Sunday, 12 June 2011

Tangan ku tak lincah lagi, oretan pena yang tak lagi lentur, setelah sekian lama meninggalkan dunia tulis-menulis. Setiap saat hasrat muncul, menulis yang terlihat dan dirasakan, ingin mengoret pena namun selalu saja iba tak kuasa. Masalah perut yang membuat aku menjadi begini, seolah tidak mau lagi kata idealisme, hiruk-pikuknya kota, glanmournya para penguasa, nikmatnya setiap sudut warung kopi.
Aku tak bisa hidup dengan idealisme, omong kosong, anak istriku mau makan apa?, gumam ku suatu ketika, profesi ini sangat mulia, indah dan disukai rakyat dibenci orang berdosa, takut saja aibnya terbongkar di publik. Namun lebih dari itu, kehidupan hanya satu kali, nasib diri sendiri ditentukan tangan sendiri, pena memang bisa merubah nasib, namun manusia selalu menghalanginya. Nasib…ah…hanya kata yang membuatku muak dengan idealism semu, yang dibalut kemunafikan, kotor namun terlihat tak bercela. Puih….!
Asa ku berubah ketika mataku terbelalak melihat kawan-kawan yang sudah jauh melangkah, mengendarai nasib, bukan dikendarai nasib. Sampai akhirnya aku putuskan untuk merubah jalur, berkendara dengan sedikit kemunafikan, merusak, menipu entah apapun nama yang disematkan bagiku, tak peduli. Saat ini aku hanya ingin keluargaku tak kencang dengan hidupmengkritik, tak kenyang hanya hidup dengan mencela, jadilah pelaku hidup, meski dicaci maki, tak hanya mulut dan tangan yang bicara tapi hati dan perbuatan adalah aksi nyata untuk berbagi kebahagiaan, bukan kebahagiaan semu lho. Bisa juga disebut mengikuti jejak tikus-tikus negeri yang mencuri uang di brankas negari kemudian menikmatinya di belahan dunia lain, Singgepor (Singapura), Malay, London bahkan Amerikano,Spanyola, Baliano (Bali bah eh).
Menguasai ilmu jurnalistik berarti menguasai dunia, namun penguasa para jurnalis secara nyata menguasai dunia, bisa keliling dunia bahkan membeli sebagian dunia. Lihat saja, lobinya sampai mendirikan partaipun bisa. Disini sebenarnya hati nurani semakin hilang, saat tujuan sudah dibalut kepentingan, saat idealism sudah beralih ke kepentingan perut, ya… serakah jadinya.
Jika situasi seperti ini, mari kita sama-sama munafik, sama-sama menjual diri, sama-sama merusak tatanan negeri yang kita ukir lewat moncong peluru para pahlawan. Sudahlah terlalu banyak ngawur saya menulis…ini hanya kegusaran hati melihat pekerjaan menumpuk, bingung mau marah dengan siapa…? Selamat bermain dengan idealisme..jangan marah, namanya juga omong kosong, hargai hidup berusahalah selagi bisa. Betul…?!