Kampung Gumbang Wilayah Kuching Serawak |
Laki-laki menyodorkan 50 Ringgit ke temannya yang datang
dari arah PPLB Entikong-Indonesia. Transaksi berjarak 100 meter dari PPLB
Tebedu, kemudian penyodor berlalu dengan beberapa orang berperawakan khas
Indonesia Timur. Laki-laki yang menerima Ringgit kembali memutar ke Entikong,
“Mengantar teman” katanya kepada dua Rela (Security) yang bertugas membuka
tutup pintu masuk PPLB Tebedu-Malaysia. Kedua petugas Rela itu hanya mengangguk
kemudian membukakan pintu, Dia pun bergegas. Menurut seorang teman yang sehari-hari
nongkrong di kawasan Perbatasan, jika orang perbatasan yang keluar masuk PLB
apalagi sudah kenal, tidak terlalu dicurigai, apalagi laki-laki tadi yang
hampir puluhan kali dalam sehari keluar masuk pintu batas dua negara itu, biasanya
membawa banyak orang ke Malaysia.
Jalan Berkesan
Melewati Tebedu serasa masuk kawasan wisata, karena Malaysia
memang membuat teras negaranya berkesan bagi pengunjung, selain tidak ditemukan
lagi berbagai macam calo, taman pinggir jalan tertata rapi, jalan lintas
perbatasan mulus, tidak ada lubang menganga, kontras dengan Entikong-Pontianak,
lubang menganga setiap saat menunggu mangsa, kaki atau kepala yang luka bahkan patah
pecah berkeping kalau tidak hati-hati. Jalan ke Kuching lebar. Bahkan dari
Serian-Kuching mengalahkan jalan protokol di Jawa yang macet dan semerawut,jangan
bandingkan dengan infrastruktur Kalimantan bagian Indonesia, mungkin sama atau lebih
tidak baik dari jalan ke kampung-kampung di Kawasan Kuching.
Di Kuching, walau kendaraan roda empat atau lebih begitu
berseliweran, tidak membuat macet, di jalan raya, apabila diketahui memacu
Kereta melebihi kecepatan 90 km maka siap-siap merogoh kocek untuk membayar
denda tilang, kamera pengintai dipasang di setiap sudut jalan rawan, “Di sini
aturan lalu lintas tak kenal kompromi, melanggar ya tilang,” terang Erwin
seorang teman dari Entikong yang satu rombongan. Erwin hampir setiap hari ke
luar negeri Serian atau Kuching bahkan hanya untuk makan siang dengan rekan
bisnis. Dia menguasai betul bahasa dan langgam Melayu negeri tetangga itu, Saya
banyak belajar dari dia tentang Malaysia Timur khususnya Khucing dan
sekitarnya. Kawasan perbatasan di Malaysia benar-benar menjadi
beranda negara yang santun, indah, paling tidak
tiada pemeriksaan aparat berlapis, apalagi harus memberi uang tips di setiap
pos.
Gawai
Saya tak ambil pusing, apakah yang pria paro baya tadi transaksi
llegal atau tidak, karena kami sendiri datang secara legal, dan dalam misi
Ngabang Gawai di Negara Bagian Sabah Serawak. Ngabang
adalah sebutan untuk istilah nonton Gawai dalam bahasa Dayak Bidayuh. Kalau
bahasa Dayak Kualatn, Ngabakng, artinya sama. Di Malaysia Timur, Gawai sudah menjadi hari
besar nasional, karena menghargai Etnik Dayak sebagai penduduk asli pulau
Borneo ini untuk mengucap syukur karena hasil panen Padi berlimpah, maka
pemerintah Malaysia membuat aturan resmi perayaan Gawai. Negara Malaysia yang
mayoritas Islam, toleran dengan Gawai sehingga menjadi agenda negara setiap
tahun, Bila Gawai, toko-toko dan kilang di tutup, “Di sini bila gawai maka
Pasaraya dan Kilang ditutup, karena pekerja pulang kampung untuk merayakan
Gawai,” terang Peter Lai yang etnik Tiong Hoa Khek beragama Khatolik. Peter
orangnya sabar . Dia membawa serta istri dan abang iparnya memandu kami selama
berkeliling di Sabah-Serawak, Peter bekerja di
Kuching. Dua anaknya sudah menyelesaikan perguruan tinggi di Kuching. Dia aktif
di Gereja, Dia bertugas mengupdate setiap minggu foto gereja-gereja Paroki di
Keuskupan Kuching.
