Wednesday 20 January 2010

Potret Kehidupan Rumah Betang Melapi I Patamuan

Ada yang berbeda, ketika kami menginjakaan kaki di rumah Betang masyarakat Dayak (23/8), beberapa anak menghampiri dan bersalaman. Kami dipersilakan masuk Rumah Betang tertua di Kapuas Hulu tersebut. Untuk menuju ke sana, perlu waktu 15 menit dari kota Putussibau, setelah itu menggunakan long boat 2 PK untuk meneyeberangi sungai Kapuas, baru sampai ke Rumah Betang Melapi I Patamuan, yang letaknya di tepi sungai Kapuas, dusun Melapi Patamuan Desa Melapi kecamatan Kedamin Putussibau Utara kabupaten Kapuas Hulu.

Sambutan terhadap kami hangat, udara hutan sejuk diselingi tiupan angin sepoi siang itu membuai pikiran damainya hidup di tempat seperti ini, bebas dari hiruk pikuk kendaraan lalu lalang, macet, asap dan udara tak bersih.

Hasil hutan terlihat mewah, pohon aren hampir sama dengan ketinggian rumah sekitar 20 meter, bila waktunya panen untuk diambil gulanya, pemilik yang tinggal di rumah khas masyarakat Dayak tersebut tinggal keluar dan berdiri di teras untuk memanen gula aren. Hal sama terjadi dengan pohon buah-buahan, tidak ada yang berani menganggu keseimbangan ekosistem di kehidupan masyarakat Dayak hulu sungai Kapuas itu, ”Disini sistemnya kalau panen buah atau aren ya semua warga Rumah Betang ini dapat, sifat komunal masih berlaku, satu orang potong babi semua dapat,” terang Joni Van An.

Jonny Van An adalah Sarjana Sejarah lulusan Perguruan Tinggi Sanata Dharma Yogyakarta, sering menulis mengenai sejarah masyarakat Dayak Taman kapuas Hulu, saat ini sudah menjadi guru PNS di Kapuas Hulu, ia lahir di Rumah Betang tersebut 25 tahun lalu, tempat tinggal keluarga Jonny di bilik paling ujung, di sana juga masih disimpan sebuah kepala manusia hasil ngayau jaman dulu, usianya sudah puluhan tahun, warna hitam karena asap dapur.

Keluar dari bilik Jonny, saya melihat sebuah foto hitam putih tergantung di dinding, ”Itu foto pejuang Perintis Kemerdekaan RI, nama beliau juga di abadikan di tugu 11 digulis Bundaran Untan,” terang Jonny. Jeranding Abdurrahman Sawang (1904-1987), salah satu pejuang perintis kemerdekaan dan pada tahun 1927 dibuang Belanda ke Boven Digul, dengan hukuman seumur hidup karena melawan Belanda, tetapi berhasil melarikan diri dari Papua ke Queenlands Australia, kemudian melanjutkan pergerakan di Kalimantan Barat.

Toleransi

Masuka Ramon Muda, (59) yang di tugaskan menjaga Cagar Budaya kabupaten Kapuas Hulu itu, menjelaskan, kehidupan di rumah betang ini dengan sistem kekerabatan kental sampai sekarang, ketika di kunjungi menggelar tradisi Buang Pantang atau Dibuling. Menyusul kematian salah seorang warga setempat, akibat kecelakaan lalu-lintas di Kabupaten Bengkayang 12 hari lalu. Selama 9 hari sejak dikebumikan, kerabat dan masyarakat setempat tidak diperkenankan melakukan beberapa hal, sebagai bentuk penghormatan terhadap orang yang telah meninggal dunia.

Masuka Ramon Muda yang juga kerabat Almarhum mengatakan` saat ini warga desa Melapi tengah melakukan tradisi berpantang, setelah salah satu anggota keluarga atas nama Michael Aurelius atau Dodot (28) meninggal 10 Agustus lalu.

”Selama berpantang` masyarakat tidak diperkenankan mengenakan busana yang bagus serta memakai perhiasan terbuat dari emas maupun perak, selama 9 hari yang ditetapkan. Namun larangan ini berlaku pada lokasi atau tempat tertentu, sesuai kesepakatan seperti di rumah kediaman atau di rumah betang,” terang Jonny.

Masuka mengungkapkan, jika ada salah satu keluarga terbukti melanggar pantangan. Maka dikenakan sanksi adat berupa membayar adat sebesar 22 buah, yang jika diuangkan nilainya sekitar 22 ribu rupiah. Kendati nilainya relatif kecil, namun jika tidak dipenuhi maka hal itu merupakan suatu perbuatan tercela, dan dapat dikucilkan dalam pergaulan dan lingkungan di masyarakat. Setelah berpantang selama 9 hari, maka seluruh anggota keluarga berkumpul kembali di rumah betang, untuk menggelar ritual buang pantang dan akhir prosesi ritual ditutup dengan pemukulan Gong oleh pemuka adat, ”Tradisi Buang Pantang warisan leluhur, yang terus terpelihara hingga kini di keluarga etnis Dayak Taman Kapuas dari generasi ke generasi,” terang Masuka.

