Wednesday, 11 February 2009

Melestarikan Tenun Sambas (1)

Borneo Tribune, Sambas

"Asyiknya menenun itu, bila sudah hampir selesai, motifnya bagus," ujar Emi Purnima kepada saya sembari tersenyum. Dia pun menyambut dengan ramah.
Ruang yang tidak begitu besar, di rumah yang terletak di Jalan Pendidikan Kota Sambas, terletak seperangkat alat tenun manual hampir memenuhi ruang berukuran 4x4 meter itu. Di jendela rumah, tampak pemandangan jembatan kayu seakan memotong tenangnya arus Sungai Sambas.
Peralatan tenunnya licin mengkilap pertanda sering dipakai pengunanya. Emi Purnima, generasi ketiga pelestari tenun Sambas yang terkenal itu.
Gerimis sore yang mengiringi perjalanan saya menuju kediman Emi. Karena hanya gerimis, saya pun tidak mencari tempat berlindung. Saya langsung menuju rumah yang persis berhadapan dengan SDN 4 Sambas.
Saya sengaja singgah di rumah itu karena ingin bersilaturahmi dengan penghuni rumah, mereka dulu guru SMPN Balai Berkuak, Kecamatan Simpang Hulu, Ketapang tempat saya bersekolah.
Irianto dan Emi Purnima, sejak tahun 2003 kembali ke tanah kelahirannya di Sambas, mengabdi sebagai guru juga. Irianto megajar di SLTP Sejangkung, sedangkan Emi Purnima mengajar di SLTP Semberang, semuanya di wilayah Kabupaten Sambas.
Malam itu, kami berbincang-bincang mengingat ketika saya menjadi siswa dan mereka yang menjadi guru saya. Setiap kenangan kami utarakan tak ada habisnya, mereka antusias sekali.
Sejak lulus D III Bahasa Indonesia Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Tanjungpura 1986, setahun kemudian, Irianto bertugas di Balai Berkuak menjadi guru Bahasa Indonesia, sedangkan Emi Purnima, istrinya menyusul setahun kemudian mengajar bidang studi yang sama.
Pahit manisnya hidup, mereka rasakan sewaktu menjadi "Oemar Bakri" di Balai Berkuak, dengan gaji golongan dua waktu itu Rp56.000, beras 10 kg, kalau digabung, gaji mereka berdua hanya cukup untuk kebutuhan keluarga sebulan.
Sementara menurut Irianto, setiap dua bulan salah satu mereka harus ke Sambas menjenguk putra-putrinya, Andika dan Mega yang masih kecil tinggal dengan kakek neneknya bersekolah di Sambas. "Waktu itu serba sulit, gaji segitu beh tak cukup untuk ke Sambas," kenang Pak Irianto dengan logat Sambas yang kental.
Tahun pertama Irianto dan Emi Purnima di Balai berkuak, Jalan Trans Kalimantan belum ada, transportasi lewat Sungai Kualan. Kalau mau ke Sambas harus ke Pontianak dulu. Perjalanan ditempuh sekitar empat hari baru sampai di Sambas.
Itu pun harus menunggu kalau ada motor orang Tionghoa ke Pontianak membawa karet. Waktu tempuh motor air dari Balai Berkuak-Pontianak dua hari, istirahat satu hari di Pontianak menunggu bis ke Sambas, hari berikutnya baru sampai di kota yang terkenal dengan bubur pedasnya itu.
Irianto menambahkan, untuk mencukupi kebutuhan dan biaya transportasi ke Sambas dengan menjual hasil tenunan istrinya. Karena hobi tadi, ketika pindah ke Balai Berkuak, dia membawa serta peralatan tenunnya. Hasil penjualan dua helai kain tenun ketika itu bisa mencapai Rp160.000.
Sedang asyiknya kami bercerita, mata saya tertuju pada kain tenun yang dibingkai tergantung rapi di ruang tamu. Menurut Emi--begitu dia akrab dipanggil, tenunan tersebut hasil karyanya sendiri, yang pernah dipamerkan di even pameran kabupaten ketika masih di Balai Berkuak.
Emi pandai menenun, keahlian tersebut didapatnya dari sang ibu, Fatimah Ahmad yang juga seorang penenun. Dia belajar menenun dengan sang Ibu sejak kelas 4 SD tahun 1976. Putri sulung Abdul Kadir, mantan Kepala Desa Jagur, Sambas ini menganggap menenun itu hobi dan tradisi turun temurun keluarga, dia generasi ketiga penenun, sehingga perlu dilestarikan. "Ini tradisi Sambas, saya ikut melestarikannya," ujarnya. (Bersambung)

0 comments