Sunday, 3 June 2012






Kampung Gumbang Wilayah Kuching Serawak
Laki-laki menyodorkan 50 Ringgit ke temannya yang datang dari arah PPLB Entikong-Indonesia. Transaksi berjarak 100 meter dari PPLB Tebedu, kemudian penyodor berlalu dengan beberapa orang berperawakan khas Indonesia Timur. Laki-laki yang menerima Ringgit kembali memutar ke Entikong, “Mengantar teman” katanya kepada dua Rela (Security) yang bertugas membuka tutup pintu masuk PPLB Tebedu-Malaysia. Kedua petugas Rela itu hanya mengangguk kemudian membukakan pintu, Dia pun bergegas.  Menurut seorang teman yang sehari-hari nongkrong di kawasan Perbatasan, jika orang perbatasan yang keluar masuk PLB apalagi sudah kenal, tidak terlalu dicurigai, apalagi laki-laki tadi yang hampir puluhan kali dalam sehari keluar masuk pintu batas dua negara itu, biasanya membawa banyak orang ke Malaysia.

Jalan Berkesan
Melewati Tebedu serasa masuk kawasan wisata, karena Malaysia memang membuat teras negaranya berkesan bagi pengunjung, selain tidak ditemukan lagi berbagai macam calo, taman pinggir jalan tertata rapi, jalan lintas perbatasan mulus, tidak ada lubang menganga, kontras dengan Entikong-Pontianak, lubang menganga setiap saat menunggu mangsa, kaki atau kepala yang luka bahkan patah pecah berkeping kalau tidak hati-hati. Jalan ke Kuching lebar. Bahkan dari Serian-Kuching mengalahkan jalan protokol di Jawa yang macet dan semerawut,jangan bandingkan dengan infrastruktur Kalimantan bagian Indonesia, mungkin sama atau lebih tidak baik dari jalan ke kampung-kampung di Kawasan Kuching.
Di Kuching, walau kendaraan roda empat atau lebih begitu berseliweran, tidak membuat macet, di jalan raya, apabila diketahui memacu Kereta melebihi kecepatan 90 km maka siap-siap merogoh kocek untuk membayar denda tilang, kamera pengintai dipasang di setiap sudut jalan rawan, “Di sini aturan lalu lintas tak kenal kompromi, melanggar ya tilang,” terang Erwin seorang teman dari Entikong yang satu rombongan. Erwin hampir setiap hari ke luar negeri Serian atau Kuching bahkan hanya untuk makan siang dengan rekan bisnis. Dia menguasai betul bahasa dan langgam Melayu negeri tetangga itu, Saya banyak belajar dari dia tentang Malaysia Timur khususnya Khucing dan sekitarnya. Kawasan perbatasan di Malaysia benar-benar menjadi beranda negara yang santun, indah, paling                                                                                                                                                                                                                                tidak tiada pemeriksaan aparat berlapis, apalagi harus memberi uang tips di setiap pos.

