Monday, 16 February 2009

Ku tuliskan sebuah puisi kerinduan
Dalam bayang kubelai lembut jemarimu
Ingin sekali kubelai saat ini
Angin membisik anganku tuk selalu bersamamu... Sebait puisi, sengaja kutulis untuk Valentine Day kita berduaMenjaga benang kasih sayang yang saat panjang terbingkai
Meski letih mendera...tak akan ku hiraukan kerikil beradu dengan tapak kakiku..
Melangkah menggapai keabadian yang telah kita ukir berdua...
Apa kau merasakannya di sana...getar rinduku kadang membuat air mata tak terasa menetes...Happy Valentine Day...

Wednesday, 11 February 2009

Borneo Tribune, Sambas

"Asyiknya menenun itu, bila sudah hampir selesai, motifnya bagus," ujar Emi Purnima kepada saya sembari tersenyum. Dia pun menyambut dengan ramah.
Ruang yang tidak begitu besar, di rumah yang terletak di Jalan Pendidikan Kota Sambas, terletak seperangkat alat tenun manual hampir memenuhi ruang berukuran 4x4 meter itu. Di jendela rumah, tampak pemandangan jembatan kayu seakan memotong tenangnya arus Sungai Sambas.
Peralatan tenunnya licin mengkilap pertanda sering dipakai pengunanya. Emi Purnima, generasi ketiga pelestari tenun Sambas yang terkenal itu.
Gerimis sore yang mengiringi perjalanan saya menuju kediman Emi. Karena hanya gerimis, saya pun tidak mencari tempat berlindung. Saya langsung menuju rumah yang persis berhadapan dengan SDN 4 Sambas.
Saya sengaja singgah di rumah itu karena ingin bersilaturahmi dengan penghuni rumah, mereka dulu guru SMPN Balai Berkuak, Kecamatan Simpang Hulu, Ketapang tempat saya bersekolah.
Irianto dan Emi Purnima, sejak tahun 2003 kembali ke tanah kelahirannya di Sambas, mengabdi sebagai guru juga. Irianto megajar di SLTP Sejangkung, sedangkan Emi Purnima mengajar di SLTP Semberang, semuanya di wilayah Kabupaten Sambas.
Malam itu, kami berbincang-bincang mengingat ketika saya menjadi siswa dan mereka yang menjadi guru saya. Setiap kenangan kami utarakan tak ada habisnya, mereka antusias sekali.
Sejak lulus D III Bahasa Indonesia Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Tanjungpura 1986, setahun kemudian, Irianto bertugas di Balai Berkuak menjadi guru Bahasa Indonesia, sedangkan Emi Purnima, istrinya menyusul setahun kemudian mengajar bidang studi yang sama.
Pahit manisnya hidup, mereka rasakan sewaktu menjadi "Oemar Bakri" di Balai Berkuak, dengan gaji golongan dua waktu itu Rp56.000, beras 10 kg, kalau digabung, gaji mereka berdua hanya cukup untuk kebutuhan keluarga sebulan.
Sementara menurut Irianto, setiap dua bulan salah satu mereka harus ke Sambas menjenguk putra-putrinya, Andika dan Mega yang masih kecil tinggal dengan kakek neneknya bersekolah di Sambas. "Waktu itu serba sulit, gaji segitu beh tak cukup untuk ke Sambas," kenang Pak Irianto dengan logat Sambas yang kental.
Tahun pertama Irianto dan Emi Purnima di Balai berkuak, Jalan Trans Kalimantan belum ada, transportasi lewat Sungai Kualan. Kalau mau ke Sambas harus ke Pontianak dulu. Perjalanan ditempuh sekitar empat hari baru sampai di Sambas.
Itu pun harus menunggu kalau ada motor orang Tionghoa ke Pontianak membawa karet. Waktu tempuh motor air dari Balai Berkuak-Pontianak dua hari, istirahat satu hari di Pontianak menunggu bis ke Sambas, hari berikutnya baru sampai di kota yang terkenal dengan bubur pedasnya itu.
Irianto menambahkan, untuk mencukupi kebutuhan dan biaya transportasi ke Sambas dengan menjual hasil tenunan istrinya. Karena hobi tadi, ketika pindah ke Balai Berkuak, dia membawa serta peralatan tenunnya. Hasil penjualan dua helai kain tenun ketika itu bisa mencapai Rp160.000.
Sedang asyiknya kami bercerita, mata saya tertuju pada kain tenun yang dibingkai tergantung rapi di ruang tamu. Menurut Emi--begitu dia akrab dipanggil, tenunan tersebut hasil karyanya sendiri, yang pernah dipamerkan di even pameran kabupaten ketika masih di Balai Berkuak.
Emi pandai menenun, keahlian tersebut didapatnya dari sang ibu, Fatimah Ahmad yang juga seorang penenun. Dia belajar menenun dengan sang Ibu sejak kelas 4 SD tahun 1976. Putri sulung Abdul Kadir, mantan Kepala Desa Jagur, Sambas ini menganggap menenun itu hobi dan tradisi turun temurun keluarga, dia generasi ketiga penenun, sehingga perlu dilestarikan. "Ini tradisi Sambas, saya ikut melestarikannya," ujarnya. (Bersambung)

