Hentakun
Borneo Tribune, Pontianak
Dusun Sungai Bansi, merupakan salah satu dusun di wilayah Desa Merawa, Simpang Hulu, Ketapang. Daerah tersebut merupakan pegunungan. Karenanya, masyarakat hidup dari berladang. Kehidupan itu, layaknya pola kehidupan masyarakat Dayak, pada umumnya.
Selain menamam padi, masyarakat Sungai Bansi menanam sayuran di ladang. Sambil menunggu panen, dan sayuran yang di tanam akan tumbuh lebih cepat dari umur padi. Sayuran mereka petik dan dijual ke desa lain. Seperti ke Balai Berkuak, ibukota Kecamatan Simpang Hulu, Balai Semandang dan sebagainya.
Jarak Sungai Bansi ke Balai Berkuak dan Balai Semandang, sekitar 60 kilometer. Jalannya? Alamak, untuk ukuran perempuan, mirip dalam puisi Hartoyo Andangjaya yang berjudul Perempuan-perempuan Perkasa.
Seperti yang dilakukan Yanti, Domit, Lin dan Plangont, warga desa Sungai Bansi Desa Merawa, Kamis (26/3). Mereka berjualan sayur ke desa lain. Biasanya meeka berangkat pada 05.00 pagi, atau menjelang ayam berkokok pagi hari. Namun, ketika mendengar kabar Gubernur Kalbar mau berkunjung ke Balai Semandang, mereka sudah memetik sayur dua hari sebelumnya. Terutama buah waluh dan mentimun, untuk dijual ke Balai Semandang.
”Siapa tahu, Pak Cornelis mau beli. Kan, dia banyak duitnya,” kata Lin polos.
Beberapa jenis sayur lain, seperti terung dan kacang panjang, mereka petik sehari sebelum berangkat. ”Ladang kami jauh dari rumah. Makanya, diambil dua hari sebelumnya,” kata Yanti kepada saya pagi itu.
Menurut Plangont, jarak ladang ke rumah mereka di Sungai Bansi, kalau ditempuh jalan kaki pulang pergi selama satu hari.
Kamis (26/3), mereka berangkat ke Balai Semandang. Tujuannya, ingin bertemu Gubernur Kalbar. Sayuran yang mereka bawa, tidak disinggahkan dimanapun, seperti biasanya. Setelah pukul 14.00, mereka tiba di Balai Semandang. Keempatnya langsung menuju rumah Matheus Juli, tepat Gubernur dan rombongan menginap.
Matheus Juli langsung mengarahkan keempatnya yang masih bermandi keringat ke dapur. Tidak berapa lama, Frederika Cornelis keluar menyambangi mereka. ”Ini ibu gubernur kita,” kata Juli.
Mereka langsung menyalami. Ada yang mencium tangan. Ada suasana haru. Bagaimana tidak? Demi bertemu pemimpinnya, mereka harus jalan kaki sedemikian jauh. 60 km.
Saya menjelaskan ke Ny. Frederika, mengenai asal-usul mereka. Mereka darimana, bagaimana mereka berangkat, dan bagaimana memperoleh sayur, hingga bisa sampai bertemu dengan pemimpin yang ingin mereka lihat.
Frederika mengerti. Ia segera memborong semua sayuran, dan membawanya hingga ke Pontianak. Setelah sayur habis diborong, para perempuan perkasa itu, kembali ke daerahnya.
Melihat kegigihan mereka, saya teringat bait-bait puisi Hartoyo Andangjaya berjudul Perempuan-perempuan Perkasa:
”Mereka ialah ibu-ibu berhati baja, perempuan-perempuan perkasa akar-akar yang melata dari tanah perbukitan turun ke kota. Mereka: cinta kasih yang bergerak menghidupi desa demi desa.”
Borneo Tribune, Pontianak
Dusun Sungai Bansi, merupakan salah satu dusun di wilayah Desa Merawa, Simpang Hulu, Ketapang. Daerah tersebut merupakan pegunungan. Karenanya, masyarakat hidup dari berladang. Kehidupan itu, layaknya pola kehidupan masyarakat Dayak, pada umumnya.
Selain menamam padi, masyarakat Sungai Bansi menanam sayuran di ladang. Sambil menunggu panen, dan sayuran yang di tanam akan tumbuh lebih cepat dari umur padi. Sayuran mereka petik dan dijual ke desa lain. Seperti ke Balai Berkuak, ibukota Kecamatan Simpang Hulu, Balai Semandang dan sebagainya.
Jarak Sungai Bansi ke Balai Berkuak dan Balai Semandang, sekitar 60 kilometer. Jalannya? Alamak, untuk ukuran perempuan, mirip dalam puisi Hartoyo Andangjaya yang berjudul Perempuan-perempuan Perkasa.
Seperti yang dilakukan Yanti, Domit, Lin dan Plangont, warga desa Sungai Bansi Desa Merawa, Kamis (26/3). Mereka berjualan sayur ke desa lain. Biasanya meeka berangkat pada 05.00 pagi, atau menjelang ayam berkokok pagi hari. Namun, ketika mendengar kabar Gubernur Kalbar mau berkunjung ke Balai Semandang, mereka sudah memetik sayur dua hari sebelumnya. Terutama buah waluh dan mentimun, untuk dijual ke Balai Semandang.
”Siapa tahu, Pak Cornelis mau beli. Kan, dia banyak duitnya,” kata Lin polos.
Beberapa jenis sayur lain, seperti terung dan kacang panjang, mereka petik sehari sebelum berangkat. ”Ladang kami jauh dari rumah. Makanya, diambil dua hari sebelumnya,” kata Yanti kepada saya pagi itu.
Menurut Plangont, jarak ladang ke rumah mereka di Sungai Bansi, kalau ditempuh jalan kaki pulang pergi selama satu hari.
Kamis (26/3), mereka berangkat ke Balai Semandang. Tujuannya, ingin bertemu Gubernur Kalbar. Sayuran yang mereka bawa, tidak disinggahkan dimanapun, seperti biasanya. Setelah pukul 14.00, mereka tiba di Balai Semandang. Keempatnya langsung menuju rumah Matheus Juli, tepat Gubernur dan rombongan menginap.
Matheus Juli langsung mengarahkan keempatnya yang masih bermandi keringat ke dapur. Tidak berapa lama, Frederika Cornelis keluar menyambangi mereka. ”Ini ibu gubernur kita,” kata Juli.
Mereka langsung menyalami. Ada yang mencium tangan. Ada suasana haru. Bagaimana tidak? Demi bertemu pemimpinnya, mereka harus jalan kaki sedemikian jauh. 60 km.
Saya menjelaskan ke Ny. Frederika, mengenai asal-usul mereka. Mereka darimana, bagaimana mereka berangkat, dan bagaimana memperoleh sayur, hingga bisa sampai bertemu dengan pemimpin yang ingin mereka lihat.
Frederika mengerti. Ia segera memborong semua sayuran, dan membawanya hingga ke Pontianak. Setelah sayur habis diborong, para perempuan perkasa itu, kembali ke daerahnya.
Melihat kegigihan mereka, saya teringat bait-bait puisi Hartoyo Andangjaya berjudul Perempuan-perempuan Perkasa:
”Mereka ialah ibu-ibu berhati baja, perempuan-perempuan perkasa akar-akar yang melata dari tanah perbukitan turun ke kota. Mereka: cinta kasih yang bergerak menghidupi desa demi desa.”