Gawai yang dirayakan setiap awal Juni, mengundang tidak
sedikit masyarakat Indonesia
perbatasan ke Malaysia
bertemu saudaranya. Pemeriksaan oleh Polis Diraja Malaysia (PDRM) pun tak
seketat hari biasa, cukup membuka kaca pintu dan melambaikan tangan tentu
dengan senyuman. Apabila ditanya, bilang saja mau Gawai, maka kita dibiarkan
lewat, namun bukan berarti mereka lengah, hanya saja kita tak perlu singgah dan
member tips hehe... Gawai di Malaysia dikemas sebagai event wisata budaya,
menyedot banyak pegunjung dari luar negeri, terutama Indonesia kawasan perbatasan,
bahkan dari Piliphina. Masyarakat perbatasan Indonesia dari Aruk sampai Badau pada
pekan Gawai berbondong-bondong ke Malaysia Timur untuk mengunjungi saudaranya. Di
Kota Kuching, baliho ucapan selamat Gawai berseliweran, bahkan di beberapa Pasaraya
(Supermarket) kantong plastik pembungkus belanjaan bergambar orang Dayak main
alat music Sape (sejenis gitar), dan ada tulisan Selamat Gawai. Utusan Borneo,
salah satu Koran terbesar di Kuching, mengutip pernyataan Yang di-Pertua Negeri
Tun Datuk Patinggi Abang Muhammad Salahudin, yang juga dijadikan Headline pada
Koran tersebut hari Jumat (1/6), Tun Salahudin mengharapkan, Gawai sebagai
identitas Kaum Dayak harus terus di lestarikan, Gawai, menunjukan tanda syukur
dan terima kasih atas rejeki yang diperoleh, dalam Gawai juga dipanjatkan doa
agar dimurahkan rejeki tahun yang akan datang.
Yang di-Pertua Negeri tersebut juga mengingatkan agar
perbedaan jangan menjadi penghalang untuk bersatu menuju sebuah negara yang
dinamis dan progresif. Selama 49 tahun Sarawak Merdeka dalam Malaysia,
setiap masyarakat seperti halnya Etnik Dayak bebas mengamalkan tradisi dan
agama masing-masing. Pernyataan ini sejalan dengan konsep Satu Malaysia yang
mengajak untuk menerima keunikan kaum lain apa adanya agar dapat hidup dalam
suasana hormat menghormati satu sama lain.
Bersama Penyiar Gawai FM di Kampung Suba Buan Kuching |
Di Indonesia sendiri khususnya di Kalimantan, event Gawai
tidak bersamaan, bahkan di Kalimantan Barat, perayaan Gawai terbesar hanya di
Pontianak, pun tanggalnya berbeda dengan Gawai di kampung-kampung, ini karena
tidak ada aturan yang jelas mengenai peringatan salah satu event kebudayaan Dayak
tersebut, terkesan tidak ada kekompakan.
Hari Gawai Semua
Jalan mulus beraspal menuju kampung mungil ditempuh satu jam
dari Kota Kuching, membuat Saya ngantuk, karena kaca pintu Kereta Daihatsu yang
kami tumpangi sengaja diturunkan untuk menikmati udara malam berhembus seakan
mendorong Saya ke sandaran kursi setelah itu memaksa menutup kelopak mata biar
terlelap. Tapi Saya lawan, karena kali pertama masuk kampung di negara lain
memunculkan beribu pertanyaan.
Adalah kampung Sengai di kawasan Bau, Kuching, dilihat dari
bangunan, tak ubahnya perkampungan di Eropa. Bersih, rumput tertata rapi di
sekeliling rumah yang juga bergaya Barat. Yang membedakan hanya tanaman liar membuat
saya teringat kampung halaman di pedalaman kabupaten Ketapang Kalimantan Barat
Indonesia, hampir tak berbeda, Pakis, Bambu tumbuh dengan hijaunya di
sekeliling kampung, tak terkecuali pohon karet yang menjadi primadona petani di
Kawasan Malaysia Timur. Karena dengan Karet, hampir setiap rumah terparkir
berjejer Sedan
proton sampai Alphard 2-3 buah. Mereka membelinya dengan kredit, karena kalau
pembelian Cash maka dikenakan pajak,
bahkan ditambah pajak orang kaya. Harganya pun terjangkau, karenanya petani
karet bisa membeli kendaraan bernama Kereta dalam bahasa Malaysia itu.
Di Sengai kami mengunjungi Keluarga rumah Tina Jerome, Dia
menyambut kami ramah, kami dihidangkan nasi dari beras merah dan daging Babi. Wajah
Tina khas Tiong Hoa, namun merayakan
Gawai. Tak hanya makanan, Bangunan minimalis Style Eropa tersebut dihiasi
ornament Dayak, mulai dari Bidai untuk alas lantai ruang tamu dan
gantungan-gantungan tenun ikat Dayak Iban rapi di dinding. Teriakan Tere
(tos-tosan) malam itu meriuh diantara hembusan angin malam dan sinar rembulan,
“Tere…! Ting…!” demikian suara gelas beradu, kemudian masing-masing menenggak.
