Tuesday, 27 April 2010

Disms, ditelpon berulang kali di minta pulang, saya tetap ngotot untuk bekerja-bekerja dan bekerja. Sok sibuk…!.

Usai dari kantor, menuju parkiran, terlintas di benak, sosok perempuan berumur berwajah serius dengan tatapan kosong terus mengayun parang menebas belukar, untuk ladang, ya untuk ladang, menghidupkan saya, memberi makan saya ketika pulang, agar tidak dianggap pemalas yang selalu mengharap beras pemerintah, “Kita bisa bekerja kita bisa tanam padi dan hasilkan beras sendiri,” kata Bapak suatu ketika.

Saya, memacu motor di jalanan, terus melamun sepanjang jalan, “Besok saya mesti pulang” gumam dalam hati.

“Ibu sakit, kamu harus pulang, beliau dua hari tak sadarkan diri” demikian bunyi pesan pendek dari selular nun jauh di kampung.

Ingin rasanya malam segera berlalu, biar pagi menjemput dan saya memacu kendaraan ke kampung halaman untuk menemui perempuan paro baya yang tergolek lemas di atas tikar Bidai ruang tengah Rumah papan ku.
Tidak ada yang menjaga, Bapak ke kota untuk suatu urusan, memakan beberapa hari, kembali.
Saya, oh, saya sok sibuk, saya selalu mengutamakan diri sendiri, saya egois, menempatkan pekerjaan di atas segala-galanya, tapi tidak ada hasilnya.

Sikap ini, tentu banyak yang protes, banyak, bahkan setahun terakhir sejak saya bekerja, protes dari berbagai penjuru, datang menyesak telinga, “Apa sih?”, gumam ku lagi.

Sesuai permintaan, malam berlalu, cepat rasanya. Namun, pagi harus servis pacuan biar nyaman sampai tujuan, seperti sebuah doa, “Ha…gir depan belakang, rantai, mesti diganti baru top…!”, suara hati berbisik.

Malam, sebelum tidur saya menelpon seseorang memohon doa Tuhan (kalau memang ada) maha adil, Romo Robini (Pater Rob) dengan iklas hati akan membuat misa kesembuhan ibu saya, “Siapa namanya?”, “Yuliana Sarania, Romo,” jawab saya di tengah pekatnya malam, gerbang biara berbunyi ditiup angin, bergoyang-goyang, “Haciissss, maaf saya tidak bisa kena angin malam terlalu lama, besok saya akan pimpin misa untuk kesembuhan Ibu kamu, dan sebaiknya kamu pulang, jenguk ibu mu,” kata dia lagi.

Usai meng-oke-kan perkataan dia, saya kembali memacu kawan yang selalu menggendong saya ke mana-mana, ke rumah dan tidur, tanpa mimpi apapun, “Tuhan jika engkau tidak mengabulkan aku dalam kerajaanmu, namun kabulkan kesembuhan untuk ibu ku, aku tahu Tuhan sakit hati karena aku belum sepenuhnya menganggap Tuhan ada,” kembali suara hatiku berbisik..eloy...eloy…”Tuhan maha tahu maha pengampun, meski saya bertingkah seperti Thomas,” tidur pun menjemput.

Pagi, panasnya Pontianak tak menyurutkan bangun, berfikir cepat sampai, jangan singgah-singgah. Kendaraan di pacu, cepat melesat, 1,55 menit sampai Tayan, nyeberang, 180 menit sampai di Balai Berkuak, 30 menit sampai di Kampung, Perempuan paro baya tergolek lemas, “Ibu mu tak sadarkan diri dua hari,” kata seorang bibi, “Sakit apa dia?,” tanya saya, “Badannya sakit semua, sendi-sendinya juga sakit, semua badan sakit, ada luka di badannya belum sembuh,” kata bibi yang lain.

Ibu-ibu di dapur sibuk, ada yang masak bubur, memberi babi, ayam peliharaan makan, dan sebagainya, termasuk membersihkan rumah. Saya mendekati ibu, dengan kakai yang masih berlumpur tentu juga berkeringat. Aku merasakan keningnya, panas, yang saya dengar hanya suara rintihan sakit, hati ku luluh, kenapa saya begitu durhaka?, tega meninggalkan ibu sakit seperti ini?, andai saya menunda kepulangan, tak tahu apa yang terjadi?.
Its, okay, ini pelajaran berharga, saya mesti, segera bertindak, untuk kesembuhan, saya kembali ke Balai Berkuak, dan membeli obat-obat yang harus di minumnya. Jamu, makanan dan multivitamin. Tak peduli jalan berlumpur dan malam menjemput kembali.

Di rumah sudah tidak ada apa-apa, hanya ada beras, sejak sakit, tidak ada yang memasak, apalagi anaknya jauh, selera makan orang tua hilang. Segera kembali, membawa obat yang di perlukan, di rumah, bubur ayam sudah matang, kemudian ibu diminta makan sedikit, setelah itu minum obat, dan tidur lagi.

Menjelang tengah malam, “Hen, kenapa tidur tak pakai selimut?,” suara itu begitu akrab di telinga, ketika mata di buka, “Oh, Ibuku sudah sadar, namun lelah di mata dan hatinya menjalani hidup hari-hari penuh beban tak mungkin hilang sekejap,”, “Iya, Ibu tidur saja, istirahatlah, saya sehat kok tidak apa-apa, tidurlah,” kata ku sambil menyelimuti dia, aku lihat kaki ku masih penuh lumpur. Kakinya ku tutup doble selimut, bantal ku taruh di kiri-kanan, tentu saja di kepala ada.

