Thursday, 19 August 2010

Nasihat Seorang Calon Apoteker

Hentakun

Borneo Tribune, Pontianak

“…Entah apakah benar aku sudah bertindak bijaksana atau Panna? Mencoba mempertimbangkan baik buruknya suatu tindakan. Atau mungkin aku sudah mewujudkan cinta kasih atau Metta? Mencoba menyelamatkan nyawa si bayi. Aku terus melamun sambil memikirkan tindakan yang telah kulakukan. Bahkan tiba-tiba aku teringat kutipan bait suatu sutta: sebagaimana seorang ibu menyelamatkan putra tunggalnya. Hahaha, sepertinya sudah ngawur. Aku menertawakan diri sendiri karena terlalu mengaitkan ini itu. Sepertinya aku harus banyak bertanya ke Bhante Mon. Aku tersenyum sendiri membayangkan kemungkinan ekspresi Mon atas sedikitnya pengetahuan Dhamma-ku…”

Dalam agama Budha, Panna (dibaca pannya) artinya kebijaksanaan, Metta artinya cinta kasih.Penggalan cerita pendek (Cerpen), di atas, berjudul, ‘Sebuah Cerita Dari Apotik’, mendapat Award Pesta Perak Dharma Suci tingkat nasional, ditulis Vita Felicia, gadis kelahiran Pontianak 21 Desember 1988, adalah kakak kandung pelukis Internasional asal Kalbar, Bryan Jevoncia.

Vita, begitu Dia dipanggil, adalah sarjana farmasi yang sekarang kuliah profesi apoteker di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Universitas itu adalah universitas Katolik milik Ordo Serikat Yesuit. Dituturkan Vita, ide cerpen ini muncul dari kuliah tentang penyalahgunaan obat dan pengalaman nyata. Jelas seperti dalam penggalan cerpen, yang menceritakan seorang laki-laki membeli obat maag dengan alasan untuk anaknya yang sakit, kemudian giliran seorang perempuan juga, yang membeli obat maag dengan merek Cytotec, namun si ‘Aku’ dalam cerpen itu tidak mau memberikan lantaran curiga kalau obat maag yang dibeli bukan untuk mengobati maag namun untuk aborsi. Cytotec adalah merk dagang obat yang mengandung zat aktif misoprostol dengan indikasi maag, namun dapat menyebabkan keguguran pada wanita hamil.

Terpanggil untuk menyelamatkan janin setidaknya untuk beberapa waktu, Si ‘Aku’ memberikan obat merek lain dengan khasiat sama yakni Sotatic. Obat tersebut adalah merk dagang obat yang mengandung zat aktif metoklopramid, dengan indikasi untuk mual dan muntah, aman bagi wanita hamil, namun wanita dan pria tersebut menolaknya.

Dalam Cerpen tersebut juga diceritakan tentang seorang wanita yang membeli kondom bersama seorang pria. Secara tersirat, Cerpen ini menceritakan keadaan yang sebenarnya, sebuah kritik sosial tajam terhadap prilaku manusia masa kini terutama di kota besar.

Godaan Duniawi

“Dari cerpen itu, saya ingin, bila apoteker yang membaca, mereka akan sadar. Bila orang awam yang baca, mereka bisa melihat sosok apoteker sebenarnya. Oh, apoteker yang bener tuh gitu toh,” harap Vita.

Yogyakarta adalah kota pelajar, namun kota yang terkenal dengan gudegnya itu ibarat pisau bermata dua, pengaruh negatif dan positif hampir tidak ada bedanya, datang silih berganti, siapa saja yang menuntut ilmu di sana.

Jika tak tahan dengan ‘godaan duniawi’ niscaya bukan ijasah yang didapat namun ijabsah alias berkeluarga yang diakibatkan hamil diluar nikah. Mahasiswa asal Kalbar yang menuntut ilmu di Yogyakarta beberapa yang mengalami nasib seperti itu.