Friday, 6 February 2009

"Borneo Tribune beritanya padat ya," ujar Kepala Sekolah SMA St. Bonaventura kepada saya, yang ditemani bagian pemasaran Harian Borneo Tribune, wilayah Kabupaten Sambas, Amrul, Selasa (3/1).

Sore itu, saya mengontak teman lama, Oka, lewat telepon seluler. Oka, alumni Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Ia sekampus dengan saya, hanya beda angkatan dan jurusan. Dia jurusan Bimbingan Konseling, saya Pendidikan Sejarah. Dia masuk 2000, saya tahun 2001.

Kami pernah bertemu, ketika mendampingi siswa SMP/SMA dalam latihan kepemimpinan yang diselenggarakan YPPN di Rumah Doa Rivotorto, Lembah Sarikan, Kecamatan Toho, tahun lalu.

Ketika saya mendapat tugas dari kantor ke Sambas, teringat kalau ada alumni Sanata Dharma mengajar di SMA St. Bonaventura. Sambas daerah baru bagi saya. Sehingga teman yang saya kenal pun hampir tak ada. Kalau bukan Amrul, bagian pemasaran harian Borneo Tribune, siapa lagi.

Amrul setia menemani saya, selama beberapa hari di Sambas. Dia juga yang mengantarkan saya bersilaturahmi ke kediaman guru SLTP saya, di Jalan Pendidikan.

Sore itu, saya menelepon Oka, dia baru sampai di Sambas, siangnya dari Singkawang. Kemudian sore harinya, dia mengajar muatan lokal di SMA St. Bonaventura. Kebetulan saya di Sambas. Oka meminta saya memberi materi Jurnalistik di kelas 10 C di lantai II.

Karena waktunya mendadak, saya mencoba sebisanya. Untungnya, di Flash Disk masih ada copian materi Jurnalistik dari Aleksander Mering. Itu yang dipakai. Saya mencoba menjelaskan kepada siswa dengan alokasi waktu 1 jam pelajaran, untuk menjelaskan bagaimana membuat berita straight news, menulis feature dan artikel di media massa. Saya sekaligus mengenalkan harian Borneo Tribune, sebagai Koran Pendidikan di Kalbar.

Siswa nampak antusias, walau sore biasanya mengantuk menyerang. Oka pun tak ketinggalan. Dia menanyakan, bagaimana menerapkan 5W+1H dalam sebuah tulisan. Sayangnya, waktu yang diberikan ke hanya satu jam. Sehingga yang dijelaskan hanya bersifat umum mengenai hal itu.

Di lantai dasar, Suster Kepala sudah menunggu kami berdua. Suster berterima kasih karena bersedia memberikan materi. Suster berharap, Borneo Tribune mau bekerja sama dengan SMA St. Bonaventura, untuk membantu siswa belajar jurnalistik, dan guru-guru juga butuh ruang ekspresi untuk menulis.

