Buku yang pernah di bedah di UIN Syarif Hidayatulah Jakarta, Fakultas Usuluddin dan Filsafat, bersama Prof. DR. Komaruddin Hidayat dan Muhammad Ridwan Lubis dari Pusat Litbang kehidupan beragama di Indonesia, Prof. DR. M. Iksan Tanggok, Direktur Pusat Kajian Kawasan Asia Timur,dan penulisnya sendiri Platti dari Ordo Paradominikan ini, judulnya terkesan sugestif (atau bagi beberapa pihak provokatif) diterjemahkan dari bahasa Inggrisnya yaitu Islam: Friend or Foe? Judul bahasa Inggris (teman atau musuh). Namun, judul di atas harus dilihat dalam latar belakang buku ini ditulis. Pertama-tama Platti tidak menulis buku ini untuk pembaca Barat yang tidak mengerti Islam yang karena gempuran media mempunyai persepsi yang salah tentang Islam. Suka atau tidak suka Barat masih mempunyai Islamphobia karena pemberitaan yang tidak seimbang tentang Islam. Peristiwa (9/11) atas runtuhnya menara World Trade Center (WTC) membuat banyak pihak Barat shock atas dimensi kekerasan yang dilakukan kelompok kecil mengatasnamakan Islam.
Pengetahuan tentang Islam
Kurangnya pengetahuan yang mendalam tentang Islam plus kehadiran kegiatan kelompok minoritas radikal membuat wajah Islam dipertanyakan di Barat. Platti yang telah bergaul dengan orang muslim selama 40 tahun dan bertempat tinggal baik di Eropa dan Kairo selama 40 tahun plus studinya yang mendalam tentang Islam mencoba untuk menjawab bagi orang Eropa, bagaimana wajah Islam sebenarnya menurut versi atau studi Platti. Tentu jawaban Platti positif tentang Islam: Islam bukan musuh! Kalau membaca secara teliti buku Platti orang akan mendapatkan kesan bahwa tiga agama monoteis (Islam, Kristen dan Yahudi) sebenarnya mempunyai konektivitas satu sama lain.
“Kalau kami boleh katakan lebih dalam ketiga agama itu mempunyai akar semitik yang kuat yang di dalam perkembangan sejarah bak hulu sungai yang satu (baca: akar semitik) akhirnya mempunyai anak sungainya masing-masing,” terang Islamolog UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Dr. Johanes Robini OP, terkait isi buku ini.
Dalam buku ini, Platti mau menjawab pembacanya di Barat: daripada sebagai musuh, Islam sebenarnya sangat dekat dengan tradisi Kristen dan Yahudi sehingga Barat tidak perlu melihat Islam secara salah dan bahkan melihat Islam sebagai musuh. Islam itu “sepupu” tradisi Kristen-Yahudi.
Robini menjelaskan, hal lain positif yang dilihat dari Platti adalah ia menempatkan Islam sebagai agama yang menjawab manusia soal keselamatan. Bagi dia pada akhirnya Islam mempunyai tawaran keselamatan kepada umat manusia. Ini tentu hal yang luar biasa karena dikatakan oleh seorang imam Katolik yang kalau tidak terbuka pikirannya tidak akan mengatakan demikian. Bagi Platti Islam mempunyai tawaran spiritual. Justru di sinilah bagi pihak Islam harus kembali ke “fitrah” yang intinya Islam adalah sebuah agama: Islam pada akhirnya adalah perjumpaan dengan Tuhan yang menawarkan keselamatan. Di sinilah Platti dalam analisanya mengatakan pada akhirnya adalah bahaya atau “bermain api” kalau agama diletakkan dalam tataran politik atau digunakan untuk propaganda politik.
Persoalan yang sangat hangat mengenai jihad (hal; 91-109) dianalisis Platti dengan bantuan tokoh-tokoh Muslim yang otoritatif (Al-Bouti, Tariq Ramadan, Mohammed Talbi) bahkan bukan hanya diskusi di jaman modern melainkan diskusi klasik abad pertengahan. Ini juga kekuatan buku Platti: analisis historis yang kayak arena pengetahuan beliau mengenai dunia Islam bahkan klasik sekalipun.
Pembaca Indonesia pada akhirnya bisa menikmati buku ini yang harus diletakkan dalam konteks dunia Barat yang tidak mengenal Islam bahkan sudah sekuler dan kadangkala tanpa pengetahuan yang mendalam membuat sebuah penilaian yang akibatnya bisa fatal sehingga “image” islam dimengerti secara salah. Platti sebagai imam Katolik tentunya karena keyakinannya akan dimensi spiritual Islam yang bisa memberikan kontribusi yang luar biasa pada perkembangan dunia manusia perlu angkat bicara supaya Islam jangan salah dimengerti banyak pihak.
Memang kenyataan pahit harus dialami manusia pada akhir abad XX dan awal XXI yaitu semakin gencarnya gerakan fundamentalisme yang meski hanya sekelompok kecil namun selalu menjadi masalah buat semua orang mengenai otentisitas agama-agama. Pesan Platti sederhana: otentisitas agama adalah jawaban semua agama untuk membuktikkan bahwa agama itu asli dan punya tawaran yang berarti.
Untuk kita di Kalbar kedatangan Platti nantinya bersama direktur IDEO (Dominican Institute of Oriental Studies) Jean Jacques Perennes OP sangat mempunyai makna. Keduanya adalah imam Katolik tetapi hidup lebih dari 20 tahun di dunia Islam. Pengetahuan mereka akan Islam juga pergaulan mereka dengan saudara-saudari Muslim tentunya merupakan saksi hidup bahwa setiap perjumpaan yang jujur akan mengubah seseorang, “Mereka adalah saksi hidup bahwa fanatisme bukan jawaban di jaman kita dan semua orang bisa menjadi orang yang terbuka kepada sesama dengan syarat: keterbukaan hati sebagai dasar yang tidak lain adalah kejujuran dan pengetahuan yang cukup dalam akan yang lain,” tukas Robini.
Platti OP, Emilio, Islam, Kawan atau Lawan? Jakarta: CRID & PUKKAT UIN, 2010 (xviii+320 halaman)
Pernah diterbitkan di Borneo Tribune
0 comments