Disms, ditelpon berulang kali di minta pulang, saya tetap ngotot untuk bekerja-bekerja dan bekerja. Sok sibuk…!.
Usai dari kantor, menuju parkiran, terlintas di benak, sosok perempuan berumur berwajah serius dengan tatapan kosong terus mengayun parang menebas belukar, untuk ladang, ya untuk ladang, menghidupkan saya, memberi makan saya ketika pulang, agar tidak dianggap pemalas yang selalu mengharap beras pemerintah, “Kita bisa bekerja kita bisa tanam padi dan hasilkan beras sendiri,” kata Bapak suatu ketika.
Saya, memacu motor di jalanan, terus melamun sepanjang jalan, “Besok saya mesti pulang” gumam dalam hati.
“Ibu sakit, kamu harus pulang, beliau dua hari tak sadarkan diri” demikian bunyi pesan pendek dari selular nun jauh di kampung.
Ingin rasanya malam segera berlalu, biar pagi menjemput dan saya memacu kendaraan ke kampung halaman untuk menemui perempuan paro baya yang tergolek lemas di atas tikar Bidai ruang tengah Rumah papan ku.
Tidak ada yang menjaga, Bapak ke kota untuk suatu urusan, memakan beberapa hari, kembali.
Saya, oh, saya sok sibuk, saya selalu mengutamakan diri sendiri, saya egois, menempatkan pekerjaan di atas segala-galanya, tapi tidak ada hasilnya.
Sikap ini, tentu banyak yang protes, banyak, bahkan setahun terakhir sejak saya bekerja, protes dari berbagai penjuru, datang menyesak telinga, “Apa sih?”, gumam ku lagi.
Sesuai permintaan, malam berlalu, cepat rasanya. Namun, pagi harus servis pacuan biar nyaman sampai tujuan, seperti sebuah doa, “Ha…gir depan belakang, rantai, mesti diganti baru top…!”, suara hati berbisik.
Malam, sebelum tidur saya menelpon seseorang memohon doa Tuhan (kalau memang ada) maha adil, Romo Robini (Pater Rob) dengan iklas hati akan membuat misa kesembuhan ibu saya, “Siapa namanya?”, “Yuliana Sarania, Romo,” jawab saya di tengah pekatnya malam, gerbang biara berbunyi ditiup angin, bergoyang-goyang, “Haciissss, maaf saya tidak bisa kena angin malam terlalu lama, besok saya akan pimpin misa untuk kesembuhan Ibu kamu, dan sebaiknya kamu pulang, jenguk ibu mu,” kata dia lagi.
Usai meng-oke-kan perkataan dia, saya kembali memacu kawan yang selalu menggendong saya ke mana-mana, ke rumah dan tidur, tanpa mimpi apapun, “Tuhan jika engkau tidak mengabulkan aku dalam kerajaanmu, namun kabulkan kesembuhan untuk ibu ku, aku tahu Tuhan sakit hati karena aku belum sepenuhnya menganggap Tuhan ada,” kembali suara hatiku berbisik..eloy...eloy…”Tuhan maha tahu maha pengampun, meski saya bertingkah seperti Thomas,” tidur pun menjemput.
Pagi, panasnya Pontianak tak menyurutkan bangun, berfikir cepat sampai, jangan singgah-singgah. Kendaraan di pacu, cepat melesat, 1,55 menit sampai Tayan, nyeberang, 180 menit sampai di Balai Berkuak, 30 menit sampai di Kampung, Perempuan paro baya tergolek lemas, “Ibu mu tak sadarkan diri dua hari,” kata seorang bibi, “Sakit apa dia?,” tanya saya, “Badannya sakit semua, sendi-sendinya juga sakit, semua badan sakit, ada luka di badannya belum sembuh,” kata bibi yang lain.
Ibu-ibu di dapur sibuk, ada yang masak bubur, memberi babi, ayam peliharaan makan, dan sebagainya, termasuk membersihkan rumah. Saya mendekati ibu, dengan kakai yang masih berlumpur tentu juga berkeringat. Aku merasakan keningnya, panas, yang saya dengar hanya suara rintihan sakit, hati ku luluh, kenapa saya begitu durhaka?, tega meninggalkan ibu sakit seperti ini?, andai saya menunda kepulangan, tak tahu apa yang terjadi?.
Its, okay, ini pelajaran berharga, saya mesti, segera bertindak, untuk kesembuhan, saya kembali ke Balai Berkuak, dan membeli obat-obat yang harus di minumnya. Jamu, makanan dan multivitamin. Tak peduli jalan berlumpur dan malam menjemput kembali.
Di rumah sudah tidak ada apa-apa, hanya ada beras, sejak sakit, tidak ada yang memasak, apalagi anaknya jauh, selera makan orang tua hilang. Segera kembali, membawa obat yang di perlukan, di rumah, bubur ayam sudah matang, kemudian ibu diminta makan sedikit, setelah itu minum obat, dan tidur lagi.
Menjelang tengah malam, “Hen, kenapa tidur tak pakai selimut?,” suara itu begitu akrab di telinga, ketika mata di buka, “Oh, Ibuku sudah sadar, namun lelah di mata dan hatinya menjalani hidup hari-hari penuh beban tak mungkin hilang sekejap,”, “Iya, Ibu tidur saja, istirahatlah, saya sehat kok tidak apa-apa, tidurlah,” kata ku sambil menyelimuti dia, aku lihat kaki ku masih penuh lumpur. Kakinya ku tutup doble selimut, bantal ku taruh di kiri-kanan, tentu saja di kepala ada.
