaku pacarnya, sehingga tersulutlah pertengkaran diantara mereka, berdua.

Tanpa memikirkan teman dekatnya yang baru datang dan capek, abang sepupu saya itupun marah-marah dan mencari hiburan sendiri.

Sejarah Kek Pateh Bangi yang Masih Gelap

Tangal 7 Juli 2008 sebenarnya saya ingin pulang ke Pontianak, karena saya janji akan menyelesaikan tugas saya untuk mengurus surat ijin Trinbune Institute di Diknas Propinsi. Namun niat itu saya urungkan, saya pikir mumpung pulang kampung, saya ingin memotret benda-benda peninggalan nenek moyang saya diantaranya Keramat Buang Pateh Bangi yang terletak di dusun Mengkaka Desa Merawa, Bersama keponakan saya pergi ke sana menggunakan motor adik angkat saya, saya ingin bertemu dengan Kek Ongkon, satu-satunya orang tua yan menguasai silsilah Kek Pateh Bangi.

Menurut sejarahnya Kek Pateh Bangi memiliki beberapa saudara seperti: Ria Niti, Pateh Jurang, Ria Nantang, Pateh Ubai, Ria Tlosai, Pateh Buntal, Domong Sudek, Mayang Tebu, Burai Bunsu. Merekalah cikal bakal Desa Sembilan Domong Sepuloh. Mereka adalah Domong Adat, yang masih akan ditelusuri lebih lanjut.

Hari itu saya tidak bertemu dengan Kek Ongkon, kami hanya memotret Kuburan Kek Pateh Bangi dan Sandong Beruang kek Pateh Bangi yang diperbaharui tahun 2000 oleh Panglima Burung.

Legenda yang hilang

Menurut legendanya, Kek Pateh Bangi memiliki seekor beruang yang sangat jinak, karena jinaknya beruang tersebut, sering menjilat siapa saja yang datang ke rumah Kek Pateh Bangi. Beruang tersebut merupakan “sobat” atau kawan gaib Kek Pateh Bangi, sama siapapun dia jinak, kecuali kalau sama orang yang ingin memusuhi Kek Pateh Bangi dan keluarga. Suatu hari, istri Kek Pateh Bangi dirumah, beruang yang sudah jinak tersebut menjilat-jilat istri Kek Pateh Bangi, ketika itu Istri Kek Pateh Bangi memegang keladi (talas), talas tersebut secara tidak sengaja menyentuh kepala Beruang kesayangan Kek Pateh Bangi ketika istri Kek Pateh Bangi bermaksud membalikan badan ke arah Beruang malang itu.

Kemudian matilah beruang tersebut, karena sangat sayangnya Kek Pateh Bangi dengan beruangnya, maka dibuatlah sandong( semestinya untuk manusia Dayak sekelas Domong adat, Pateh atau Rang Kaya yang sudah meninggal) sebagai kuburan beruang. Tepat di samping sandong tersebut dimakamkan juga Kek Pateh Bangi, anda bisa melihatnya di Dusun Mengkaka.

Malam Yang Langka

Semula, saya hanya ingin ngobrol dengan bapak saja, mengenai pengetahuan adat istiadat Dayak Kualan, namun beberapa orang tua hadir di rumah kami ikut juga menjelaskan mengenai seluk-beluk adat istiadat, menjelaskan silsilah kami dari awal. Ternyata saya adalah keturunan Kek Jajang yang merupakan Domong di Kangking juga. Kek Jajang menikah dengan Nek Ronai orang dari Desa Legong, sebuah desa yang belum lama dimekarkan dari Semandang Hulu.

Dulu ketika Kek Jajang tinggal di Legong, dia hampir dibunuh oleh mertuanya dengan cara mendorongnya dari atas pohon kayu madu ketika mereka “muar”, untungnya nasib baik masih berpihak pada Kek Jajang, sehingga ada sebuah gundukan kayu yang menyelamatkan Kek Jajang dari maut, karena apabila jatuh maka batu-batu cadas di bawah kayu madu tersebut akan menghantam seluruh badan Kek Jajang, karena tidak mau menanggung resiko dibenci tanpa sebab oleh mertua, maka Kek Jajang membawa serta Nek Ronai pulang ke Kampung Lompam (Kangking sekarang) dari situlah keturunan orang-orang kangking, termasuk saya.

Sekitar tahun 1980-an di Kampung Lompam ada rumah betang yang sangat panjang, namun seiring waktu berjalan, semua itu hilang, seiring semakin individualisnya masyarakat. Malam itu juga saya mendapat banyak ilmu baru, karena saya rasa sama seperti kuliah namun di perkuliahan dulu saya tidak mendapat ilmu kearifan lokal seperti ini, semua tentang sejarah orang luar, sehingga kami terkesan menghilangkan identitas kedayakan dalam diri kami. Namun sekarang saya baru mengerti, banyak sekali yang harus saya kerjakan, mengembalikan identitas dayak yang hampir hilang ditelan jaman, salah satunya dengan melestarikan dan mendokumentasikan kearifan lokal yang tidak kalah menariknya dibandingkan dengan daerah dan suku lain di negeri heterogen ini.

Saya Pulang ke Pontianak dengan Pesimisme

8 Juli 2008, hilang sudah cerita untuk mengurus saudara saya yang sakit di Yogyakarta, hati saya berkecamuk, antara mau bertahan di kampung yan haus akan terbangunnya identitas, sementara orang-orang tua yang berpengetahuan di bidang itu semakin punah seiring bertambahnya umur, sepengetahuan saya, belum ada yang betul-betul bisa menguasai seluk-beluk adat-istiadat kami yang agung dulu, hampir semuanya seperti pecahan-pecahan botol yang sulit untuk di satukan, kalau tidak ada kemauan kepedulian dan kerja keras.

06.30 saya menaiki motor Vega R yang mengantar saya ke Piansak untuk kembali ke Pontianak, pikiran saya masih berkecamuk, siapa teman saya yang akan melakukan pelestarian tradisi ini dari kepunahan?.

Pontianak, 11 Juli 2008.