Gawai
Saya tak ambil pusing, apakah yang pria paro baya tadi transaksi llegal atau tidak, karena kami sendiri datang secara legal, dan dalam misi Ngabang Gawai di Negara Bagian Sabah Serawak. Ngabang adalah sebutan untuk istilah nonton Gawai dalam bahasa Dayak Bidayuh. Kalau bahasa Dayak Kualatn, Ngabakng, artinya sama.  Di Malaysia Timur, Gawai sudah menjadi hari besar nasional, karena menghargai Etnik Dayak sebagai penduduk asli pulau Borneo ini untuk mengucap syukur karena hasil panen Padi berlimpah, maka pemerintah Malaysia membuat aturan resmi perayaan Gawai. Negara Malaysia yang mayoritas Islam, toleran dengan Gawai sehingga menjadi agenda negara setiap tahun, Bila Gawai, toko-toko dan kilang di tutup, “Di sini bila gawai maka Pasaraya dan Kilang ditutup, karena pekerja pulang kampung untuk merayakan Gawai,” terang Peter Lai yang etnik Tiong Hoa Khek beragama Khatolik. Peter orangnya sabar . Dia membawa serta istri dan abang iparnya memandu kami selama berkeliling di Sabah-Serawak, Peter bekerja di Kuching. Dua anaknya sudah menyelesaikan perguruan tinggi di Kuching. Dia aktif di Gereja, Dia bertugas mengupdate setiap minggu foto gereja-gereja Paroki di Keuskupan Kuching.
Gawai yang dirayakan setiap awal Juni, mengundang tidak sedikit masyarakat Indonesia perbatasan ke Malaysia bertemu saudaranya. Pemeriksaan oleh Polis Diraja Malaysia (PDRM) pun tak seketat hari biasa, cukup membuka kaca pintu dan melambaikan tangan tentu dengan senyuman. Apabila ditanya, bilang saja mau Gawai, maka kita dibiarkan lewat, namun bukan berarti mereka lengah, hanya saja kita tak perlu singgah dan member tips hehe... Gawai di Malaysia dikemas sebagai event wisata budaya, menyedot banyak pegunjung dari luar negeri, terutama Indonesia kawasan perbatasan, bahkan dari Piliphina. Masyarakat perbatasan Indonesia dari Aruk sampai Badau pada pekan Gawai berbondong-bondong ke Malaysia Timur untuk mengunjungi saudaranya. Di Kota Kuching, baliho ucapan selamat Gawai berseliweran, bahkan di beberapa Pasaraya (Supermarket) kantong plastik pembungkus belanjaan bergambar orang Dayak main alat music Sape (sejenis gitar), dan ada tulisan Selamat Gawai. Utusan Borneo, salah satu Koran terbesar di Kuching, mengutip pernyataan Yang di-Pertua Negeri Tun Datuk Patinggi Abang Muhammad Salahudin, yang juga dijadikan Headline pada Koran tersebut hari Jumat (1/6), Tun Salahudin mengharapkan, Gawai sebagai identitas Kaum Dayak harus terus di lestarikan, Gawai, menunjukan tanda syukur dan terima kasih atas rejeki yang diperoleh, dalam Gawai juga dipanjatkan doa agar dimurahkan rejeki tahun yang akan datang.
Yang di-Pertua Negeri tersebut juga mengingatkan agar perbedaan jangan menjadi penghalang untuk bersatu menuju sebuah negara yang dinamis dan progresif. Selama 49 tahun Sarawak Merdeka dalam Malaysia, setiap masyarakat seperti halnya Etnik Dayak bebas mengamalkan tradisi dan agama masing-masing. Pernyataan ini sejalan dengan konsep Satu Malaysia yang mengajak untuk menerima keunikan kaum lain apa adanya agar dapat hidup dalam suasana hormat menghormati satu sama lain.
Bersama Penyiar Gawai FM di Kampung Suba Buan Kuching
Di Indonesia sendiri khususnya di Kalimantan, event Gawai tidak bersamaan, bahkan di Kalimantan Barat, perayaan Gawai terbesar hanya di Pontianak, pun tanggalnya berbeda dengan Gawai di kampung-kampung, ini karena tidak ada aturan yang jelas mengenai peringatan salah satu event kebudayaan Dayak tersebut, terkesan tidak ada kekompakan.

