Sunday, 15 January 2012

Perampasan Tanah, Belajar Dari Konflik Tegalrejo

Bohong besar kalau kita merdeka, kita sebenarnya masih hidup di alam penjajah. Konflik kepemilikan tanah (Agraria)yang belakangan terjadi, memilukan. Mirip dengan sistem yang dilakukan Penjajahan Belanda. Dulu Belanda merampas tanah rakyat pendekatan terhadap pemimpin lokal. Bagi kerajaan atau pemimpin yang tamak dengan upeti, tidak terjadi perlawanan, bahkan kekuasaan kerajaan dibiarkan diobok-obok Belanda, banyak simbol kerajaan dikolaborasikan dengan Belanda, rakyat dibiarkan bekerja dan menjadi kuli ditanah sendiri,mirip dengan sekarang kan?, .Namun tidak sedikit yang menolak, sehingga pecah perlawanan terhadap Belanda.


Fenomena perampasan tanah
Rakyat yang selama ini tenang 'diganggu' pemilik modal (Kapitalis)yang ingin mengeruk kekayaan alam dengan merampas tanah rakyat untuk kepentingan pribadi. Kaum Kapitalis banyak yang menggunakan moncong senjata aparat penegak hukum untuk menakuti rakyat, dengan alasan keamanan investasi, namun moncong-moncong tersebut memuntahkan pelurunya, yang ironisnya dibeli dengan uang rakyat. Banyak kasus terjadi,penghujung 2011 dan awal 2012 seakan perang antara penjajah dan rakyat kembali pecah, korban penembakan berjatuhan.Fenomena perkebunan dan pertambangan yang merangsek semakin mengepung kenyamanan hidup masyarakat, tidak sedikit,tanah mereka di rampas hanya untuk kepentingan pemilik modal.

Belajar dari Konflik Diponegoro
Bagi Indonesia, Diponegoro Pahlawan. Belanda menganggap Diponegoro itu pemberontak,karena melawan kebijakan mereka. Diponegoro tidak mau tunduk lantaran masih memikirkan kesejahteraan rakyatnya, menghormati adat istiadat leluhurnya. Namun Belanda yang terlanjur doyan dengan ramuan penghangat badan, ingin setiap jengkal tanah di Indonesia ditanami bumbu-bumbu. Tidak mempedulikan kalau itu kuburan, atau ada tanaman lain milik rakyat. Diponegoro tetap pada pendiriannya.

Perang Diponegoro berawal ketika pihak Belanda memasang patok di tanah milik Diponegoro di desa Tegalrejo. Saat itu, beliau memang sudah muak dengan kelakuan Belanda yang tidak menghargai adat istiadat setempat dan sangat mengeksploitasi rakyat dengan pembebanan pajak.

Sikap Diponegoro yang menentang Belanda secara terbuka, mendapat simpati dan dukungan rakyat. Atas saran Pangeran Mangkubumi, pamannya, Diponegoro menyingkir dari Tegalrejo, dan membuat markas di sebuah goa yang bernama Goa Selarong. Saat itu, Diponegoro menyatakan bahwa perlawanannya adalah perang sabil, perlawanan menghadapi kaum kafir. Semangat “perang sabil” yang dikobarkan Diponegoro membawa pengaruh luas hingga ke wilayah Pacitan dan Kedu. Salah seorang tokoh agama di Surakarta, Kyai Maja, ikut bergabung dengan pasukan Diponegoro di Goa Selarong.
Selama perang ini kerugian pihak Belanda tidak kurang dari 15.000 tentara dan 20 juta gulden.

Berbagai cara terus diupayakan Belanda untuk menangkap Diponegoro. Bahkan sayembara pun dipergunaan. Hadiah 50.000 Gulden diberikan kepada siapa saja yang bisa menangkap Diponegoro. Sampai akhirnya Diponegoro ditangkap pada 1830. Kemudian dibuang ke luar Jawa.

Keadaan sekarang pun tidak berubah, bagi siapa yang melawan kebijakan pemilik modal akan 'dibuang' nyawanya, atau paling tidak diancam penjara, sehingga tidak sedikit yang mencari aman. Anehnya pemimpin daerahpun seakan tidak berkutik, melihat ulah kaum kapitalis yang menindas rakyat dengan merampas tanahnya. Ayo, amankan tanah masing-masing, penjajahan masih banyak di sekitar kita, jangan beri tanahmu kalau tak mau miskin dan melarat dikemudian hari.

0 comments