Dia kembali memejamkan mata, hingga esok menjemput, “Ibu cepat sembuh, anakmu yang durhaka ini kembali akan bekerja, untuk ibu, ya, untuk ibu,” gumamku…
Di bekas rumah sakit Misi Katolik, komplek Pastoran Sejiram, Kecamatan Seberuang, Kapuas Hulu, Kalbar, di salah satu sudut ruangan, tergantung beberapa tas kecil dan sampul madah bakti berhiaskan motif tenun ikat Sintang.
Di atas meja, terdapat beberapa buah resleting yang sudah dipotong terukur, benang jahit dan gulungan kain tenun. Empat mesin jahit manual peninggalan Pastor Belanda puluhan tahun lalu, masih layak di pergunakan.
“Mesinnya diputar pakai tangan, ini peninggalan pastor misi dulu, masih bagus,” terang Andreas Tinjau (40) sambil memutar mesin jahit Butterfly.
Anak kelima dari enam bersaudara kelahiran Kelakau Desa Tanjung Keliling, Kecamatan Seberuang Kapuas Hulu itu, sejak 1998, merintis usaha kerajinan kecil. Membuat sampul madah bakti (buku nyanyian umat Katolik, red) pesanan Keuskupan Sintang dan tas jinjing untuk ibu-ibu.
Di bekas rumah sakit yang kini menjadi gedung tua nan sunyi itu, Andreas Tinjau tinggal bersama keponakannya, Riswani (26). Riswani-lah yang memasak untuk mereka berdua, dan membantu membeli bahan baku pembuat sampul madah bakti serta tas jinjing, ke Sintang bahkan ke Putussibau Ibukota Kabupaten Kapuas Hulu.
Bahan baku sampul madah bakti biasanya sudah di dropping dari Sintang, tinggal Andreas di bantu tiga karyawannya, membuat sesuai desain pesanan. Per-sampul dihargai Rp 22.000. Tas Rp 175.000.
“Tas sulit lakunya, karena tidak ada yang memasarkan, paling kalau ada pengunjung, mereka membeli langsung ke sini,” terang Andreas.
Tas buatan Andreas tidak kalah bagusnya dengan tas ibu-ibu buatan umumnya. Design masa kini. Tas made in Sejiram ini, dibalut motif tenun ikat khas Dayak Sintang, proses pembuatannya pun sangat hati-hati agar tidak mengecewakan pelanggan, kualitas bahannya juga dari bahan tas umumnya, ada yang dari sintetis dan kulit. Satu hari bisa memproduksi lima sampai sepuluh tas.
Menurut Andreas, Keuskupan Sintang, sejak tahun 1998 sudah tidak memesan sampul madah bakti ke Jawa lagi, sebab dirinya-lah yang memenuhi keperluan tersebut.

Sempat putus asa
Meski hidup dengan keterbatasan fisik, Andreas Tinjau, tidak menyerah. Untuk memotivasi dirinya, ada pesan tertulis di ruang kerja berukuran 5x4 meter itu. Tergantung di bawah dua sertifikat dari Dinas Perindustrian dan Perdaangan Kabupaten Kapuas Hulu. ‘Penyandang cacad tidak membutuhkan belas kasihan melainkan sebuah kesempatan’.
Stiker tersebut dibuat kelompok studi dan pengkajian penyandang cacad Indonesia (KSPPCI) yang beralamat di Surakarta Jawa Tengah. “Saya sempat putus harapan, namun kita harus berfikir kembali, kita jangan terus bersedih,” katanya sambil menatap ke dua kakinya.
Dalam keputusasaan itu, Pastor Budi Priatna dari Ordo Oblat Maria Immaculata (OMI) (almarhum) yang bertugas di Paroki Sejiram, membawa Andreas Tinjau ke Yoyakarta, untuk belajar di Yakum (Panti Cacad), sejak 1995-1997.
Jatuh dari pohon rambutan 20 tahun lalu, membuat, kedua kakinya cacad permanen, sehingga untuk berjalan harus mengunakan kursi roda. Kondisi demikian membuat almarhum Pastor Budi yang asli Cilacap Jawa Tengah, membawa Andreas ke Yogyakarta untuk belajar keterampilan, seperti membuat tas dan kerajinan industri rumah tangga lainnya.
Sehingga sejak kembali ke Kalbar, 1998, Andreas merintis usaha kecil untuk menopang hidup. Sempat menampung tiga karyawan, namun karena bahan baku kurang dan sulit untuk memberi honor, Andreas terpaksa merumahkan sementara karyawannya, “Nanti kalau ada pesanan lagi baru saya panggil,” terang dia.
Andreas Tinjau, tangannya tetap kuat mencengkram pemutar kursi roda yang setia mengantarkan ke mana pun pergi, seperti juga memutar roll mesin jahit tetap ia lakukan, untuk hidup, tanpa harus bergantung dengan orang lain.
Tekadnya untuk tetap meneruskan pekerjaan ini walau keuntungan hanya cukup buat makan, tidak lagi membuatnya putus harapan. Andreas seperti dia tuturkan, ingin juga sukses, sifatnya yang pantang menyerah seolah menunjukan ke masyarakat bahwa orang dengan kekurangan fisik juga bisa berkarya, tanpa harus menadahkan tangan ke setiap pengendara di perempatan jalan di kota-kota besar.