Hari Gawai Semua
Jalan mulus beraspal menuju kampung mungil ditempuh satu jam dari Kota Kuching, membuat Saya ngantuk, karena kaca pintu Kereta Daihatsu yang kami tumpangi sengaja diturunkan untuk menikmati udara malam berhembus seakan mendorong Saya ke sandaran kursi setelah itu memaksa menutup kelopak mata biar terlelap. Tapi Saya lawan, karena kali pertama masuk kampung di negara lain memunculkan beribu pertanyaan.
Adalah kampung Sengai di kawasan Bau, Kuching, dilihat dari bangunan, tak ubahnya perkampungan di Eropa. Bersih, rumput tertata rapi di sekeliling rumah yang juga bergaya Barat. Yang membedakan hanya tanaman liar membuat saya teringat kampung halaman di pedalaman kabupaten Ketapang Kalimantan Barat Indonesia, hampir tak berbeda, Pakis, Bambu tumbuh dengan hijaunya di sekeliling kampung, tak terkecuali pohon karet yang menjadi primadona petani di Kawasan Malaysia Timur. Karena dengan Karet, hampir setiap rumah terparkir berjejer Sedan proton sampai Alphard 2-3 buah. Mereka membelinya dengan kredit, karena kalau pembelian Cash  maka dikenakan pajak, bahkan ditambah pajak orang kaya. Harganya pun terjangkau, karenanya petani karet bisa membeli kendaraan bernama Kereta dalam bahasa Malaysia itu.
Di Sengai kami mengunjungi Keluarga rumah Tina Jerome, Dia menyambut kami ramah, kami dihidangkan nasi dari beras merah dan daging Babi. Wajah Tina khas  Tiong Hoa, namun merayakan Gawai. Tak hanya makanan, Bangunan minimalis Style Eropa tersebut dihiasi ornament Dayak, mulai dari Bidai untuk alas lantai ruang tamu dan gantungan-gantungan tenun ikat Dayak Iban rapi di dinding. Teriakan Tere (tos-tosan) malam itu meriuh diantara hembusan angin malam dan sinar rembulan, “Tere…! Ting…!” demikian suara gelas beradu, kemudian masing-masing menenggak.
Tiga Jam dari Siding Indonesia
Jika pepera seperti Timor Leste, mungkin banyak masyarakat perbatasan Indonesia yang akan memilih bergabung ke Malaysia, karena mereka menganggap di Malaysia, segala kebutuhan bisa mereka penuhi dengan harga terjangkau dan transportasi lebih bagus, apalagi kualitas pendidikan, jangan ditanya. Di Kampung Gumbang Distrik Bau, Kuching, masyarakat Dayak Bidayuh fasih berbahasa Indonesia, mereka mengaku masih punya keluarga di Jagoi Babang dan Siding Kabupaten Bengkayang- Indonesia yang juga rumpun Bidayuh, bahkan ketika kami Ngabang Gawai ke kampung yang dipenuhi batu besar tersebut, kami bertemu orang Siding berbelanja ke Market Gumbang, Siding-Gumbang tiga jam dengan berjalan kaki. Naik Gunung kemudian turun sudah sampai di Siding. Menurut masyarakat Gumbang, mereka dulu Indonesia, namun karena ada aturan nenek moyang mereka bahwa perbatasan dengan berdasarkan Sungai, maka mereka yang di seberang bergabung dengan Malaysia, hanya saja, administrasi negara tak mungkin memisahkan kekerabatan mereka. Salah seorang warga Gumbang mengatakan, kalau Gunung Api tidak mereka ganggu, banyak pohon buah-buahan seperti Durian. Di sela-sela batu itu mereka mendirikan rumah, bukan menjadi kendala, malah rumah mereka sekokoh batu dan beberapa sudah bergaya Eropa.
Masyarakat Gumbang juga pandai memanfaatkan batu-batu itu untuk tempat santai, malah ada yang dibor untuk pondasi penggilingan karet. Kebersihan, jangan ditanya, di sela-sela bebatuan sudah dibeton, tidak ada menginjak tanah, saya berpikir, jika kampung di pedalaman Ketapang Kalimantan Barat Indonesia seperti Kangking atau Sungai Bansi dibuat seperti itu, mungkin  daerah miskin di Indonesia berkurang.
Kampung Gumbang hampir semuanya Dayak Bidayuh, mereka sembayang saja menggunakan bahasa Dayak Bidayuh. Letak kampung itu di kaki Bukit, kampung unik karena banyak batu besar. Batu diduga berasal dari atas gunung sejak nenek moyang, gunung yang ada di atas kampung disebut gunung api, kemiringan mencapai 45 derajat. Mereka mau ambil kayu untuk bahan rumah harus ijin pemerintah setempat, biasanya ke perbatasan Indonesia, tidak sedikit, ladang mereka yang masuk dalam kawasan Indonesia, hanya saja tetap dibawah pengawasan penerintah setempat. Mereka mengatakan, kami ada dan sudah bersaudara sebelum negara ada dan memisahkan mereka. Interaksi dengan masyarakat Siding yang juga Bidayuh, baik, malah sering dilakukan pertemuan Adat. Walau terkesan menyalahi aturan pemerintah, menyeberang untuk berbelanja atau silaturahmi bukan hal baru, toh Pemerintah Indonesia tidak mampu membangun perbatasan menjadi lebih baik dalam berbagai hal, apalagi pendidikannya.
Salah satu rumah yang kami kunjungi milik Cik Gu Piter Asai, anaknya yang pertama mengikuti jejak ayahnya menjadi Cik Gu, yang kedua Askar Darat bahagian Kerani Gaji, kalau di Indonesia sebagai tentara logistik. Jangan disangka seram, seperti Polisi dan Tentara Indonesia kebanyakan, senyum ramah dibalik tubuh kekar jelas terlihat, menurutnya, mungkin bawaan dari kantor yang harus sabar melayani prajurit ketika mengantre mengambil gaji. Jauh berbeda dengan sorot mata Tentara Indonesia penjaga perbatasan yang angker, moncong terkokang, mengerikan, tak ada senyum di sana. Tidak salah kalau Malaysia membangun perbatasannya dengan pendekatan sosial ekonomi, bukan militer dan pegawai titipan.  Jangan salahkan jika suatu saat militer akan menjadi hantu yang menakutkan di perbatasan Indonesia, apalagi militer Indonesia.