Tiga Jam dari Siding Indonesia
Jika pepera seperti Timor Leste, mungkin banyak masyarakat
perbatasan Indonesia yang akan memilih bergabung ke Malaysia, karena mereka
menganggap di Malaysia, segala kebutuhan bisa mereka penuhi dengan harga
terjangkau dan transportasi lebih bagus, apalagi kualitas pendidikan, jangan
ditanya. Di Kampung Gumbang Distrik Bau, Kuching, masyarakat Dayak Bidayuh fasih
berbahasa Indonesia, mereka mengaku masih punya keluarga di Jagoi Babang dan
Siding Kabupaten Bengkayang- Indonesia yang juga rumpun Bidayuh, bahkan ketika
kami Ngabang Gawai ke kampung yang dipenuhi batu besar tersebut, kami bertemu
orang Siding berbelanja ke Market Gumbang, Siding-Gumbang tiga jam dengan
berjalan kaki. Naik Gunung kemudian turun sudah sampai di Siding. Menurut
masyarakat Gumbang, mereka dulu Indonesia, namun karena ada aturan nenek moyang
mereka bahwa perbatasan dengan berdasarkan Sungai, maka mereka yang di seberang
bergabung dengan Malaysia, hanya saja, administrasi negara tak mungkin
memisahkan kekerabatan mereka. Salah seorang warga Gumbang mengatakan, kalau Gunung
Api tidak mereka ganggu, banyak pohon buah-buahan seperti Durian. Di sela-sela
batu itu mereka mendirikan rumah, bukan menjadi kendala, malah rumah mereka
sekokoh batu dan beberapa sudah bergaya Eropa.
Masyarakat Gumbang juga pandai memanfaatkan batu-batu itu
untuk tempat santai, malah ada yang dibor untuk pondasi penggilingan karet.
Kebersihan, jangan ditanya, di sela-sela bebatuan sudah dibeton, tidak ada
menginjak tanah, saya berpikir, jika kampung di pedalaman Ketapang Kalimantan
Barat Indonesia seperti Kangking atau Sungai Bansi dibuat seperti itu, mungkin daerah miskin di Indonesia berkurang.
Kampung Gumbang hampir semuanya Dayak Bidayuh, mereka
sembayang saja menggunakan bahasa Dayak Bidayuh. Letak kampung itu di kaki
Bukit, kampung unik karena banyak batu besar. Batu diduga berasal dari atas
gunung sejak nenek moyang, gunung yang ada di atas kampung disebut gunung api,
kemiringan mencapai 45 derajat. Mereka mau ambil kayu untuk bahan rumah harus
ijin pemerintah setempat, biasanya ke perbatasan Indonesia, tidak sedikit,
ladang mereka yang masuk dalam kawasan Indonesia, hanya saja tetap dibawah
pengawasan penerintah setempat. Mereka mengatakan, kami ada dan sudah
bersaudara sebelum negara ada dan memisahkan mereka. Interaksi dengan
masyarakat Siding yang juga Bidayuh, baik, malah sering dilakukan pertemuan
Adat. Walau terkesan menyalahi aturan pemerintah, menyeberang untuk berbelanja
atau silaturahmi bukan hal baru, toh Pemerintah Indonesia tidak mampu membangun
perbatasan menjadi lebih baik dalam berbagai hal, apalagi pendidikannya.
Salah satu rumah yang kami kunjungi milik Cik Gu Piter Asai,
anaknya yang pertama mengikuti jejak ayahnya menjadi Cik Gu, yang kedua Askar
Darat bahagian Kerani Gaji, kalau di Indonesia sebagai tentara logistik. Jangan
disangka seram, seperti Polisi dan Tentara Indonesia kebanyakan, senyum ramah
dibalik tubuh kekar jelas terlihat, menurutnya, mungkin bawaan dari kantor yang
harus sabar melayani prajurit ketika mengantre mengambil gaji. Jauh berbeda
dengan sorot mata Tentara Indonesia
penjaga perbatasan yang angker, moncong terkokang, mengerikan, tak ada senyum
di sana. Tidak
salah kalau Malaysia
membangun perbatasannya dengan pendekatan sosial ekonomi, bukan militer dan
pegawai titipan. Jangan salahkan jika
suatu saat militer akan menjadi hantu yang menakutkan di perbatasan Indonesia, apalagi militer Indonesia.
Pejabat Merawa Distric |
Kampung Jantan dan Bubur Tupai
“Disini tidak ada perempuan, di sini laki-laki semua,
makanya dikatakan kampung Jantan,” ujar Lazarus Swinie berseloroh, yang
disambut tawa kami yang baru datang, hidangan di meja menggoda, tidak salah beberapa
kawan mengatakan Saya tukang makan hehe….
