Gaya Gesek, adalah gaya yang bekerja pada benda dan arahnya selalu melawan arah gerak benda. Gaya gesek hanya akan bekerja pada benda jika ada gaya luar yang bekerja pada benda tersebut. Untuk menjaganya agar tetap bergerak, kita harus tetap mendorong (memberikan gaya). Jika dicermati dengan saksama, anda akan menyimpulkan bahwa benda-benda yang bergerak secara alami akan berhenti dan sebuah gaya diperlukan agar untuk mempertahankannya agar tetap bergerak.
Pada abad ketiga Sebelum Masehi, Aristoteles, seorang filsuf Yunani pernah menyatakan bahwa diperlukan sebuah gaya agar benda tetap bergerak pada bidang datar. Menurut Aristoteles, keadaan alami dari sebuah benda adalah diam. Oleh karena itu perlu ada gaya untuk menjaga agar benda tetap bergerak. Ia juga mengatakan bahwa laju benda sebanding dengan besar gaya, di mana makin besar gaya, makin besar laju gerak benda tersebut.
Setelah 2000 tahun kemudian, Galileo Galilei “menggesek” pandangan Aristoteles. Galileo mengatakan bahwa sama alaminya bagi sebuah benda untuk bergerak mendatar dengan kecepatan tetap, seperti ketika benda tersebut berada dalam keadaan diam. Untuk memahami pandangan Galileo, bayangkan jika kita mendorong sekeping uang logam pada permukaan lantai yang sangat licin. Setelah anda berhenti mendorong, keping uang logam tersebut akan meluncur jauh lebih panjang (dibandingkan ketika mendorong di atas permukaan lantai kasar). Jika dituangkan minyak pelumas atau pelicin lainnya pada permukaan lantai tersebut, maka keping uang logam akan bergerak lebih jauh, dibandingkan dengan percobaan pertama.
Gaya gesek tidak hanya dalam ilmu Fisika, namun dalam politik apalagi politik kekuasaan terjadi juga gaya saling menggesek, yang mengorbankan salah satu pihak yang lainnya aus tidak mamu menahan gesekan. Dalam sebuah perusahaan atau lembaga bila terjadi gaya gesek antar pimpinan yang dikorbankan bawahan.
Sama hal misalnya penetapan caleg berdasarkan suara terbanyak, membuat caleg harus bersaing ketat, tidak tertutup kemungkinan terjadi kampanye saling menjelek-jelekkan atau black campaign antar-caleg, apalagi tidak menggunakan minyak pelumas seperti gaya gesek yang dikemukakan ilmuwan fisika, sehingga menimbuklan aus “soak” salah satunya. Berbeda dengan gesekan “Yoyo”nya Megawati terhadap Presiden SBY, ketika Rakernas PDIP di Solo bulan lalu, yang sempat memanaskan telinga Anas Urbaningrum dan bahkan Sang Presiden.
Gaya gesek bahaya, apalagi “saling bergesekan” tak tentu rudu karena ambisi, namun bukan hal tabu dan harus ditakuti dalam politik praktis, meski yang dikorbankan adalah masyarakat yang disuruh memilih, tergantung bijak atau tidak menyikapi gesekan itu.
Namun, yang bergesekan mesti tahu, masyarakat kadang tidak mengetahui siapa yang dia pilih, yang masyarakat tahu adalah apa yang dijanjikan kandidat yang dipilih, sehingga masyarakat ujung-ujungnya hanya sapi perah juga, bayar pajak terus. Masyarakat juga yang dipilih menjadi dewan pun masih terus bergesekan tampa berfikir solusi untuk kemajuan masyarakat yang mestinya ia perjuangkan.