Waktu menunjukan 14.55 Wib, walau di luar hujan deras. Kami harus pulang ke kantor biro harian Borneo Tribune, nun di Jalan Kartiyasa, Sambas.

Sunday, 1 February 2009

Gaya Gesek, adalah gaya yang bekerja pada benda dan arahnya selalu melawan arah gerak benda. Gaya gesek hanya akan bekerja pada benda jika ada gaya luar yang bekerja pada benda tersebut. Untuk menjaganya agar tetap bergerak, kita harus tetap mendorong (memberikan gaya). Jika dicermati dengan saksama, anda akan menyimpulkan bahwa benda-benda yang bergerak secara alami akan berhenti dan sebuah gaya diperlukan agar untuk mempertahankannya agar tetap bergerak.
Pada abad ketiga Sebelum Masehi, Aristoteles, seorang filsuf Yunani pernah menyatakan bahwa diperlukan sebuah gaya agar benda tetap bergerak pada bidang datar. Menurut Aristoteles, keadaan alami dari sebuah benda adalah diam. Oleh karena itu perlu ada gaya untuk menjaga agar benda tetap bergerak. Ia juga mengatakan bahwa laju benda sebanding dengan besar gaya, di mana makin besar gaya, makin besar laju gerak benda tersebut.
Setelah 2000 tahun kemudian, Galileo Galilei “menggesek” pandangan Aristoteles. Galileo mengatakan bahwa sama alaminya bagi sebuah benda untuk bergerak mendatar dengan kecepatan tetap, seperti ketika benda tersebut berada dalam keadaan diam. Untuk memahami pandangan Galileo, bayangkan jika kita mendorong sekeping uang logam pada permukaan lantai yang sangat licin. Setelah anda berhenti mendorong, keping uang logam tersebut akan meluncur jauh lebih panjang (dibandingkan ketika mendorong di atas permukaan lantai kasar). Jika dituangkan minyak pelumas atau pelicin lainnya pada permukaan lantai tersebut, maka keping uang logam akan bergerak lebih jauh, dibandingkan dengan percobaan pertama.

Gaya gesek tidak hanya dalam ilmu Fisika, namun dalam politik apalagi politik kekuasaan terjadi juga gaya saling menggesek, yang mengorbankan salah satu pihak yang lainnya aus tidak mamu menahan gesekan. Dalam sebuah perusahaan atau lembaga bila terjadi gaya gesek antar pimpinan yang dikorbankan bawahan.

Sama hal misalnya penetapan caleg berdasarkan suara terbanyak, membuat caleg harus bersaing ketat, tidak tertutup kemungkinan terjadi kampanye saling menjelek-jelekkan atau black campaign antar-caleg, apalagi tidak menggunakan minyak pelumas seperti gaya gesek yang dikemukakan ilmuwan fisika, sehingga menimbuklan aus “soak” salah satunya. Berbeda dengan gesekan “Yoyo”nya Megawati terhadap Presiden SBY, ketika Rakernas PDIP di Solo bulan lalu, yang sempat memanaskan telinga Anas Urbaningrum dan bahkan Sang Presiden.

Gaya gesek bahaya, apalagi “saling bergesekan” tak tentu rudu karena ambisi, namun bukan hal tabu dan harus ditakuti dalam politik praktis, meski yang dikorbankan adalah masyarakat yang disuruh memilih, tergantung bijak atau tidak menyikapi gesekan itu.

Namun, yang bergesekan mesti tahu, masyarakat kadang tidak mengetahui siapa yang dia pilih, yang masyarakat tahu adalah apa yang dijanjikan kandidat yang dipilih, sehingga masyarakat ujung-ujungnya hanya sapi perah juga, bayar pajak terus. Masyarakat juga yang dipilih menjadi dewan pun masih terus bergesekan tampa berfikir solusi untuk kemajuan masyarakat yang mestinya ia perjuangkan.