Pejabat Merawa Distric

Kampung Jantan dan Bubur Tupai
“Disini tidak ada perempuan, di sini laki-laki semua, makanya dikatakan kampung Jantan,” ujar Lazarus Swinie berseloroh, yang disambut tawa kami yang baru datang, hidangan di meja menggoda, tidak salah beberapa kawan mengatakan Saya tukang makan hehe….
Lazarus Swinie adalah imam Katolik yang bertugas di Gereja Holy Spirit, Gereja Paroki termuda dari 13 Paroki Keuskupan Kuching. Dia menunggu kami di Kampung kelahirannya Jantan, yang berasal dari kata Jantaatn. Jantaatn adalah buah akar berwarna kuning bila sudah matang, di Kampung Saya juga banyak buah yang enak dimakan tersebut, rasanya sedikit kecut, namun bila sudah sangat matang, manis. Bisa juga dibikin rujak. Di Kampung Jantan, 90 persen orang Ahe, 20 buah rumah terbangun megah, di halaman, dua sampai tiga Mobil mewah terparkir, bahkan diantaranya Hilux putih doble kabin.  Menurut padre Swinie, masyarakat Dayak di situ fasih berbahasa Ahe, karena nenek moyang mereka orang Kanayatn. Kampung yang jalannya baru dibangun pemerintah Malaysia tersebut tidak jauh lagi dari perbatasan  Indonesia. Saya pikir orang Kanayatn  hanya di Ngabang atau Ambawang, ternyata di Distrik Lundu, kampung Jantan, Malaysia juga ada. Saya kaget, ketika bersalaman, bahasa Ahe-nya kental, malah lebih ramah.
Di Kampung Jantan kami disuguhi makanan yang tak berbeda dengan hidangan Indonesia, ada Sayap Ayam Bakar, Babi, Sop dan Bubur Tupai. Yang unik adalah Bubur Tupai, Saya tidak boleh memakannya, karena pantangan penyakit, walaupun hasrat hampir tak terbendung untuk mencicipi. Kawan-kawanlah yang lahap. Bubur Tupai berubah menjadi menu utama, beberapa kawan tidak melirik menu lain, karena Bubur Tupai, selama hidup mereka, baru menyantapnya di Kampung Jantan, Saya sendiri baru melihat, karena di Pontianak adanya Bubur Ayam, Babi dan Ikan.
Mula-mula Padre Swinie menghidangnya di Baskom, namun tidak berapa lama habis, dikeluarkannya lagi satu baskom, juga habis, akhirnya imam tinggi besar tersebut mengangkat periuknya dari dapur, yang akhirnya Bubur Tupai itu tak bersisa. Namun masih saja ada yang mengaku belum puas, bahkan salah satu kawan bernazar akan mencobanya di Indonesia bila mendapat Tupai akan dibuat bubur, mudah-mudahan rasanya sama dengan yang dihidangkan Padre Swinie.

Dry Port Impor...?!
Di Serian, beberapa pedagang dan pembeli dari Indonesia, mereka bertransaksi kebutuhan sehari-hari, karena lebih murah dan lebih dekat ke Entikong, Balai Karangan dan Beduai bahkan Kembayan yang merupakan jalur perbatasan . Di sini pun sedikit sekali melihat kendaraan roda dua.
Harga Sembako dibanding ke Pontianak atau Sanggau yang jauh dan harga barang selangit, Serian menjadi pilihan. Kota Besar yang paling dekat dengan Entikong-Indonesia tersebut menjadi pusat perbelanjaan yang menjanjikan. Bisa jadi jika Dry Port berdiri di Entikong, maka Serian menjadi Bandar yang sangat maju. Nah, Indonesia kemungkinan di Balai Karangan, namun di Balai Karangan bertaburan produk Sembako dari Malaysia. Sama saja jika Dry Port berdiri maka impor semakin meraja lela.
Sayuran di Serian memang mahal, namun daging dan ikan yang diisukan berformalin sebenarnya lebih segar dari ikan kebanyakan di pasar Indonesia, harganya lebih murah. Terung Asam saja yang mahal, karena dari Indonesia, namun tak sedikit juga orang Indonesia membelinya kembali, tentu dengan harga yang juga mahal, tak apa asalkan sebutannya makanan luar negeri.
Entah mengapa setiap pemberitaan di media di Indonesia selalu memvonis produk jiran berformalin? Namun justru produk Jiran From Serian digemari. Kalau tidak percaya coba anda di warung sepanjang perbatasan Indonesia, belilah minuman kaleng, makanan ringan atau air mineral, dengan membaca tulisan di bungkusan, maka akan tahu asalnya darimana. Memang pepatah mengatakan, lebih baik hujan batu di negeri sendiri dari pada hujan emas di negeri orang, namun kalau batu turun terus menerus dari Gunung Merapi, orang Jogja-Jateng dan Jabar pasti mengungsi, iya kan?