Dia kembali memejamkan mata, hingga esok menjemput, “Ibu cepat sembuh, anakmu yang durhaka ini kembali akan bekerja, untuk ibu, ya, untuk ibu,” gumamku…
Usai dari kantor, menuju parkiran, terlintas di benak, sosok perempuan berumur berwajah serius dengan tatapan kosong terus mengayun parang menebas belukar, untuk ladang, ya untuk ladang, menghidupkan saya, memberi makan saya ketika pulang, agar tidak dianggap pemalas yang selalu mengharap beras pemerintah, “Kita bisa bekerja kita bisa tanam padi dan hasilkan beras sendiri,” kata Bapak suatu ketika.
Saya, memacu motor di jalanan, terus melamun sepanjang jalan, “Besok saya mesti pulang” gumam dalam hati.
“Ibu sakit, kamu harus pulang, beliau dua hari tak sadarkan diri” demikian bunyi pesan pendek dari selular nun jauh di kampung.
Ingin rasanya malam segera berlalu, biar pagi menjemput dan saya memacu kendaraan ke kampung halaman untuk menemui perempuan paro baya yang tergolek lemas di atas tikar Bidai ruang tengah Rumah papan ku.
Tidak ada yang menjaga, Bapak ke kota untuk suatu urusan, memakan beberapa hari, kembali.
Saya, oh, saya sok sibuk, saya selalu mengutamakan diri sendiri, saya egois, menempatkan pekerjaan di atas segala-galanya, tapi tidak ada hasilnya.
Sikap ini, tentu banyak yang protes, banyak, bahkan setahun terakhir sejak saya bekerja, protes dari berbagai penjuru, datang menyesak telinga, “Apa sih?”, gumam ku lagi.
Sesuai permintaan, malam berlalu, cepat rasanya. Namun, pagi harus servis pacuan biar nyaman sampai tujuan, seperti sebuah doa, “Ha…gir depan belakang, rantai, mesti diganti baru top…!”, suara hati berbisik.
Malam, sebelum tidur saya menelpon seseorang memohon doa Tuhan (kalau memang ada) maha adil, Romo Robini (Pater Rob) dengan iklas hati akan membuat misa kesembuhan ibu saya, “Siapa namanya?”, “Yuliana Sarania, Romo,” jawab saya di tengah pekatnya malam, gerbang biara berbunyi ditiup angin, bergoyang-goyang, “Haciissss, maaf saya tidak bisa kena angin malam terlalu lama, besok saya akan pimpin misa untuk kesembuhan Ibu kamu, dan sebaiknya kamu pulang, jenguk ibu mu,” kata dia lagi.
Usai meng-oke-kan perkataan dia, saya kembali memacu kawan yang selalu menggendong saya ke mana-mana, ke rumah dan tidur, tanpa mimpi apapun, “Tuhan jika engkau tidak mengabulkan aku dalam kerajaanmu, namun kabulkan kesembuhan untuk ibu ku, aku tahu Tuhan sakit hati karena aku belum sepenuhnya menganggap Tuhan ada,” kembali suara hatiku berbisik..eloy...eloy…”Tuhan maha tahu maha pengampun, meski saya bertingkah seperti Thomas,” tidur pun menjemput.
Pagi, panasnya Pontianak tak menyurutkan bangun, berfikir cepat sampai, jangan singgah-singgah. Kendaraan di pacu, cepat melesat, 1,55 menit sampai Tayan, nyeberang, 180 menit sampai di Balai Berkuak, 30 menit sampai di Kampung, Perempuan paro baya tergolek lemas, “Ibu mu tak sadarkan diri dua hari,” kata seorang bibi, “Sakit apa dia?,” tanya saya, “Badannya sakit semua, sendi-sendinya juga sakit, semua badan sakit, ada luka di badannya belum sembuh,” kata bibi yang lain.
Ibu-ibu di dapur sibuk, ada yang masak bubur, memberi babi, ayam peliharaan makan, dan sebagainya, termasuk membersihkan rumah. Saya mendekati ibu, dengan kakai yang masih berlumpur tentu juga berkeringat. Aku merasakan keningnya, panas, yang saya dengar hanya suara rintihan sakit, hati ku luluh, kenapa saya begitu durhaka?, tega meninggalkan ibu sakit seperti ini?, andai saya menunda kepulangan, tak tahu apa yang terjadi?.
Its, okay, ini pelajaran berharga, saya mesti, segera bertindak, untuk kesembuhan, saya kembali ke Balai Berkuak, dan membeli obat-obat yang harus di minumnya. Jamu, makanan dan multivitamin. Tak peduli jalan berlumpur dan malam menjemput kembali.
Di rumah sudah tidak ada apa-apa, hanya ada beras, sejak sakit, tidak ada yang memasak, apalagi anaknya jauh, selera makan orang tua hilang. Segera kembali, membawa obat yang di perlukan, di rumah, bubur ayam sudah matang, kemudian ibu diminta makan sedikit, setelah itu minum obat, dan tidur lagi.
Menjelang tengah malam, “Hen, kenapa tidur tak pakai selimut?,” suara itu begitu akrab di telinga, ketika mata di buka, “Oh, Ibuku sudah sadar, namun lelah di mata dan hatinya menjalani hidup hari-hari penuh beban tak mungkin hilang sekejap,”, “Iya, Ibu tidur saja, istirahatlah, saya sehat kok tidak apa-apa, tidurlah,” kata ku sambil menyelimuti dia, aku lihat kaki ku masih penuh lumpur. Kakinya ku tutup doble selimut, bantal ku taruh di kiri-kanan, tentu saja di kepala ada.
Dia kembali memejamkan mata, hingga esok menjemput, “Ibu cepat sembuh, anakmu yang durhaka ini kembali akan bekerja, untuk ibu, ya, untuk ibu,” gumamku…