Ritual lain seperti Mamandong, naik padi masih dilaksanakan setiap tahun, namun beberapa tradisi Dayak Taman sudah dikolaborasikan dengan agama Katolik seperti Mamantikang, Paindara dan Kalaman, yang dilaksanakan setiap tahun semua kolaborasi dengan ritual Katolik.

Menolak Perbudakan

Menurut Masuka, pendiri Rumah Betang ini banyak yang sudah meninggal, yang masih ada tinggal beberapa, diantaranya Daili dan Masuka Janting. Sponsor pendirian Rumah Betang adalah Riang warga Kedamin anak Sawang Ama Sundin dan Pisa yang juga orang tua Jeranding, ”Itu sponsornya yang mengajak,” terang Masuka.

Rumah Betang tersebut didirikan tahun 1942 tapi mereka mencari tiang sejak tahun 1940, kayu tebelian (ulin), di hutan di Atung bagian hulu sungai Kapuas. Ini rumah Betang di Kapuas Hulu tertua. tahun 1945 betang ini di diami, sudah tiga kali di rehab, atapnya pertama kali di rehab, atas bantuan subsidi desa jaman orde baru, rumah ini 43 pintu terdiri dari 81 kepala keluarga dan 432 jiwa dari suku Dayak Taman.

Tokoh pendiri lainyang juga berasal dari betang ini, F.C. Palaunsuka, yang dikenal sebagai salah satu pendiri Harian Kompas bersama I.J. Kasimo, Frans Seda, Jakob Oetama, dan Auwjong Peng Koen (PK Ojong). Ada juga tokoh Massardi Kaphat, sedangkan pemilik rumah betang ini menurut masuka adalah Balle Polokayu yang merupakan nenek moyang Masyarakat Rumah Betang Melapi I Patamuan.

Di kanan masuk rumah Betang terdapat Tooras (semacam pantak) dari ulin digunakan untuk upacara menolak perbudakan. Jonny menjelaskan, Toras tersebut ketika didirikan persembahan menggunakan kepala manusia hasil kayauan, namun sejak perjanjian Tumbang Anoy, tradisi tersebut dihilangkan, sehingga untuk persembahan upacara Mamandung menggunakan hewan.

Menurut Masuka, dulu upacara Mamandung menggunakan kepala budak belian, hal tersebut tidak disukai nenek moyang mereka, “Setiap ada mamandung pasti ada budak belian yang di korbankan, nenek moyang kami tak suka kami mengedepankan prinsip persamaan hak, kita hidup bersama kenapa harus mengorbankan orang tak berdosa, mereka juga manusia jadi nenek kami tidak mau,” kata Masuka.

Mamandung berarti mengorbankan, jadi budak belian itu dipandung atau di korbankan untuk persembahan, sehingga dilakukan gawai oleh nenek moyang Dayak Taman menggantikan Mamandong dengan binatang, bisa Kerbau, Sapi, Kambing dan Babi. Sehingga untuk menolak perbudakan tersebut didirikanlah Toras sejak 200-300 tahun lalu, “kami menganggap toras tersebut toras keramat melambangkan penghapusan ulun panekam (perbudakan) oleh nenek moyang Sariamas balle Polokayu dan tonggak awal dimulainya Raa suku Dayak Taman yang menggunakan hewan korban sekaligus penegakan HAM pada suku Dayak Taman,” jelas Masuka.

Budak jaman dahulu di Kalangan Dayak Taman, adalah pekerja (buruh kasar), melaksanakan pekerjaan sehari-hari, budak bisa dari orang luar yang ditangkap kemudian dipelihara jadi budak. Sehingga di bangunlah Toras sebagai pembela hak asasi manusia, pemersatu adat dan social budaya, lambang moral cinta kasih dan kesetiakawanan, pembawa damai hidup berdampingan serta lambang kekaryaan dan patriontis, “Toras tersebut juga menjadi pedoman hidup siapa saja yang tingal di Rumah Betang khususnya suku Dayak,” terang Jonny.

Menjelang sore, kami beranjak dari tempat bersejarah tersebut, anak-anak tak menyurutkan kegembiraan, di Sungai Kapuas seolah alam tak lagi bisa berpisah dengan hidup mereka, di tengah suara Kijang Menderu, hatiku berbisik, tradisi luhur ini bisa bertahan, sementara jaman terus menggerus?.





0 comments