Di bekas rumah sakit Misi Katolik, komplek Pastoran Sejiram, Kecamatan Seberuang, Kapuas Hulu, Kalbar, di salah satu sudut ruangan, tergantung beberapa tas kecil dan sampul madah bakti berhiaskan motif tenun ikat Sintang.
Di atas meja, terdapat beberapa buah resleting yang sudah dipotong terukur, benang jahit dan gulungan kain tenun. Empat mesin jahit manual peninggalan Pastor Belanda puluhan tahun lalu, masih layak di pergunakan.
“Mesinnya diputar pakai tangan, ini peninggalan pastor misi dulu, masih bagus,” terang Andreas Tinjau (40) sambil memutar mesin jahit Butterfly.
Anak kelima dari enam bersaudara kelahiran Kelakau Desa Tanjung Keliling, Kecamatan Seberuang Kapuas Hulu itu, sejak 1998, merintis usaha kerajinan kecil. Membuat sampul madah bakti (buku nyanyian umat Katolik, red) pesanan Keuskupan Sintang dan tas jinjing untuk ibu-ibu.
Di bekas rumah sakit yang kini menjadi gedung tua nan sunyi itu, Andreas Tinjau tinggal bersama keponakannya, Riswani (26). Riswani-lah yang memasak untuk mereka berdua, dan membantu membeli bahan baku pembuat sampul madah bakti serta tas jinjing, ke Sintang bahkan ke Putussibau Ibukota Kabupaten Kapuas Hulu.
Bahan baku sampul madah bakti biasanya sudah di dropping dari Sintang, tinggal Andreas di bantu tiga karyawannya, membuat sesuai desain pesanan. Per-sampul dihargai Rp 22.000. Tas Rp 175.000.
“Tas sulit lakunya, karena tidak ada yang memasarkan, paling kalau ada pengunjung, mereka membeli langsung ke sini,” terang Andreas.
Tas buatan Andreas tidak kalah bagusnya dengan tas ibu-ibu buatan umumnya. Design masa kini. Tas made in Sejiram ini, dibalut motif tenun ikat khas Dayak Sintang, proses pembuatannya pun sangat hati-hati agar tidak mengecewakan pelanggan, kualitas bahannya juga dari bahan tas umumnya, ada yang dari sintetis dan kulit. Satu hari bisa memproduksi lima sampai sepuluh tas.
Menurut Andreas, Keuskupan Sintang, sejak tahun 1998 sudah tidak memesan sampul madah bakti ke Jawa lagi, sebab dirinya-lah yang memenuhi keperluan tersebut.
Sempat putus asa
Meski hidup dengan keterbatasan fisik, Andreas Tinjau, tidak menyerah. Untuk memotivasi dirinya, ada pesan tertulis di ruang kerja berukuran 5x4 meter itu. Tergantung di bawah dua sertifikat dari Dinas Perindustrian dan Perdaangan Kabupaten Kapuas Hulu. ‘Penyandang cacad tidak membutuhkan belas kasihan melainkan sebuah kesempatan’.
Stiker tersebut dibuat kelompok studi dan pengkajian penyandang cacad Indonesia (KSPPCI) yang beralamat di Surakarta Jawa Tengah. “Saya sempat putus harapan, namun kita harus berfikir kembali, kita jangan terus bersedih,” katanya sambil menatap ke dua kakinya.
Dalam keputusasaan itu, Pastor Budi Priatna dari Ordo Oblat Maria Immaculata (OMI) (almarhum) yang bertugas di Paroki Sejiram, membawa Andreas Tinjau ke Yoyakarta, untuk belajar di Yakum (Panti Cacad), sejak 1995-1997.
Jatuh dari pohon rambutan 20 tahun lalu, membuat, kedua kakinya cacad permanen, sehingga untuk berjalan harus mengunakan kursi roda. Kondisi demikian membuat almarhum Pastor Budi yang asli Cilacap Jawa Tengah, membawa Andreas ke Yogyakarta untuk belajar keterampilan, seperti membuat tas dan kerajinan industri rumah tangga lainnya.
Sehingga sejak kembali ke Kalbar, 1998, Andreas merintis usaha kecil untuk menopang hidup. Sempat menampung tiga karyawan, namun karena bahan baku kurang dan sulit untuk memberi honor, Andreas terpaksa merumahkan sementara karyawannya, “Nanti kalau ada pesanan lagi baru saya panggil,” terang dia.
Andreas Tinjau, tangannya tetap kuat mencengkram pemutar kursi roda yang setia mengantarkan ke mana pun pergi, seperti juga memutar roll mesin jahit tetap ia lakukan, untuk hidup, tanpa harus bergantung dengan orang lain.
Tekadnya untuk tetap meneruskan pekerjaan ini walau keuntungan hanya cukup buat makan, tidak lagi membuatnya putus harapan. Andreas seperti dia tuturkan, ingin juga sukses, sifatnya yang pantang menyerah seolah menunjukan ke masyarakat bahwa orang dengan kekurangan fisik juga bisa berkarya, tanpa harus menadahkan tangan ke setiap pengendara di perempatan jalan di kota-kota besar.
0 comments