Lazarus Swinie adalah imam Katolik yang bertugas di Gereja
Holy Spirit, Gereja Paroki termuda dari 13 Paroki Keuskupan Kuching. Dia
menunggu kami di Kampung kelahirannya Jantan, yang berasal dari kata Jantaatn.
Jantaatn adalah buah akar berwarna kuning bila sudah matang, di Kampung Saya
juga banyak buah yang enak dimakan tersebut, rasanya sedikit kecut, namun bila
sudah sangat matang, manis. Bisa juga dibikin rujak. Di Kampung Jantan, 90
persen orang Ahe, 20 buah rumah terbangun megah, di halaman, dua sampai tiga
Mobil mewah terparkir, bahkan diantaranya Hilux putih doble kabin. Menurut padre Swinie, masyarakat Dayak di situ
fasih berbahasa Ahe, karena nenek moyang mereka orang Kanayatn. Kampung yang
jalannya baru dibangun pemerintah Malaysia
tersebut tidak jauh lagi dari perbatasan Indonesia. Saya pikir orang
Kanayatn hanya di Ngabang atau Ambawang,
ternyata di Distrik Lundu, kampung Jantan,
Malaysia juga
ada. Saya kaget, ketika bersalaman, bahasa Ahe-nya kental, malah lebih ramah.
Di Kampung Jantan kami disuguhi makanan yang tak berbeda dengan hidangan Indonesia, ada
Sayap Ayam Bakar, Babi, Sop dan Bubur Tupai. Yang unik adalah Bubur Tupai, Saya
tidak boleh memakannya, karena pantangan penyakit, walaupun hasrat hampir tak
terbendung untuk mencicipi. Kawan-kawanlah yang lahap. Bubur Tupai berubah
menjadi menu utama, beberapa kawan tidak melirik menu lain, karena Bubur Tupai,
selama hidup mereka, baru menyantapnya di Kampung Jantan, Saya sendiri baru
melihat, karena di Pontianak
adanya Bubur Ayam, Babi dan Ikan.
Mula-mula Padre Swinie menghidangnya di Baskom, namun tidak berapa lama
habis, dikeluarkannya lagi satu baskom, juga habis, akhirnya imam tinggi besar
tersebut mengangkat periuknya dari dapur, yang akhirnya Bubur Tupai itu tak
bersisa. Namun masih saja ada yang mengaku belum puas, bahkan salah satu kawan
bernazar akan mencobanya di Indonesia
bila mendapat Tupai akan dibuat bubur, mudah-mudahan rasanya sama dengan yang
dihidangkan Padre Swinie.
Dry Port Impor...?!
Di Serian, beberapa pedagang dan pembeli dari Indonesia, mereka bertransaksi
kebutuhan sehari-hari, karena lebih murah dan lebih dekat ke Entikong, Balai
Karangan dan Beduai bahkan Kembayan yang merupakan jalur perbatasan . Di sini
pun sedikit sekali melihat kendaraan roda dua.
Harga Sembako dibanding ke Pontianak
atau Sanggau yang jauh dan harga barang selangit, Serian menjadi pilihan. Kota
Besar yang paling dekat dengan Entikong-Indonesia tersebut menjadi pusat
perbelanjaan yang menjanjikan. Bisa jadi jika Dry Port
berdiri di Entikong, maka Serian menjadi Bandar yang sangat maju. Nah, Indonesia
kemungkinan di Balai Karangan, namun di Balai Karangan bertaburan produk
Sembako dari Malaysia.
Sama saja jika Dry
Port berdiri maka impor
semakin meraja lela.
Sayuran di Serian memang mahal, namun daging dan ikan yang diisukan
berformalin sebenarnya lebih segar dari ikan kebanyakan di pasar Indonesia,
harganya lebih murah. Terung Asam saja yang mahal, karena dari Indonesia, namun
tak sedikit juga orang Indonesia membelinya kembali, tentu dengan harga yang
juga mahal, tak apa asalkan sebutannya makanan luar negeri.
Entah mengapa setiap pemberitaan di media di Indonesia selalu memvonis produk
jiran berformalin? Namun justru produk Jiran From Serian digemari. Kalau tidak
percaya coba anda di warung sepanjang perbatasan Indonesia, belilah minuman
kaleng, makanan ringan atau air mineral, dengan membaca tulisan di bungkusan,
maka akan tahu asalnya darimana. Memang pepatah mengatakan, lebih baik hujan
batu di negeri sendiri dari pada hujan emas di negeri orang, namun kalau batu
turun terus menerus dari Gunung Merapi, orang Jogja-Jateng dan Jabar pasti
mengungsi, iya kan?