Tuesday, 2 September 2008

senja dan buku harian usang

...Aku ingin menuliskan senja! Tapi sekian kali kucoba, sekian kali pula tak kudapat. Satu kalimat, terhenti, diam lama, dan putus asa
Suatu hari kujalani senja.

Diam menatapnya menghilang berganti gelap malam. Di tanganku selembar kertas dan sebuah pulpen bersih tak bertulis. Senja telah hilang, aku pulang lengang. Di hari yang lain, kutelusuri jalanan senja yang riuh. Hanya angin debu dan asap knalpot yang kutemu.

Sebenarnya aku ingin menuliskan senja dari teras rumah.

Senja yang dingin dan kelabu. Secangkir teh hangat, pot bunga, dan kursi roda, secangkir teh manis yang menemaniku dalam bayangan sore itu.

Gerimis sore menyisakan genangan air mata menetes di pipi namun tak lagi dipedulikan karena diseka pun terus saja mengalir seperti sungai di lembah kerinduan.

Ketika hati mencoba tuk raih seberkas senyum yang hadir dalam benak, namun seketika juga hilang dan pergi.

Rasa tak lagi mengurai kata yang semestinya kuukir di atas kertas putih yang selama ini langka ku nikmati lagi karena berbagai kesibukan.
Sebuah buku usang yang dibalut debu tersandar menangis di pojok ruang kamarku, sengaja kubersihkan sore itu. Ku coba membuka lembaran lama yan kutulis setiap senja.

Seperti ada yang menahan lajunya liran darahku senja itu. Aku mulai membaca lembaran demi lembaran buku usang yang berisi setiap rekaman jalan hidup yang sudah ku tempuh, dalam hatiku selalu timbul sebuah dendam akan kejamnya hati dan hilangnya kasih sayang yang semestinya kunikmati seperti semua orang.

Aku berjuang sendiri dalam gelap sampai matahari pun tak lagi memihakku. Aku menyusuri gurun gersang tak satu pun oase yang datang sembari bersujut meneteskan air kehidupan untuk diriku. Aku pergi dan berkelana sampai pada jalan yang selalu ditumbuhi oleh tajamnya duri ilalang. Ya…tanah itu gersang selagi aku belum mampu menggarapnya.

Tak kan mungkin dapat kulihat hamparan daun hijau yang menghadirkan senyum padaku meski bulan tak lagi bersinar, bintang tak lagi berkelip dan kata tak lagi terlontar dari mulut yang setiap hari mengumbar kedengkian pada diri.

Perlahan kusentuh sebuah halaman yang membawaku pada serpihan kenangan, pada hari-hari kecilku ternyata langkanya untuk mendapatkan sebuah senyum.
Harus lagi ku bertanya siapa yang akan memberi sebuah senyum yang mengakhiri kehausan diriku akan sebuah belaian kasih sayang, sementara padang gersang selalu menungguku untuk siap kutempuh lagi.

Oase yan bertepuk tangan menyaksikan letihnya diriku menyusuri jalan setapak, oase juga bertepuk tangan menyaksikan darah mengalir pada kakiku yang terluka ah..dia tidak mengusapnya seperti Yesus yang diusap wajahnya oleh wanita yang tak ku kenal (Veronika.), ketika menjalani hukuman mati oleh tirani.

Aku terus berjalan menyusuri jalan hati merentang dan menentang mimpi menuju cahaya yang tak ku jumpai selama ini.
Aku seperti manusia yang baru lahir… hanya bisa meneteskan air mata jika lapar, meneteskan air mata saatku akhiri tulisan ini… karena tak kuasa lagi untuk menyibak setiap tetesan peluh…peluh hati yang sudah terasa asin… menetes di sela pori-pori pipi ku…aku buka lagi lembaran itu sembari terus menerawang “aku masih ingin hidup".

Ku seka setiap debu yan membalutnya. Kuletakkan kembali, tak kuasa juga membukanya sampai halaman terakhir, karena justru halam terakhir itu yang menyiksa batinku..Ah…aku malas untuk mengingatnya…Aku benci buku harianku…aku benci semuanya...

2 comments

  1. Yuvensius says:

    hari2mu digeluti oleh kesibukan..ntah siapa yg menyuruhmu begitu?.ta.pi..berjalanlah menurut kata mimpimu......seperti sang alkaemis.....dari spanyol yg berkelana sampai ke Mesir untuk mengejar harta karun.. seperti yg ada dalam mimpinya...krena suatu saat kamu akan mengetahui apa harta karun itu yang sebenarnya.??

    o ya.ingat slalu "Cintamu tertinggal di Djogja"

  2. Bicara soal senja..senja pula yang menjerumuskan saya dalam hal tulis menulis..saat itu some one special terus-terusan berdiskusi soal Sepotong Senja untuk Pacarku, karya SGA..
    Ternyata senja yang dilukiskan SGA, jauh lebih indah dari senja sebenarnya. Tapi, keindahannya sia-sia karena semua serba terlambat setelah pujaan hati jatuh ke tangan lelaki lain. Senja yang begitu memesona tak lagi mampu mengobati lara. Tapi, luka menganga itu menyeret tanganku untuk terus menulis hingga senja menjelma keabadian. Sejak saat itu, aku selalu ada dimanapun senja menjatuhkan diri. Tentu saja dengan sebuah catatan kecil untuk merekam segenap gundah di jiwa. Tentang hidup, tentang kematian, tentang segala yang berawal dan berakhir. Takdir!
    Boss...bawakan kami senja-senja yang lain....please