Tahun 2002, Koordinator penelitian soal keperawanan mahasiswi yang studi di Yogyakarta, Iip Wijayanto, meminta maaf terhadap masyarakat, terutama kaum perempuan Yogya, berkaitan dengan dipublikasikannya penelitian 97,05 persendari 1.660 mahasiswi yang kuliah di Yogyakarta sudah tidak perawan.

Walau akhirnya berbagai tekanan muncul kepada Iip dan riset dianggap tidak valid membuat Iip berfikir ulang untuk mempertahankan hasil penelitian yang ‘menampar’ kehidupan sosial kota pendidikan itu.

Pasca riset menghebohkan itu di Kalimantan Barat, banyak keluhan dan kekuatiran orang tua terhadap anak-anaknya yang kuliah di Yogyakarta, bahkan beberapa orang tua mengurungkan niat menyekolahkan anaknya di kota pelajar tersebut.

Penelitian yang dilakukan hampir tiga tahun itu akhirnya direvisi, bahkan penelitian ulang terhadap penelitian, dengan lebih melibatkan pakar-pakar yang berkompeten di dalam persoalan itu. Disatu sisi Iip mengaku, dari 98 responden yang pernah melakukan aborsi, kesemuanya karena tekanan laki-laki yang menghamilinya. Lanjut Iip, hubungan seksual yang dilakukan seluruh responden, sebagian besar diawali oleh inisiatif laki-laki pasangannya.

Lembaga tempat Iip bekerja, Study Cinta dan Kemanusiaan Pusat Bisnis Humaniora (LCS&K PUSBIH), juga sampai melakukan penelitian pembanding terhadap kesimpulan penelitian Iip. Sebuah tamparan keras terhadap kota yang memiliki semboyan berhati nyaman tersebut.

Vita sendiri melalui cerpen ingin berpesan kepada calon apoteker bahwasanya ilmu pengetahuan tidak selalu menjadi musuh moral, menurut Dia, ini bercermin pada realita, di Yogyakarta mungkin berbeda dengan Pontianak. Di sana (Yogyakarta) banyak anak muda dengan beragam tingkah laku, dari yg kalem sampai yang hancur sekali juga ada. Seks bebas dan hamil di luar nikah adalah hal biasa ditemukan di kota itu. Tidak jarang juga ditemukan dalam satu kos-kosan pacaran sudah seperti suami istri, hidup bersama. Sehingga, obat aborsi bisa didapatkan dengan mudah.

Pak Gus yang Tamak

Dalam cerpen itu menggambarkan, seorang tokoh antagonis bernama Pak Gus yang cenderung mengutamakan bisnis mengesampingkan etika moral. Fungsi sebenarnya dari Apoteker, menurut Vita dikalahkan oleh kepentingan bisnis, “Apotek fungsinya sudah seperti supermarket, pilih, ambil, bayar, tidak ada upaya pencegahan,” tegas anak kedua dari empat bersaudara itu.

Vita menuturkan, saat ini buktinya dokter lebih dipercaya masy daripada apoteker, karena apoteker sendiri yang merusak profesi mereka. Kesannya sekedar jual beli obat karena mereka punya wewenang, “Dari cerpen itu, mau saya tunjukkan kalau masih ada apoteker-apoteker muda yang jujur, setia dengan sumpah profesi,” kata Vita.

Dari Cerpen itu, Vita berharap ada apoteker membaca, sehingga sadar akan profesinya. Bila awam membaca, mereka bisa melihat sosok apoteker sebenarnya. Sebagai perbandingannya, kata Vita, di Amerika Serikat, pernah ada survey terhadap profesi apakah yg kata-katanya paling dipercaya. Ternyata Survey membuktikan kalau yang pertama apoteker. kedua, pendeta. terakhir sales mobil. Sedangkan di Indonesia, apoteker masih dibawah baying-bayang dokter. masyarakat lebih percaya dokter. malah ada dokter yg langsung member obat, tanpa ke apotek.

0 comments